Pasalnya sekalipun para peserta banyak yang membuat pukulan di bawah par, tapi kejuaraan ini, seperti tidak menunjukkan kelas dan bobot yang patut membuat kita berdecak kagum.
Berbeda dengan ketika kejuaraan ini masih diikuti oleh Tiger Woods.
Pegolf berdarah campuran Afro-American & Thailand ini, dikenal dengan berbagai pukulan yang super memukau. Untuk padang golf design kuno seperti Erin Hills, tempat US Open ke-117 digelar, bukan hal yang mengejutkan kalau Tiger bisa mendaratkan bola golf ke green pada pukulan kedua di par 5.
Tiger di usia yang masih 20-an, sudah menciptakan skor dan pukulan yang spektakuler. Sehingga kapan saja Tiger Woods sedang main, sangat rugi bagi seorang pecinta golf, jika tidak ikut menyaksikan permainannya.
Padahal untuk menonton siaran langsung sebuah kejuaraan golf, minimal dibutuhkan waktu 5 jam non-stop. Dan itu berlangsung selama 4 hari berturut-turut. Dimulai Kamis, berakhir Minggu.
Golf tidak membosankan, golf dirindukan sepanjang ada Tiger Woods.
Bukan melebih-lebihkan keistimewaan golf dan kehebatan Tiger Woods. Tapi waktu yang kita habiskan selama empat hari - dan biasanya dimulai tengah malam, tidak saya rasakan sebagai hal yang membuang waktu yang berguna.
Sebab golf secara subyekti bagi saya merupakan olahraga ketangkasan yang bermanfaat bagi kehidupan. Banyak filsafat kehidupan yang direpresentasikan olahraga ini - sekalipun tidak semua pegolf memandangnya seperti itu.
Tambahan lainnya, golf bukan tontonan seperti sepakbola yang penuh atraksi. Misalnya ada tendangan salto, tendangan pisang dan penyelamatan kiper yang spektakuler atas sebuah tendangan torpedo. Yang bisa membuat kita sebagai penonton berdecak kagum.
Namun oleh seorang Tiger Woods di golf, decak kagum itu bisa dihadirkannya. Inilah kelebihan Tiger Woods dan golf bagi para pegila golf.
Dari kejenuhan menonton golf US Open, saya seperti disadarkan oleh sebuah ingatan, bahwa dalam kekinian, Indonesia juga mengalami kekosongan atas figur yang bisa menjadi penyemangat.
Penyemangat bahwa negara kita sedang diurus dengan baik oleh sebuah “dream teamâ€. Anggota "dream team" ini seperti halnya Tiger Woods di golf, memiliki kiat yang spektakuler bagaimana membuat Inonesia negara yang terpandang di mata dunia.
Sebaliknya yang saya rasakan negara kita saat ini sedang tidak punya individu-individu yang bisa membuat kita sebagai warga bangsa berdecak kagum.
Penilaian saya pasti subyektif. Karena saya buat perbandingan, tanpa melihat waktu ataupun zamannya. Saya hanya melihat manusia dan karakternya.
Tapi sebagai wartawan yang di masa muda, masih penuh enerji meliput berbagai kegiatan penting dari eksektutif dan legislatif, kesimpulan saya menyatakan saya harus bersuara. Fakta harus diungkap. Perasaan tidak boleh disembunyikan. Kalau tidak kita akan menjadi manusia munafik.
Saya tidak ingin mengeritik Pak De Joko Widodo, sebagai Presiden yang dipilih mayoritas rakyat Indonesia. Bukan karena alasan takut dan sebagainya.
Bekas Walikota Solo ini sejauh yang saya pantau dari kejauhan, termasuk orang baik. Setidaknya aura untuk menjadi koruptor selama menjadi Presiden, tidak tercermin dari penampilannya. Jokowi orang lugu yang sedang belajar dari sekelilingnya yang kenyataannya tidak semua lugu, polos seperti tia.
Tapi yang saya lihat kelemahan pemerintahan Presiden Joko Widodo, adalah karena dia tidak didukung oleh para pembantu yang betul-betul bekerja untuk bangsa dan negara.
Atau memahami bahwa menjadi pembantu Presiden harus all out.
Kita pernah punya Presiden yang dianggap otoriter dalam memerintah yakni Jenderal Soeharto.
Tapi yang cukup menarik, Soeharto sebagai Presiden militer yang memerintah dengan tangan besi, merekrut personel yang memiliki kemampuan tersendiri dan saya kira hingga kini belum tertandingi.
Pak Harto awam soal ekonomi. Tapi keputusannya memberi kepercayaan kepada Prof. Dr. Widjojo Nitisastro, seorang anggota “Mafia Berkeley†yang diangap menjadi otak dari semua konsep pembangunan, ikut membuat pemerintahan Pak Harto kredibel ketika berbicara tentang pembangunan.
Prof. Widjojo sendiri dikenal sebagai teknokrat yang tidak banyak bicara apalagi mau tampil di televisi seperti TVRI. Yang saat itu merupakan satu-satunya televisi di Indonesia. Praktis, dia hanya bicara kepada pers sekali dalam tahun. Biasanya dua hari sebelum Presiden Soeharto menyampaikan Pengantar Nota Keuangan RAPBN di Sidang Paripurna DPR-RI.
Prof. Widjojo menjelaskan latar belakang penyusunan RAPBN, sehingga wartawan atau pimpinan media paham apa yang akan dilakukan oleh pemerintah satu tahun ke depan.
Dunia ekonomi yang bagi orang non-ekonomi sebagai hal yang rumit, menjadi mudah dipahami. Rasa-rasanya, tidak apernah terjadi sebuah kebijakan pajak yang baru diumumkan beberapa hari lalu dikoreksi sendiri oleh ororitas perpajakan. Ini sekedar sebuah ilustrasi.
Lalu ada Menteri Sekretaris Kabinet Moerdiono, yang sekaligus penulis pidato Presiden Soeharto selama hampir 32 tahun. Dialah pencipta kata-kata pembuka di hampir setiap pidato Presiden Soeharto yang berbunyi : “….. Saudara-saudara sebangsa dan se Tanah Air…â€.
Kalimat di atas tadinya tidak berarti apa-apa. Namun setelah berkali-kali mendengarkannya, paling tidak saya sendiri, merasakan kosa kata itu mengandung ajakan agar kita sesama warga bangsa Indonesia harus bersatu. Artinya pidato seorang pemimpin apalagi seorang Presiden, harus ditulis dengan sebuah visi sehingga bermakna. Tidak asal bunyi.
Tidak pernah terjadi, Presiden Soeharto membacakan pidato yang dipersiapkan oleh staf lantas isi atau data dan faktanya salah.
Juga ada Sudharmono, Menteri Sekretaris Negara. Praktis dia merupakan juru bicara tidak resmi Presiden Soeharto. Bagi wartawan yang bertugas meliput kegiatan Presiden Orde Baru, paling enak mewawancarai atau mendapatkan keterangan dari Pak Dhar. Begitu dia dipanggil akrab oleh kami.
“Press klar ini. Karena Pak Dhar yang akan kasih keteranganâ€, begitu kami sebagai korps wartawan Istana, bila sudah diberitahu bahwa Mensesneg yang akan memberikan keteran pers.
Wajah Pak Dhar juga “ngenakinâ€. Belum apa-apa, begitu dikerumuni wartawan, sudah tersenyum. Walaupun wartawan era Soeharto terbiasa hidup dalam tekanan pemerintah, tapi berdekatan dengan Pak Dhar, kita merasa seperti manusia yang dibutuhkan oleh rezim yang otoriter.
Dia selalu memberi pengantar konteks apa yang perlu disampaikan, lalu memberi kesempatan bertanya. Jadi pemahaman atas sebuah persoalan apalagi yang agak rumit, selalu diawalinya dengan penjelasan dan latar belakang singkat. Hal mana membuat wartawan terbantu dan seakan wartawan-wartawan Istana itu cerdas semuanya. Termasuk saya.
Padahal kita menjadi ‘WKC’, wartawan kelihatan cerdas, karena peran dan bantuan si nara sumber. Dalam hal ini Mensesneg Sudharmono.
Semua pertanyaan, sensitif apapun yang diajukan ke Pak Dhar, selalu dijawab secara proporsional. Kalau ada yang sensitif Pak Dhar hanya berpesan: “ kalau yang tadi off the record yahâ€.
Selesai.
Ali Murtopo, jenderal yang dikenal tokoh dunia intelejens ini, tercatat sebagai anggota militer yang merangkap sebagai politisi. Bicaranya tegas, lugas dan kalau suka atau tidak suka pada seseorang, tanpa tedeng aling-aling, perasaannya itu akan disampaikannya.
Saya teringat pada peristiwa di Gedung DPR/MP-RI, Senayan, bertepatan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR-RI 1978.
Betapa marahnya Ali Murtopo mengomentari pemandangan umum Fraksi Partai Persatuan Pembangunan di Sidang Umum MPR-RI terhadap pidato pertanggung jawaban Presiden Soeharto selaku Mandataris MPR-RI.
“Hanya orang sinting yang bisa menilai pidato Mandataris seperti ituâ€, kata Ali Murtopo kepada wartawan, di lobi Ruang Sidang Paripurna DPR-RI.
Secara pribadi Ali Murtopo menyalahkan politisi PPP dari NU Chalid Mawardi. Namun yang mengejutkan, tak lama setelah ‘insiden’ itu, Chalid Mawardi yang ketika itu menjabat Ketua Umum DPP Pemuda Ansor, mendapat perlakuan istimewa dari pemerintah.
Mula-mula diajak Wapres Adam Malik ke Havana Kuba dan sekembali dari sana, ditunjuk Presiden menjadi Dubes RI untuk Libanon. Suara oposisi yang sering disampaikan Chalid Mawardi pun akhirnya berkurang tensinya.
“Politisi itu harus kritis dan berani. Dan tidak boleh pendendamâ€, ujar Chalid Mawardi kepada saya beberapa tahun kemudian, sekembalinya dari Beirut, Libanon.
Kepadanya saya tanyakan, apakah pidato menyerang oleh PPP terhadap Presiden - sebagaimana yang dibacakannya bersama Ibu Aisah Amini saat Sidang Umum MPR itu, merupakan taktik untuk memperoleh jabatan.
Masih tentang Ali Murtopo. Pada sebuah acara di Hotel Kartika Chandra, Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Ali Murtopo menggelar pertemuan dengan sejumlah ormas pemuda. Tujuannya untuk mensosialisasikan pencantuman ormas pemuda KNPI dan penatarran Panca Sila di GBHN.
Tiba-tiba, Japto Soerjosumarno yang ketika itu belum terlalu dikenal sebagai pimpinan Pemuda Panca Sila, menginterupsi.
Ali Murtopo langsung memberi waktu bicara kepada Japto dan sebelum memberikan “mikeâ€, Ali Murtopo langsung berujar: “Anda akan jadi pemimpin masa depan pemuda Indonesiaâ€.
Bagi saya apa yang diucapkan oleh Ali Murtopo, bukan kosa katanya yang menarik untuk dicermati. Tapi sikapnya memberi respon. Itu semua menunjukkan bahwa sebagai bagian dan pilar pemerintahan Orde Baru, Ali Murtopo tidak sekedar sebagai ‘pelengkap penderita’.
Dia ikut mencitrakan pemerintahan Presiden Soeharto sebagai rezim yang punya wibawa dan integritas. Menariknya lagi, Ali Murtopo menurut cerita tak terkonfirmasi, merupakan jenderal yang ingin menggantikan Pak Harto sebagai Presiden.
Peran-peran besar masih banyak yang dilakukan oleh sejumlah tokoh. Tapi nanti saya ulas di esidi berikutnya.
Semangat mau menulis ulasan yang lebih menyeluruh, tiba-tiba terganggu membaca kutipan Dirut PLN Sofyan Basir.
Benci atau lebih tepat disebut marah banget saya membaca ucapannya yang beredar di media soial yang berbunyi begini : “Mau tarif listrik urun? Cabut Meterannya!â€.
Jika ucapan itu benar dari Sofyan Basir, saya berharap Presiden Joko Widodo memecatnya dengan tidak hormat.
Pejabat publik berkarakter seperti ini, jika tidak dipecat akan ikut merusak kredibilitas pemerintah, cq Presiden Joko Widodo sendiri.
[***]
Penulis adalah wartawan senior
BERITA TERKAIT: