Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

"Faktor JK" Penentu Nasib Jokowi Di Pilpres 2019

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Rabu, 03 Januari 2018, 13:19 WIB
"Faktor JK" Penentu Nasib Jokowi Di Pilpres 2019
Jusuf Kalla/Net
JK dalam singkatan di sini, maksudnya Jusuf Kalla, Wakil Presiden kita. Mengapa ada istilah "faktor JK"? Jangan terlalu serius, apriori tapi juga tak boleh meremehkan.

Sekedar mengingatkan, menghadapi Pilpres 2019, semua pengamat dan pengelola media survei serta media main stream, sepertinya tidak lagi memperhitungkan Jusuf Kalla sebagai sosok penting dalam kancah politik nasional, terutama kontestasi Pilpres 2019.

Entah karena sudah ada anggapan, JK telah lanjut usia. Otomatis di Pilpres 2019, JK tak akan berkiprah lagi.

Artinya ada asumsi yang menyatakan, seusai menyelesaikan masa jabatan Wapres periode 2014-2019, JK serta merta akan minggir dari pertarungan memperebutkan kekuasaan politik.

Jadi keberadaan saudagar Bugis ini tidak lagi dianggap sebagai faktor menentukan.

Tunggu dulu mas bro dan mbak sista!

Boleh jadi JK tak akan maju. Tapi kalau dia mau maju, tak ada yang bisa mencegahnya.

Bisa saja JK minta Jokowi menggandenganya lagi sebagai Cawapres. Atau JK sendiri mau maju sebagai Capres dengan menggandeng tokoh lainnya.

Tentu saja dengan terlebih dahulu mengundurkan diri, menjelang Pilpres Juli 2019. Artinya JK tidak menyelesaikan tugasnya hingga Oktober 2019.

Artinya berbagai kemungkinan masih bisa terjadi. Berbagai modus bisa dilakukan JK.

Jangan lupa, sampai saat ini, belum pernah ada pernyataan resmi dari JK tentang apa yang akan dikerjakannya seusai menyelesaikan masa jabatan sebagai RI-2. JK masih diam.

Tidak ada ataupun belum adanya penegasan tersebut, perlu ditafsirkan bahwa bekas Ketua Umum DPP Golkar ini juga belum merasa, sudah saatnya untuk pensiun dari dunia politik.

Atau setidaknya, diamnya JK tentang hari depan politiknya tidak boleh diartikan JK sudah tak punya agenda tersembunyi (hidden agenda).

Dan kalau JK punya agenda (politik) tersembunyi, yah wajar-wajar saja. Apalagi melihat penampilannya sehari-hari - yang secara fisik kelihatannya masih cukup sehat.

Dari cara JK menjaga kesehatan, bisa juga dilihat bahwa JK seorang politisi senior yang sudah sangat paham anatomi politik Indonesia. Seorang politisi selain harus sehat jasmani (dan rohani), dia paham, kapan dia harus bicara dan kapan dia perlu diam.

Sementara itu kalau kita menengok ke perjalanan politik JK, cukup mudah sebetulnya mengantisipasi langkah politiknya.

Atau kalau mau membaca manuver politik JK, jangan hanya dari permukaan saja. Melainkan harus bijak dan prudent.

Menjelang berakhirnya duetnya dengan SBY sebagai Wapres 2004-2009, JK yang sudah tahu tak akan diajak oleh SBY untuk berpasangan kembali.

Sadar akan hal itu JK membuat pernyataan (politik) yang cukup memelas dan menarik.

Menurut JK dia akan kembali ke kampung halaman (Makassar) untuk selanjutnya mengurus cucu-cucu. Namun yang terjadi, tidak demikian. Cucunya banyak yang bermukim di Jakarta. Sehingga JK lebih banyak berada di Jakarta dari pada di Makassar.

Selanjutnya, ketika kontestasi Pilpres 2009 digelar, JK bahkan maju sebagai Capres dan menggandeng Jenderal (purnawirawan) Wiranto sebagai Cawapres.

Luar biasa hasil manuver JK. Sebab di Pilpres 2004, Wiranto maju sebagai Capres. Kini bekas Capres itu dia turunkan derajatnya menjadi Cawapres.

Hanya saja pasangan JK-Wiranto, gagal atau kalah dengan SBY-Boediono.

Namun yang cukup menarik sebetulnya bukan kegagalan JK-Wiranto di Pilpres 2009 tersebut.

Melainkan persiapan JK sendiri menghadapi kontestasi itu.

Sebelum mendeklarasikan pencalonannya bersama Wiranto, JK lebih dulu menyibukkan diri dengan merebut posisi-posisi di organisasi sosial.

JK berhasil menjadi Ketua Umum Palang Merah Indonesia dan Ketua Umum Dewan Mesjid Indonesia.

Posisi JK di dua organisasi itu nyaris tidak pernah diperhatikan dan diperhitungkan. Apalagi dalam kontestasi Pilpres 2009, kedudukannya tersebut tidak membawa pengaruh apa-apa dalam porto folionya.

Namun seiring dengan perjalanan waktu dan kepintaran JK dalam merawat benih politik kedudukannya di dua organisasi sosial itu berbuah baik. Buah politik tentunya. Buah itu dipetiknya di Pilpres 2014 dan di Pilkada DKI 2017.

Tahun 2014, ia dipilih atau dipercaya oleh PDIP - partai peraih suara terbanyak di Pileg 2014. Lobinya menghasilkan PDIP menerima permintaannya untuk dipasangkan dengan Joko Widodo.

Keputusan PDIP ini, tentu sudah dianalisa oleh JK. Bahwa Joko Widodo sekalipun sangat populer sebagai kandifat sipil, tetapi sebagai pendatang baru di percaturan politik nasional, Joko Widodo masih setara dengan seorang petugas partai dari partai berlambang Banteng tersebut.

Jadi lobi JK ke PDIP memang masuk akal dan tepat waktu.

Pandangan dan penglihatan saya boleh jadi melawan arus. Tetapi mengabaikan ataupun meremehkan JK dalam Pilpres 2019, merupakan sebuah blunder politik terbesar di era sekarang. Terutama bagi Presiden Joko Widodo yang berharap bisa menjabat Presiden Dua Periode.

JK, dalam kondisi sekarang sudah menjadi seorang negarawan. Yang mampu bermanuver secara senyap di setiap situasi yang riuh.

Kemampuannya meyakinkan PDIP, khususnya Ketum Megawati Soearnoputri merupakan bukti nyata. Bahwasanya dia dipercaya Megawati sebagai pendamping Joko Widodo, tidak lepas dari kematangannya berpolitik.

JK bisa berhasil, sebab JK mampu mengalahkan ego dirinya sendiri. Dia singkirkan pola pikir yang sempit bahkan pola pikir sektarian yang bersemai dalam dirinya.

Hanya politisi yang matang dan berstandar negarawan yang mampu melakukan hal seperti itu.

Coba perhatikan. Menjelang Pipres 2014, untuk menembus pintu besi di kamar politik PDIP, JK tidak melakukannya sendiri. Tapi dia meminjam tangan atau kekuatan orang lain.

Ia terlebih dahulu menggandeng pengusaha sekaligus politikus Golkar, Sofyan Wanandi. JK yang dikenal sangat suka berbisnis dengan orang-orang sekampung, kali ini berpolitik dengan pengusaha yang biasa bergaul dengan konglomerat beretnis Chinese.

JK berkawan dengan Engko Sofyan Wanandi alias Liem Bian…….

Secara kimiawi (chemistry) politik, JK tidak mungkin berada dalam satu kubu dengan Sofyan Wanandi.

Tak usah diperjelas di forum ini, apa-apa saja yang menjadi penghambat, mengapa Sofyan dan JK tidak bisa berkemistri. Para senior di Golkar, pasti tahu dan paham sekali.

Namun di situlah kelebihan JK. Sampai akirnya di Pilpres tahun 2014 tersebut, JK dan Jokowi berhasil memenangkan Pilpresnya.

Rekaman-rekaman memori mencatat, tak lama setelah terpilih sebagai Wapres, JK kembali memperlihatkan kepiawaiannya dalam berpolitik. Yakni "mengulangi" konsep yang digunakannya ketika menjadi Wapresnya SBY.

Jokowi yang relatif masih "hijau" dalam politik nasional dibanding JK, seakan dibenturkan oleh JK manakala menghadapi situasi politik yang rumit. Jokowi tidak bisa "menegur" JK.

Sejumlah kalangan menilai, kalau SBY yang bergelar doktor dan menyandang reputasi sebagai jenderal lulusan Fort Benning, AS, pusat pendidikan militer kesatuan ternama baret hijau (Green Baret) AS, bisa "dikecoh" oleh JK, apalagi cuman Jokowi?

JK sebagai Ketum Golkar saat bersama SBY mampu menciptakan kesan bahwa dialah yang "The Real President". Sekalipun jabatannya cuma "The Vice President".

Di era Jokowi, JK memang tidak berhasil tuntas dalam mengulangi rekornya seperti di era SBY. Tetapi itu tidak berarti, JK sudah kehabisan ide.

Menghadapi Pilkada DKI 2017, secara tersamar atau kadang-kadang terang-terangan, JK memperlihatkan politik keberpihakannya yang berbeda dengan pilihan Presiden Joko Widodo.

Ketika Presiden Joko Widodo secara tersamar memperlihatkan dukungannya kepada Ahok, Basuki Tjahaja Purnama, JK pun tak mau diam. Ia ikut memberi keseimbangan, dengan memperlihatkan keberpihakannya kepada lawan tanding Ahok di Pilkada DKI.

Dalam perkembangan lainnya relawan Ahok dan Pro Jokowi, mengeluh bahwa di Pilkada DKI, Anies-Sandiaga telah menggunakan isu SARA secara kontra produktif.

Bahkan ada tuduhan secara tidak langsung, kelompok Islam tertentu yang menjadi pendukung utama Anies-Sandiaga, telah memanfaatkan masjid-masjid di ibukota, sebagai tempat berkampanye - untuk membangunkan sentimen sektarian. Dan cara itu berhasil.

Yang menarik dari "tuduhan" ini adalah yang selalu jadi sasaran, hanyalah Anies dan Sandiaga. Atau kalau mau lebih melebar, ke seorang pengelolah lembaga survei yang disebut-sebut pembuat konsep maksimalisasi masjid-masjid di ibukota.

Tapi tak ada yang memperhitungkan apalagi membawa persoalan tersebut ke forum Dewan Mesjid Indonesia yang dipimpin oleh JK.

Menghadapi Pilpres 2019, Abdillah Toha, seorang intelektual muslim yang merupakan salah seorang pendiri PAN bahkan pernah menjabat Sekjen PAN (Partai Amanat Nasional) - pada 30 Desember 2017 menulis di GeoTimes.

Isi artikelnya bersifat antisipatif. Bahwa masalah perbedaan agama bakal mewarnai debat-debat di dalam masyarakat, terutama dalam pelaksanaan Pilkada Serentak 2018 dan Pilpres 2019.

Ulasannya ikut menyinggung peranan masjid-masjid, sekalipun tak menyebut nama JK sebagai Ketua Dewan Mesjid Indonesia.

Yang pasti Abdlillah Toha mengkhawatirkan, jika perdebatan itu bereskalasi, bisa mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.

Dalam konteks kontestasi politik baik 2017, 2018 maupun 2019, politisi yang berpikir secara negarawan seperti Abdillah Toha, sudah sangat langkah.

Sama langkahnya dengan kita menemukan negarawan seperti JK.

Politisi senior ini, dari sudut apapun, masih tetap menjadi faktor penentu strategis perpolitikan nasional, termasuk hasil Pilpres 2019.

Dari perspektif ini, tidak ada salahnya kalau ditegaskan, terpilih tidaknya Jokowi di Pilpres 2019, ikut ditentukan oleh peran Jusuf Kalla dalam merangkul dunia Islam atau sebut saja "faktor JK", masih sangat menentukan. [***]

Penulis adalah wartawan senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA