Untuk menghitung kerugian negara kasus ini, kejaksaan meÂminta bantuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). "Perhitungan sementara terjadi total lost. Namun untuk memastikan, kami sudah meminta bantuan pihak BPK," kata bekas Kepala Kejaksaan Negeri Muarabulian, Jambi itu.
Polin menyatakan sudah ada pihak yang dibidik untuk menjaÂdi tersangka kasus ini. Penetapan tersangka dilakukan setelah dilakukan gelar perkara. "Kami secepatnya akan gelar perkara. Tidak perlu tunggu waktu lama-lama," tandasnya.
Sejauh ini, penyidik telah memeriksa sejumlah saksi. Termasuk direksi dan bekas direksi BPD Bali. "Saksi direksi sudah," kata Polin.
Pemeriksaan terhadap direksi dan bekas direksi untuk mengeÂtahui proses pengajuan kredit, agunan yang dijaminkan debitur, persetujuan kredit hingga penÂcairan dana.
Kasus pembobolan BPD Bali ini terungkap setelah ditemukan ketidakwajaran pencairan kredit kepada dua debitur, PT Karya Utama Putera Pratama dan PT Hakadikon Beton Pratama.
Berdalih akan mengerjakan proyek pembangunan hotel mewah di Jalan Bypass Ngurah Rai, Denpasar, kedua perusaÂhaan mengajukan pinjaman ke BPD Bali.
Pada 2013 silam, BPD Bali menyetujui memberikan kredit modal kerja dan kredit dan kredit investasi untuk PT Karya Utama Putera Pramata sebesar Rp 150 miliar. Sedangkan untuk PT Hakadikon Beton Pratama Rp 42 miliar.
Penelusuran yang dilakukan keÂjaksaan, pemilik PT Karya Utama Putera Pratama dan PT Hakadikon Beton Pratama merupakan orang yang sama, yakni HS.
Pencairan kredit dari BPD Bali dilakukan secara tidak waÂjar alias super cepat. Dilakukan menjelang pergantian direksi bank milik Pemerintah Provinsi Bali itu.
Ketidakwajaran lainnya, aguÂnan yang diajukan untuk mendaÂpatkan pinjaman berada jauh di bawah nilai kredit. Belakangan diketahui tanah di Jalan Raya Tuban, Badung Bali yang diÂjadikan agunan ternyata berÂstatus sewa.
"Jadi tanah itu bukan milik yang bersangkutan. Tapi dia menyewa dari orang lain untuk kemudian dijadikan sebagai jaÂminan kredit dengan nilai yang tidak memadai sebagai jaminan kredit," ujar Polin.
Lantaran ditemukan banyak ketidakwajaran itu, kejaksaan mencurigai ada kesengajaan untuk membobol BPD Bali. Apalagi, debitur menggunakan dana kredit bukan untuk mengerÂjakan proyek.
"Antara lain digunakan untuk bayar utang-utangnya ke beberÂapa bank," beber Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Bali Ida Bagus Nyoman Wismantanu.
Kejaksaan sudah meminta Imigrasi mencegah pemilik PT Karya Utama Putera Pratama dan PT Hakadikon Beton Pratama, kabur ke luar negeri.
Sementara untuk menutupi kerugian negara kasus ini, keÂjaksaan bakal menyita aset pemilik PT Karya Utama Putera Pratama dan PT Hakadikon Beton Pratama. "Bukan hanya di Bali, tapi juga ada di luar Bali yaitu di Palu dan Makassar," sebut Wismantanu.
Latar Belakang
Bobol Bank Rp 836 Miliar Dengan Dokumen Purchase Order Fiktif
Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menahan dua tersangka kasus pembobolan bank sebesar Rp 836 miliar. Kepolisian bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Transaksi Keuangan (PPATK) menelusuri aliran hasil pembobolan kepada pihak lain.
"Pelakunya diduga bukan hanya tersangka HS dan D," kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim, Brigadir Jenderal Agung Setya.
Aksi pembobolan ini dilakukanHS, Direktur PT Rockit Aldeway. Ia bekerja sama dengan D, manajer representatif bank pemerintah. HS berhasil menangguk kredit dari tiga bank pemerintah sebesar Rp 398 miliar. Kemudian Rp 438 miliar dari bank swasta.
Informasi yang diperoleh, bank yang mengucurkan kredit kepada HS yakni Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Muamalat, HSBC, Common Wealth, Bank UoB, dan Bank QNB.
Menurut Agung, modus pemÂbobolan bank yang dilakukan HS tergolong baru. HS yang pernah bekerja di bank mengetahui ada celah yang bisa digunakan untuk memperoleh kredit.
HS lalu mendirikan perusaÂhaan PT Rockit Aldeway dengan bidang usaha menyediakan batu split. Ia kemudian mengajukan Kredit Modal Kerja (KMK) ke tujuh bank. Untuk mendapatkan kucuran dana, HS bermodal purchase order (PO) pembelian batu split.
Ia mencatut nama 10 peruÂsahaan dan membuat PO fiktif. Kesepuluh perusahaan itu disebutkan sebagai pembeli batu split. Dokumen pemesanan dan adendum kontrak pembelian split dibuat sendiri oleh HS dengan memalsukan kop surat 10 perusahaan dan tanda tangan direksinya.
PO fiktif itu lalu diajukan ke bank untuk mendapatkan kredit. HS menyuap Dagar memberiÂkan persetujuan atas pengajuan kreditnya. "HS mempengaruhi Ddengan uang Rp 700 juta," sebut Agung.
Sebagai manager representaÂtive bank Dtidak melakukan verifikasi atas dokumen pengaÂjuan kredit. Termasuk mengenai syarat agunan pinjaman.
"Untuk mencairkan dana KMK, HS harusnya mengajukan satu bukti dokumen PO untuk bekerja. Kalau tidak ada itu tidak bisa dicairkan," ujar Agung.
Polisi sudah mendatangi 10 perusahaan yang disebutkan sebagai pembelian batu split. Perusahaan-perusahaan itu mengakutak pernah melakukan pemesanan.
"Perusahaan itu menyatakan palsu karena kopnya tidak sesuai dan tanda tangan tidak sesuai," kata Agung.
Setelah menerima kucuran kredit dari bank, HS menutup PT Rockit Aldeway. Ia mengaÂjukan pailit ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. "Perusahaan diÂpailitkan untuk menghindari pembayaran kredit," ujar Agung. Polisi pun memeriksa kurator yang menangani pailit PT Rockit Aldeway.
Agung curiga HS mengguÂnakan modus yang sama untuk membobol bank lain di luar tujuh bank. "Kita temukan ada dana lain yang kita sedang lakuÂkan penyelidikan sebesar Rp 1,7 triliun," kata Agung.
HS dijerat dengan Pasal 263 dan Pasal 378 KUHP serta Pasal 3 dan Pasal 5 UU Tindak Pidana Pencucian Uang. Sedangkan Ddijerat dengan Pasal 49 ayat 2 UU Perbankan.
"Kita masih mengembangkan kasus ini ke arah pencucian uangnya. Untuk itu, kita sudah berkoordinasi dengan PPATK," pungkas Agung. ***
BERITA TERKAIT: