Gejala buruk tersebut jangan dianggap sepele sebab makna tertawa bukan sekadar berhenti pada tertawa saja. Makna tertawa merambah ke kawasan luar biasa kompleks sampai ke berbagai penjuru aspek kehidupan baik yang terduga mau pun tak terduga memiliki kaitan dengan tertawa secara positif namun juga secara negatif bahkan destruktif terhadap peradaban bangsa Indonesia.
Psikobiologis
Secara psikobiologis tertawa merupakan suatu bentuk refleks motorik yang diproduksi oleh kontraksi tidak kurang dari 15 otot yang berada di kawasan wajah manusia secara terkoordinir dalam pola-pola stereotipikal serta diiringi dengan hambatan pada pernafasan.
Stimulasi elektrikal pada otot-utama pada bibir bagian atas -zygomatic major- dengan beragam intensitas arus menciptakan ekspresi wajah mulai dari sesimpul senyum sampai ke seringai lebar sampai ke kejang mulut akibat tertawa terbahak-bahak.
Itu baru aspek mekanikal tertawa, di mana sisi lainnya tidak kalah kompleks, rumit dan ruwet! Memang tertawa bisa dianggap sebagai suatu bentuk response, sementara humor adalah stimulus.
Namun keliru jika menganggap humor adalah satu-satunya stimulus bagi tertawa. Sama kelirunya dengan anggapan bahwa tertawa adalah satu-satunya reaksi terhadap humor .
Kedua untuk itu tidak berambisi untuk saling memonopoli. Tertawa bisa timbul sebagai reaksi terhadap stimulus-emosional (akibat pihak yang tertawa merasakan sesuatu yang lucu ), namun bisa juga stimulus-fisikal (gelitik, itik-itik) atau stimulus-kimiawi (akibat gas N2O) atau stimulus-faal (stadium-akhir penyakit multiple-sclerose disebut sebagai pseudobulbaire paralyse , suatu gejala ragawi mirip tertawa namun berdampak melumpuhkan sebelum membinasakan). Atau ada juga tertawa tanpa stimulus seperti orang yang tertawa sendirian akibat gangguan kejiwaan.
Sehat
Hadir suatu keyakinan bahwa “tertawa itu sehat†padahal tertawa belum tentu sehat. Bahkan tertawa bisa berbahaya bagi kesehatan! Tertawa berlebihan bisa menimbulkan gangguan terhadap mekanisme pernapasan sampai pencernaan. Tidak sedikit pasien terpaksa masuk unit gawat darurat rumah sakit akibat kejang sekat-rongga-badan akibat tertawa.
Bagi yang baru saja mengalami bedah tubuh bagian perut, dada sampai mulut, sebaiknya jangan tertawa, bukan hanya demi cepat sembuh namun juga demi mampu tetap hidup. Tertawa bahkan potensial menjadi penyakit menular, seperti yang terjadi di desa Bukobia, Tanzania pada tahun 1972 di mana para gadis remaja di dusun itu secara berjemaah tertawa tanpa bisa berhenti selama berhari-hari. Ternyata tertawa tanpa henti apalagi selama berhari-hari sama sekali tidak sehat! Dalam keadaan tertawa, manusia sulit melakukan kegiatan makan, minum sampai buang air kecil mau pun besar!
Sosial
Secara sosial, peran tertawa sama sekali tidak sepele. Hubungan antar insan lebih baik terjalin dalam suasana gelak-tawa bersama, ketimbang saling pelototan mata sambil saling cemooh, hujat, fitnah, kriminalisasi bahkan saling mengancam untuk saling membinasakan! Namun tertawa harus dikendalikan agar “empan papan†alias tepat tempat, waktu serta sasaran.
Tertawa wajib bertanggung jawab sosial, seperti misalnya jangan tertawa pada upacara pemakaman. Lelucon yang paling jenaka bisa saja sama sekali tidak merangsang seseorang untuk tertawa, apabila inti makna kejenakaan lelucon tidak tertangkap.
Lelucon beraroma SARA lazimnya sulit bikin pihak sasaran lelucon untuk tertawa. Bisa juga akibat secara pribadi, pihak penerima lelucon kebetulan antipati, dengki, cemburu, dendam , benci terhadap pihak pemberi lelucon maka selucu apa pun sang lelucon mustahil bikin tertawa.
Berdasar etika peradaban, memang adalah jauh lebih adil dan beradab untuk gemar menertawakan diri sendiri ketimbang gemar menertawakan orang lain.
[***]
Penulis adalah pendiri Pusat Studi Humorologi
BERITA TERKAIT: