Menghayati Wejangan Prabowo Dan Puan

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/jaya-suprana-5'>JAYA SUPRANA</a>
OLEH: JAYA SUPRANA
  • Sabtu, 05 Agustus 2017, 08:01 WIB
Menghayati Wejangan Prabowo Dan Puan
Jaya Suprana/net
DI TENGAH kemelut wabah kebencian yang sedang merajalela melanda panggung politik Nusantara masa kini, muncul suatu gejala baru yang tidak kalah kurang sehat.

Kebebasan perbedaan pendapat yang merupakan sukma dasar demokrasi dipleset-tafsirkan menjadi kebebasan saling menghujat, saling memfitnah sampai ke saling kriminalisasi.

Beda Pendapat


Mendadak mereka yang berbeda pendapat tidak berhenti pada perdebatan tentang pendapat yang saling beda namun berlanjut ke saling menghujat dengan bumbu yang sama sekali tidak ada kaitan dengan materi yang diperdebatkan. Hujatan sangat kreatif dikembangkan mulai dari tua bangka bau tanah, anak muda ingusan masih ngompol, tong sampah, anjing, babi sampai ke istilah kotoran yang tidak layak disebut di media terhormat dan beradab ini.

Hujatan juga kreatif dikembangkan di ranah politik semisal komunis, PKI, anti Pancasila, anti pluralis, intoleran, anti Bhinneka Tunggal Ika sementara yang menghujat senantiasa menyombongkan diri sebagai Pancasila, pluralis, toleran , Bhinneka Tungga Ika. Bahkan kata khalifah yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sebenarnya bermakna "wakil (pengganti) Nabi Muhammad saw. setelah Nabi wafat (dalam urusan negara dan agama) yang melaksanakan syariat (hukum) Islam dalam kehidupan negara" atau "gelar kepala agama dan raja di negara Islam" atau "penguasa; pengelola" mendadak digunakan dalam makna hujatan negatif bahkan destruktif membunuh karakter lawan beda pendapat.

Akibat kehadiran teknologi medsos maka wabah saling menghujat makin merajalela akibat siapa saja dapat menghujat tanpa kejelasan identitas dirinya. Budaya surat kaleng kini telah sempurna diambil alih oleh budaya sms atau email kaleng. Lebih celaka lagi adalah gejala mereka yang beda pendapat rawan dikriminalisasikan mulai dari tuduhan membuat rasa tidak nyaman, pencemaran nama baik sampai makar.

Wejangan


Syukur Alhamdullilah, di tengah suasana kemelut wabah kebencian, dua tokoh nasional  berupaya menyejukkan suasana dengan menyampaikan wejangan yang sangat perlu kita hayati bersama. Dua tokoh tersebut adalah Prabowo Subianto dan Puan Maharani.

Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto secara pribadi telah langsung menegur Waketum Gerindra, Arief Poyuono akibat ucapan yang mengaitkan PDIP dengan PKI. DPP Gerindra juga akan segera memanggil Arief untuk diminta pertanggung-jawaban atas ulahnya. Prabowo juga menugaskan Fadli Zon membantu mengklarifikasi tudingan Arief kepada PDIP agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.  

Menurut Prabowo, Partai Gerindra sangat menghormati PDIP sebagai mitra bukan musuh dalam berdemokrasi. Masalah perbedaan pendapat politik tidak membenarkan Gerindra melempar tudingan negatif terhadap PDIP.  

Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani ikut angkat bicara terkait pernyataan Arief. Dia menyentil Arief yang melontarkan pernyataan yang menyerang partai lain. Menko PMK mengimbau para politisi tidak menuding dengan data yang jelas.

"Saya tidak bicara partai per partai. Tapi menurut saya, berpolitik itu harusnya dilakukan dengan etika dan santun. Jadi dalam artian, tidak usahlah berkomentar yang saling menghujat," ujar Puan.  

Pernyataan Puan mengungkap kearifan pembangunan manusia dan kebudayaan sebagai dua dari sekian banyak pilar-pilar yang menjunjung tinggi harkat martabat negara, bangsa dan rakyat Indonesia.

Silakan masyarakat Amerika Serikat di masa kepresidenan Trump saling menghujat namun marilah kita buktikan bahwa masyarakat Indonesia memiliki peradaban yang lebih tinggi.

Penulis adalah pembelajar demokrasi

< SEBELUMNYA

Hikmah Heboh Fufufafa

BERIKUTNYA >

Dirgahayu Indonesia

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA