Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Andaikan DPR-RI Dipimpin Mantan Jurnalis

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Selasa, 09 Januari 2018, 06:59 WIB
Andaikan DPR-RI Dipimpin Mantan Jurnalis
Foto/Net
SEBAGAI wartawan yang pernah meliput kegiatan politikdi DPR-RI, baik di era Orde Baru maupun di era awal Reformasi, perasaan saya cukup berbunga-bunga mendengar nama Bambang Soesatyo sebagai politisi yang disebut berpeluang besar menjadi Ketua DPR-RI.

Pasalnya, bukan saja karena politisi Golkar ini pernah bersama-sama dengan saya di harian Prioritas dan  majalah Vista di tahun 1986 sampai dengan 1988.

Tapi karena dari penampilannya di berbagai forum, apakah di dalam ataupun di luar parlemen, cukup tergambar pemahamannya tentang politik Indonesia dan keparlemenan nasional, sudah lebih dari cukup.

Kepatutan berpolitik di parlemen Senayan, cukup dipahami oleh Bambang Soesatyo. Dan itu semua merupakan modal besar untuk seorang politisi yang boleh menduduki kursi Ketua DPR-RI.
 
Bukannya mau melebih-lebihkan eksistensi wartawan dan kejurnnalisan di Prioritas dan Vista. Namun menjadi Jurnalis di media yang dimodali Surya Paloh pada era 1980-an bukanlah hal yang mudah.
 
Bekerja di media milik Surya Paloh di era itu, tak ubahnya dengan pekerja politik yang satu kaki berada di pinggir rel kereta api dan satu kaki lagi di tepi jurang.

Bekerja di bawah kepemimpinan Surya Paloh saat itu, tak ubahnya dengan orang yang tak jelas jati dirinya. Sebab Surya Paloh saat itu sudah menjadi fungsionaris Golkar. Namun ke-Golkar-an SP lebih mengesankan bahwa dia sesungguhnya seorang yang hanya meminjam nama Golkar. Selebihnya SP seorang non-Golkar.

Kepada semua wartawan, SP selalu memprovokasi kami agar tetap kritis terhadap pemerintahan Orde Baru yang saat itu dipimpin oleh Presiden Soeharto.

Tapi dalam setiap briefing terbatas, SP selalu memberi signyal bahwa dia bersahabat dekat dengan Bambang Tri, salah seorang putra penguasa Orde Baru tersebut. Sebagai Jurnalis, bingung dibuatnya.

Dalam situasi seperti itu, kami, termasuk Bambang Soesatyo, terpaksa harus pintar-pintar berasimilasi. Resiko terlalu besar.

Ditambah lagi, Surya Paloh yang saat itu baru berusia 30an tahun, kelahiran tahun 1951, lebih mencerminkan seorang pemuda arogan yang berjudi dan berspekulasi di dunia media.

Wajahnya yang berewokan jenggot, juga merupakan persoalan tersendiri.

Belum apa-apa, orang yang baru mengenalnya sudah apriori. Sudah punya kesan kami anak buahnya adalah wartawan atau karyawan yang bekerja di perusahaan yang pemiliknya merupakan pengusaha keras dan kasar.

Kekerasan dan kekasaran menjadi pilihannya dalam berbisnis di dunia media. Dan kekerasan serta kekasarannya itu, menjadi indentitas kami.

Kami, termasuk Bambang Soesatyo terbentuk oleh lingkungan yang keras dan kasar. Surya Paloh berdarah Aceh tapi besar di Medan. Atau orang Aceh berasa Medan.

Orang Aceh dan Medan kalau bergabung, membentuk stigma. Buntutnya panjang.

Di antaranya, jadilah Prioritas dan Vista sebagai media yang tak banyak disukai kehadirannya.

Yang tidak menyukai mulai dari bekas Ketua PWI Pusat, Harmoko yang saat itu menjadi Menteri Penerangan dan para pengikutnya.
 
Ketidaksukaan Menteri Harmoko terhadap media milik Surya Paloh dan pemiliknya, bertambah. Sebab secara diam-diam ada kecemburuan tersembunyi di kalangan  wartawan dan pemilik media lainnya yang sudah lebih dulu eksis.

Bukti bahwa Harmoko tidak menyukai kedua media tersebut bisa dilihat dari kebijakannya. Pada Juni 1987, saat Prioritas berusia 13 bulan, harian pagi tersebut dibreidelnya.

Tapi dokumen pembreidelan atau pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), ditanda-tangani Soekarno, SH selaku Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika (PPG) Departemen Penerangan. Harmoko dengan cara itu, seperti mau "cuci tangan".

Ketika ditanya soal pembreidelan tersebut, Menteri Harmoko merujuk ke nama pejabat bawahannya. Bahwa pencabutan izin terbit tersebut didasarkan kepada penilaian sebuah panel.

Selain itu Harmoko bila ditanya soal latar belakang pencabutan SIUPP, selalu memberi jawaban seperti sebuah rekaman tape-recorder yang diputar berulang-ulang: "Dalam diri saya ini mengalir darah wartawan. Jadi tentu saja saya merupakan orang yang paling  peduli pada nasib wartawan…"

Bukti ada kecemburuan, terlihat dari reaksi sesama anggota komunitas media. Tidak ada ungkapan rasa simpati dan keprihatinan melihat nasib wartawan dan karyawan pers yang kehilangan mata pencaharian.

Bamsoet sebagai reporter pemula, ikut merasakan  besarnya tingkat kesulitan saat itu. Bekerja di media tidak beda dengan aktifis politik.

Betapa tidak menentunya nasib seorang wartawan. Nasib yang mirip dengan yang berprofesi di dunia politik.

Namun sekalipun Prioritas dibreidel, Bamsoet tetap bertahan. Dia ikut dengan tim baru yang mengelolah majalah Vista.

Di media ini, Bamsoet berdwi-fungsi : sebagai reporter sekaligus sebagai Sekretaris Redaksi. Dalam fungsi yang kedua ini, Bamsoet merupakan salah seorang awak perusahaan yang pertama kali menerima dan membaca surat-surat dari Departemen Penerangan yang di antaranya berupa peringatan atau teguran.

Peringatan dan teguran itu sebetulnya terkesan terlalu dipaksakan. Misalnya kami tidak boleh menerbitkan majalah Vista dengan cetakan full-coloured. Atau ukuran majalahnya harus sama dengan majalah lainnya.

Ketika pada tahun 1989 Vista akhirnya dijual oleh Surya Paloh ke RCTI dan saat itu siaran RCTI baru bisa diterima melalui decoder, sekaligus menjadi majalah  program TV, Bamsoet pun ikut keluar dari perusahaan milik Surya Paloh.

Tapi hanya beberapa bulan di RCTI, Bamsoet kemudian memilih untuk berdiri sendiri. Dia memutuskan untuk mengelolah majalah Info Bisnis yang ketika itu, tidak punya SIUPP.

Bedanya, sekalipun tidak punya SIUPP, tapi di media itu, Bamsoet bisa bekerja lebih tenang. Antara lain karena majalah internal Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) tersebut, tak menampilkan berita-berita yang berkadar politik.

Info Bisnis juga tidak "dimusuhi" oleh penguasa, cq Menteri Penerangan.

Pemodal majalah itu, kalau tidak keliru antara lain Abdul Latif, pengusaha yang dikenal sebagai pemilik Pasaraya. Abdul Latif kemudian dikenal sebagai pendiri televisi Latifi sekarang TVOne dan sebelumnya menjadi salah seorang Menteri di kabinet Presiden Soeharto.

Bukannya mau membangun citra yang berlebihan tentang  Bamsoet. Demikian pula bukan untuk mendegradasi kualitas para pimpinan DPR-RI yang dilantik per 1 Oktober 2014.

Tetapi bila Bamsoet dipersandingkan dengan Fahri cs, termasuk Setya Novanto yang kini menjadi pesakitan KPK, politisi Golkar ini jelas jauh lebih memiliki keunggulan. 

Keunggulannya mulai dari "jam terbang" di parlemen Senayan. Keterwakilannya dari Golkar yang merupakan partai tertua di Indonesia. Penampilannya sebagai politisi yang cukup santun dan jika berkomentar selalu terukur, tentu saja membuat lobi-lobi banyak berhasil.

Unggul dalam "jam terbang" sebab Bamsoet sudah menjadi anggota DPR-RI mewakili Golkar hasil Pemilu 2004. Pemilu pertama yang sistem pemberian suaranya dilakukan secara langsung.

Mewakili partai tertua, sebab realitanya memang demikian.  Golkar merupakan partai yang sudah lebih dulu berdiri dibandingkan dengan sembilan partai atau fraksi yang ada di DPR-RI saat ini.

Ketika di era Orde Baru hadir tiga partai politik yaitu PPP, PDI dan Golkar, partai berlambang Pohon Beringin ini tetap saja yang lebih tua.

Ketika PPP dan PDI berfusi di tahun awal 1970-an,  Golkar sudah lebih dulu hadir di tahun 1960-an, melalui kino-kino Koperasi Serbaguna Gotong-Royong (Kosgoro), Sentral Organisasi Kekaryaan Swadiri Indonesia (SOKSI) dan Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR).

Pengalaman Bamsoet sebagai Jurnalis di media-media yang disebutkan di atas, juga ikut mengantarkannya sebagai sosok yang dipercaya Golkar untuk memimpin harian Suara Karya

Bamsoet, lebih dari sepuluh tahun lalu selain anggota DPR-RI juga merangkap selaku Pemimpin Redaksi surat kabar milik Golkar tersebut.

Satu hal yang tidak bisa saya tandingi dari Bamseot, sekalipun secara kewartawanan dia pernah menjadi anak buah saya adalah produktifitasnya dalam menulis. Bamsoet produktif menulis artikel untuk media-media dan tak ketinggalan buku.

Bakat menulisnya, sudah menonjol sejak jadi wartawan Prioritas maupun Vista.  Tidak semua reporter bisa langsung menulis "features". Tapi Bamsoet, berbeda.

Entah sudah berapa banyak buku yang dia tulis, semenjak Bamsoet menjadi anggota DPR-RI.

Dari segi ini, saya belum pernah melihat ada politisi Senayan yang demikian produktif.

Dan buku yang dia tulis, isinya banyak merefleksikan  tinjauan, telaah ataupun esai kritik tentang eksistensi politisi dan peranan mereka.

Secara tidak langsung, Bamsoet memperlihatkan tingkat kepeduliannya tentang perjalanan dan perkembangan politik nasional.

Yang lebih mengesankan lagi, buku-buku Bamsoet atau artikel-artikelnya yang muncul di media, tidak mengesankan tentang kepartisannya yang berlebihan.

Dalam ukuran intelektual, buku selalu menjadi patokan. Sejumlah universitas terkemuka di negara maju beranggapan, seseorang yang mampu menuangkan pemikirannnya melalui sebuah buku, dianggap kemampuan intelektualnya setara dengan sarjana yang bergelar PhD.

Bamsoet memang politisi Golkar. Tetapi lewat buku dan tulisan-tulisannya, angota senior Himpinan Mahasiswa Islam (HMI) ini, selalu memperlihatkan netralitas dan ke-Indonesiaannya.

Atas dasar latar belakang semua itu, saya punya kesimpulan, Ketua Komisi III DPR-RI ini memang sudah menjadi seorang politisi yang matang.

Golkar patut bangga memiliki kader seperti Bamsoet. Dan kalau Bamsoet dipercaya Golkar untuk menggantikan Setya Novanto, niscaya Golkar pula yang bakal memperoleh kredit positif.
 
Juga citra "buruk" yang ditampilkan oleh kepemimpinan tak berwibawa di lembaga tinggi negara tersebut, selama dua atau tiga tahun belakangan ini, mungkin akan terkoreksi. Minimal berubah ke citra yang bisa membuat kita tersenyum.

Pada akhirnya Indonesia bisa memiliki kembali lembaga tinggi legislatif yang bermartabat.

Pada 1 Oktober 1977 hingga 11 Maret 1978, DPR-RI pernah dipimpin oleh Adam Malik Batubara. Diplomat senior yang pernah menjadi Menteri Luar Negeri yang juga mantan wartawan atau jurrnalis Kantor Berita Nasional Antara.

Pada satu pembicaraan di kala jedah, Adam Malik yang dijuluki "Si Kancil" -sebutan yang bermkna orang yang lincah- ditanya wartawan.

Pertanyaannya sekitar kiatnya sehingga bisa menjadi orang Indonesia pertama menduduki posisi Ketua Sidang Umum PBB, di New York. Padahal Indonesia merupakan satu-satunya anggota yang pernah keluar dari keanggotaan PBB.

Artinya secara sejarah, Indonesia memiliki reputasi yang tidak baik di PBB, sekalipun Indonesia sendiri yang melamar masuk kembali.

Di mata wartawan Indonesia, dengan latar belakang seperti itu, tidak mudah meyakinkan semua anggota PBB untuk memberi kepercayaan -pada diplomat Indonesia sehingga boleh memimpin Sidang Pleno PBB-.

"Harus pintar melobi. Dan saya bisa melakukannya, karena modal melobi, saya dapatkan dari pekerjaaan wartawan…", jawab Adam Malik.

Para wartawan yang mendengar jawabannya, hanya bisa tertawa. Selain tidak berharap jawaban seperti itu, kami semua hanya merasa terhibur atau sengaja dibikin senang oleh Adam Malik.

Tapi akhirnya semua wartawan yang mendengarkan jawaban "Si Kancil", menerimanya sebagai sebuah keniscayaan.

"Lha kalau saya tidak bisa melobi, bagaimana mungkin seorang anak Siantar bisa dipercaya menjadi Ketua DPR/MPR-RI di Senayan," tambah Adam Malik Batubara lagi dengan mimik lebih serius.

Adam Malik hanya lima bulan menjadi Ketua DPR/MPR. Setelah itu dia terpilih sebagai Wakil Presiden RI periode 1978-1983.

Waktu lima bulan relatif sebuah episode yang singkat. Namun, kendati singkat, kehadiran Adam Malik di Senayan ikut mengubah citra lembaga tinggi negara tersebut.

Latar belakang profesi diplomat dan wartawan, merupakan modalnya yang kuat.

DPR dan MPR yang saat itu masih dipimpin oleh satu orang di zaman Adam Malik berubah dari sebuah lembaga politik yang sangat kaku, menjadi lebih rileks.

Pintu pagar DPR Senayan yang sebelumnya selalu tertutup oleh Adam Malik dibuka selebar-lebarnya. Semenjak itu DPR menjadi salah satu tempat pengaduan masyarakat paling populer.

Semenjak itu DPR menjadi sebuah lembaga terbuka bagi masyarakat. Yang menjadi masalah sekarang, keterbukaan itu menjadi tak terukur dan beraturan. Bahkan pimpinan DPR-RI saat ini sering menjadi sasaran kecaman dan sindiran masyarakat lewat media-media sosial.

Salah satu sindiran dan kecaman misalnya soal kedudukan seorang Wakil Ketua. Oleh partai yang mencalonkankannya pada Pileg 2014, sang politisi sudah di-recall. Tapi pe-recall-an tersebut berujung pada pengadilan.

Terjadi sebuah dilema dan krisis. Yang di-recall, mengadukan yang me-recall. Dan yang menang di pengadilan tersebut politsi yang di-recall.

Kemenangannya bahkan berbuah kerugian materi bagi pimpinan partai yang me-recall. Sebab partai harus membayar ganti rugi hingga Rp 30 milyar.

Apapun hasilnya dari sengketa tersebut, telah ikut mencoreng wajah DPR-RI khususnya lembaga pimpinannya.

Sebab kursi pimpinan DPR seperti sebuah pos yang bisa dipersengketekan dengan nilai transaksi sampai puluhan milyar rupiah.

Bamsoet, walaupun tidak pernah menyinggung persoalan di atas, tapi jika dia terpilih sebagai Ketua DPR, sebagai bagian dari Senayan, kepeduliannya pasti tergerak.

Politisi yang selama ini tidak pernah dikenal sebagai sosok yang bermasalah boleh jadi akan bisa membuat wajah DPR dan pimpinannya bercitra lebih baik.

Yah, wajar saja kalau saya berandai-andai posisi Ketua DPR-RI diisi oleh seorang mantan Jurnalis. Apalagi yang duduk di sana seorang politisi yang cukup matang dan santun. [***]

Penulis adalah wartawan senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA