Kepergian sang suami, untuk selama-lamanya semakin dikaitkan dengan hilangnya ikon, postur dan porto folio penting dalam tubuh PDIP. Karena Taufiq semasa hidupnya dianggap sebagai tutor politik bagi pribadi Megawati maupun perekat partai dan pluralisme bangsa, yang tak tergantikan.
Faktor Taufiq Kiemas dalam diri PDIP dan Megawati dianggap demikian kuat. Sehingga ada perhitungan, eksistensinya Megawati dan berakhirnya riwayat PDIP dalam percaturan politik nasional, sudah berada dalam lingkaran menghitung hari.
Diperkirakan Megawati, sebagai wanita yang besar dalam lingkungan “yang biasa diproteksiâ€, serta merta akan mengalami kesulitan mengendalikan PDIP. Terutama karena PDIP lebih banyak anggotanya yang berasal dari komunitas “wong cilikâ€, warga yang tidak terbiasa dipimpin oleh pemimpin dari kelas elit.
Megawati sendiri bagi banyak kalangan, dianggap pemimpin dari kelas elit, karena ayahnya Bung Karno, sebagai Proklamator dan Presiden pertama RI, dikategorikan sebagai warga kelas elit.
Namun spekulasi tetap saja sebuah spekulasi. Karena nyatanya karir politik Megawati terus berlanjut sementara kharismanya sebagai politisi wanita yang semakin banyak makan garam pahit, mulai disebut-sebut sebagai pemimpin yang patut diperhitungkan.
Bahkan sudah ada yang menjulukinya sebagai “Wanita Besi†atau “
The Iron Ladyâ€.
Sewaktu Taufiq Kiemas masih hidup sebagai politisi senior, Megawati lebih sering menangis, mengelurkan air mata manakala menyampaikan pidato politik di depan massa. Kini kebiasaan itu praktis sudah hilang.
Tidak adalagi yang menyindirnya sebagai “Wanita Cengeng†atau bahkan “
The Crying Ladyâ€.
Jika selama Taufiq Kiemas masih hidup, Megawati lebih suka berpidato dengan naskah yang sudah disiapkan, kini hal itu hampir tak pernah terjadi lagi.
Namun indikator yang paling jelas, bahwa Megawati sudah menjelma wanita yang kuat dan diperhitungkan, terlihat dalam minggu-minggu terakhir ini. Bahwa Megawati dan PDIP kembali menjadi faktor dan elemen penting dalam percaturan politik nasional.
Antara lain ketika Presiden Joko Widodo mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai anggota Dewan Pengarah di Unit Kerja Presiden untuk Pembinaan Ideologi Panca Sila. Kemudian penetapan lembaga baru itu dilakukan sehari sebelum penetapan 1 Juni sebagai Hari Kelahiran Panca Sila.
Ditunjuknya Megawati sebagai Anggota UKP PIP pada 31 Mei 2017 dan keesokan harinya dibarengi dengan penetapan 1 Juni sebagai Hari Kelahiran Panca Sila, yang dimulai tahun 2017 ini, memiliki arti dan dimensi politik yang sangat berarti bagi Megawati.
Dengan masuknya Megawati dalam lembaga baru itu, menunjukkan, Presiden Joko Widodo sebagai wakil pemerintah mempertegas peranan dan legitimasi Megawati Soekarnoputri sebagai seorang Advokat atau pembela Panca Sila.
Sementara untuk menjadi Advokat Panca Sila di tengah suasana melunturnya semangat Panca Sila dalam kehidupan bermasyarakat, bukanlah hal yang mudah atau pekerjaan yang gampang.
Sebaliknya kesediaan Megawati sendiri menjadi Advokat Panca Sila, memperlihatkan semangat mengabdinya bagi negara dan bangsa, sebagai bekas Presiden, masih kuat. Dengan usianya yang sudah mencapai 70 tahun pada 23 Januari 2017 lalu, faktor usia ternyata tidak membuat usia tuanya menjadi penghalang untuk sebuah pekerjaan yang tidak bisa diukur keberhasilannya.
Semangat ini bukan hanya penting dilihat dari sisi Megawati. Tetapi juga dari sudut kepentingan Joko Widodo sebagai Presiden. Di sini terlihat bahwa Presiden Joko Widodo secara lelaki menunjukkan keberpihakannya terhadap Panca Sila, sekaligus membantah atas tuduhan miring terhadapnya bahwa dia merupakan seorang kader binaan partai terlarang PKI.
Dengan penetapan kembali hari Panca Sila yaitu 1 Juni, Megawati tanpa Taufiq Kiemas berhasil meyakinkan Presiden Joko Widodo agar pengakuan terhadap Bung Karno sebagai penggali dan penemu Panca Sila, berhasil diluruskan. Sejarah Panca Sila, sejarah bangsa, tak jadi dibelokkan.
Bayangkan hari kelahiran Panca Sila yang di era Soekarno jelas-jelas diajarkan jatuh pada 1 Juni, di era Soeharto, berubah. Digeser oleh Sejarawan Orde Baru, Brigjen (almarhum) Nugroho Notosusanto. Bahwa Panca Sila itu lahir pada 18 Agustus 1945.
Pelurusan sejarah Panca Sila oleh Presiden Joko Widodo ini, bukan hal yang mudah. Sebab selama satu generasi, bangsa Indonesia sudah dicekoki oleh versi Menteri Pendidikan dalam pemerintahan Orde Baru. Setidaknya lebih dari 30 tahun, hampir setengah abad, pengingkaran atas peran Bung Karno, mendiang ayah Megawati, dilakukan secara kolektif oleh bangsa Indonesia.
Sehingga atas dasar latar belakang itu, catatan ini menggunakan judul "Megawati dan PDIP Masih Tetap Diperhitungkan".
Indikator lainnya yang menunjukkan Megawati masih diperhitungkan, terlihat dari respond masyarakat elit lewat di acara perayaan Hari Lebaran pekan ini.
Secara resmi Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, mengumumkan bahwa Megawati Soekarnoputri, selaku Ketua Umum PDIP, tidak menggelar acara “Open House†pada hari Lebaran Pertama, 25 Juni 2017.
Namun apa yang terjadi, para undangan yang datang ke kediaman Megawati Soekarnoputri seperti banjir yang datang tanpa diundang. Mereka yang bersilah turahmi, tidak terbatas pada keluarga dan teman terdekat. Malahan lebih banyak dari mereka yang masuk kategori elit bangsa Indonesia.
Mungkin juga di antara mereka, terdapat politisi yang berseberangan dengan Megawati atupun PDIP. Tapi pada hari Lebaran ini 'berpura-pura' akrab dengan Megawati.
Acara lebaran itu tak ubahnya dengan “Open Houseâ€. Jalan Teuku Umar yang terdiri dari dua jalur, kiri kanannya dipenuhi oleh parkiran mobil-mobil berbaris dua.
Dan yang menarik, komentar lugu dari petugas kemananan yang menjaga acara tersebut. Yang menyatakan bahwa Megawati Soekarnoputri cukup sukses dengan taktik, tidak “Open Houseâ€. Karena cara ini bisa dijadikannya sebagai barometer untuk melihat siapa relasi, warga atau politisi yang benar-benar masih memperhitungkan pengaruh “The Iron Lady†tersebut.
[***]