Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

J.W. Siregar, Presiden Baru Republik Indonesia

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Senin, 27 November 2017, 07:28 WIB
J.W. Siregar, Presiden Baru Republik Indonesia
Joko Widodo (tengah)/Net
SOROTAN terhadap penyelenggaraan pesta pernikahan Kahiyang Ayu, putri tunggal Presiden Joko Widodo dengan Bobby Nasution, sulit dielakkan. Namun tidak ada salahnya, jika sorotan dibatasi pada sisi positifnya saja. Terutama yang berkaitan dengan prosesi yang mengikuti tata cara adat Jawa (Solo) dan Batak (Mandailing).

Pokoknya prosesi yang berada di luar acara akad nikah.

Jika prosesi itu yang dijadikan fokus sorotan, maka bangsa Indonesia patut berterima kasih kepada keluarga Kahiyang dan Bobby. Sebab mereka telah memberi contoh sekaligus pengingat.

Bahwa kita boleh mempelajari hal-hal baru yang berasal dari negara-negara maju. Dalam kegiatan sehari-hari, kita boleh bergaya hidup ala modern.

Namun menjadi manusia modern dan menerima hal baru, sebagai warga Indonesia, kita tidak serta merta harus membuang budaya kita sendiri.

Kita perlu memberi respek kepada kedua mempelai. Sebab mereka, sebagai bagian dari generasi baru Indonesia, generasi milinea yang cara berpikir mereka tidak lagi murni seratus prosen seperti cara berpikir orang tua mereka, namun secara sadar memutuskan - pesta pernikahan mereka pantas digelar dengan menonjolkan budaya Indonesa. Budaya Indonesia yang belum terkontaminasi.

Dugaan saya, keputusan menggelar pesta adat itu merupakan sebuah pilihan yang tidak mudah. Pengambilan keputusannya melalui proses panjang dan penuh perhitungan.

Antara lain karena penyelenggaraannya harus menggunakan tenaga kepanitiaan yang paham tentang budaya kedua suku masing-masing.

Nah, mencari orang yang paham dan ahli seperti itu, tidak mudah. Sebab yang tersisa biasanya orang-orang yang sudah lanjut usia.

Lalu orang-orang yang lebih tua ini rata-rata termasuk kelompok masyarakat yang selalu ditafsirkan sebagai komunitas kolot atau ketinggalam zaman.

Yah, menggelar sebuah pesta pernikahan secara adat di tengah-tengah derasnya pengaruh budaya asing, hampir sama dengan sebuah tindakan yang melawan arus.

Pesta pernikahan Kahiyang-Bobby pada akhirnya mengingatkan kembali kepada kita semua. Bahwa menggelar pesta adat bukan berarti kita mau kembali ke zaman kuno ataupun zaman batu.

Melainkan karena adat kita itu, memiliki kesakralan yang kuat. Dan kesakralan itu bisa menjadi perekat dan pengikat kuat sebuah perkawinan. Termasuk memperkuat ikatan hubungan kekeluargaan yang lingkarannya terus membesar.

Walaupun hanya menyaksikan acara pesta pernikahan itu melalui layar televisi, tetapi apa yang bisa terlihat di acara itu, menampilkan banyak hal baru.

Warga Indonesia yang berasal dari etnis atau suku berbeda dengan kedua mempelai, setidaknya memahami sisi-sisi penting dan kesakralan dari semua yang ditampilkan secara simbolik.

Setiap warna, bentuk dan letak dari "asesoris" yang melekat di acara pesta adat, memiliki simbol yang penuh makna.

Kita beruntung menyaksikan acara itu lewat siatran teve dimana para presenter ataupun reporternya, rata-rata membekali diri dengan pengetahuan yang komprehensif tentang adat Jawa (Solo) dan Batak (Mandailing).

Sejak menjadi wartawan di tahun 1970-an, menetap di ibukota Jakarta, pernah tinggal di dua negara industri dengan budaya yang berbeda, sudah cukup banyak pesta pernikahan yang saya hadiri.

Ditambah dengan jumlah relasi yang terus membengkak, sepanjang masa itu pula itu saya diundang menghadiri acara-acara pesta pernikahan dari pasangan yang berbeda suku atau etnis bahkan kewarga negaraan.

Tapi baru pesta pernikahan Kahiyang dan Bobby ini, saya cukup terkesan.

Pesta ini setidaknya menampilkan sebuah sifat dan sisi keagungan dari sebuah pernikahan.

Secara khusus saya juga perhatikan, penampilan Pak Jokowi.

Sebagai seorang ayah yang melepas putri tunggalnya, Jokowi menghadirkan satu bahasa tubuh yang jelas. Bahwa untuk anak wanita semata wayangnya, Jokowi mengeluarkan semua energi positif yang dimilikinya. Tentu dengan harapan pada kehidupan baru anak wanitanya itu, segalanya bisa dan akan berjalan dengan positif pula.

Pergumulannya, ketika melepas Kahiyang Ayu menjadi istri Bobby Nasution, mengingatkan sebuah video yang disiarkan di YouTube. Dimana sang ayah menyanyikan lagu "I The First" ("Saya Yang Pertama").

Sang ayah bernyanyi di depan sebuah mimbar, sementara anak wanita dan anak mantunya, beserta seluruh undangan duduk mendengarkan sang ayah bernyanyi. Yang syairnya penuh dengan pesan, supaya jangan sampai anak wanitanya itu disi-siakan oleh sang suami.

Sang ayah mengingatkan yang digambarkan dalam bentuk video clip, bagaimana sang ayah selalu menjadi orang pertama dalam kehidupan anak perempuannya itu.

Mulai dari saat dia mengendong ketika dikeluarkan dari rahim istrinya, membelikan mainan pertama termasuk menyaksikan pertama kali bagaimana dia berkencan dengan sang pacar.

"Tidak mudah melawan perasaan itu. Jadi saya harap kamu jangan sia-siakan anak perempuanku ini", ujar sang ayah melalui syair lagu.

Putrinya pun terharu, meneteskan air mata, sekalipun di sampingnya ia duduk bahagia dengan pengantian pria, suaminya.

Dari cara Jokowi melakukan "manotor" dimana di pundaknya, sudah melingkar sebuah ulos besar, kemudian memberi nasehat dalam Bahasa Batak, Presiden ke-7 RI tersebut nampak melakukan semuanya dengan cara yang "all out".

Di sini semakin terlihat Jokowi seakan mengingatkan, saking cintanya kepada anak perempuannya - yang saat ini sudah menjadi isteri lelaki Batak, diapun harus melebur menjadi orang Batak. Walaupun bahasa Batak-nya baru sepotong, tapi maknanya sangat dalam.

Sehingga anti klimaks pesta pernikahan itu pun tercapai.

Anti-klimaks semakin mendekati kesempurnaan, ketika Jokowi menerima marga Siregar sesuai adat Batak.
Yah, Jokowi punya marga Siregar, sebab putrinya Kahiyang sudah menjadi Kahiyang Ayu boru Siregar.

Semenjak Minggu 26 Nopember itu pun, nama Jokowi berubah Joko Widodo Siregar (J.W.Siregar).

Dalam pengertian budaya Batak, tapi bukan dalam pengertian politik, Indonesia sejak kemarin punya Presiden baru yang berasal dari suku Batak.

Hal lain yang saya catat pesta pernikahan ini menunjukkan, perbedaan suku, bukan lagi sebuah hal yang menjadi kendala dalam membangun persatuan. Sepanjang ada keinginan menghilangkan perbedaan atau menegatifkan setiap perbedaan, masalah perbedaan suku semestinya tak lagi menjadi sebuah persoalan yang sensitif.

Kahiyang Ayu, wanita Jawa yang terkenal kelembutannya, bisa menjadi permaisuri sekaligus pembawa suasana penyejuk di keluarga Batak, salah satu etnis di Indonesia yang budayanya cukup berbeda.

Semoga kesejukan yang sama juga berhembus dan menembus semua ruang-ruang besar di seluruh wilayah Indonesia - yang dihuni oleh 250 juta penduduk Indonesia yang berbeda suku dan agama. [***]

Penulis adalah wartawan senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA