Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

"Freeport" Dikte RI Selama 50 Tahun

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Jumat, 24 Februari 2017, 07:53 WIB
<i>"Freeport" Dikte RI Selama 50 Tahun</i>
Derek Manangka/Net
KALAU memoriku tidak "error", Joko Widodo atau Jokowi merupakan satu-satunya Presiden RI yang memberi perhatian begitu besar terhadap Papua.

Dia lah Presiden yang menawarkan sejumlah agenda yang tidak pernah terpikirkan oleh pesiden-presiden sebelumnya.

Tetapi pada saat yang sama, ada juga kekhawatiran, perhatiannya yang demikian, justru bisa membuatnya terpelanting dari kursi kepresidenan.

Beruntung kalau Jokowi terpelanting, tetapi Indonesia tetap eksis.

Tegasnya, semua perhatian Jokowi yang menjadi semacam investasi kemanusiaan dan peradaban itu, bakal sia-sia.

Berhubung langkah Jokowi terbentur atau bertabrakan dengan Freeport dan kepentingan konglomerasi. Perusahaan asal negara liberal Amerika Serikat dan sudah 50 tahun hidup nyaman, aman tenan di bumi Papua.

Perhatian Jokowi yang terbaru soal penyeragaman harga BBM. Dimana harga BBM yang dijual di Papua ditetapkan pemerintah harus sama dengan yang dijual di pasar Jakarta, Ibukota NKRI atau wilayah lainnya.

Makna tersirat kebijakan itu, rakyat Papua diberi bukti bahwa kebijakan Presiden tidak lagi menganak tirikan warga Papua.

Kalau diterjemahkan dalam perspektif kemerdekaan, maka kemerdekaan yang dinikmati oleh rakyat Jakarta atau wilayah lain,  juga dinikmati oleh rakyat Papua.

Sebelum itu, Jokowi-lah juga yang menjanjikan akan membangun Istana atau Kantor Kepresidenan di Papua.

Makna tersirat, Istana sebagai simbol kekuasaaan tidak hanya milik orang Jawa atau Bali. Karena hanya di dua pulau tersebut saja terdapat Istana atau Kantor Kepresidenan.

Jokowi mengunjungi destinasi wisata terbaru, Raja Ampat, di Papua Barat.

Makna tersirat, yang mempromosikan keindahan Raja Ampat dan Papua, langsung dan secara gratis, sosok Orang Nomor Satu di Indonesia. Bukan artis atau aktor profesional yang dibayar mahal.

Gubernur Papua Lukas Enembe, merupakan pejabat daerah pertama di Indonesia sekaligus satu-satunya yang menolak kedatangan Presiden RI ke bumi Papua. Dan Jokowi yang jadi korbannya.

Namun wong Solo itu, tidak tersinggung apalagi mempersalahkannya saudaraku dari Papua. Jokowi terus lakukan pedekate kepada kader Partai Demokrat itu. Sampai akhirnya, tak sampai setahun Lukas Enembe berubah. Lukas bisa berlengket ria dengan Presiden Jokowi. Well done.

Sebelum Jokowi dilantik sebagai Presiden, pada Oktober 2014, OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang menentang keberdaan Papua dalam bingkai NKRI, sudah cukup ramai berpropaganda.

OPM bahkan sudah mengumumkan pembukaan Kantor Perwakilan-nya di Oxford, Inggeris. Berikut nama dan personalia sebagai "Kabinet Bayangan" bila OPM berhasil memisahkan diri dari NKRI.

Maknanya, perlawanan terhadap Jokowi sudah mendunia. Namun Presiden Jokowi tidak reaktif. Ia terus bergerak dan bekerja. Seakan dia menisbikan eksistensi OPM.

Di dalam negeri Jokowi terus menawarkan pembangunan infrastrutkur di pulau terbesar di ufuk Timur tersebut.

Ada yang menduga, perhatian yang demikian besar Presiden Jokowi terhadap Papua, tidak lepas dari faktor sejarah atau kenangan indah pribadi.

Konon, kakek isteri Pak Jokowi, atau Ibu Negara Iriana, pernah bertugas sebagaj guru di Papua. Yang ketika itu namanya masih belum seperti sekarang yaitu: Irian.

Mungkin karena terkesan oleh banyak hal positif selama bertugas di Papua atau Irian, nama Irian itu ditambahi satu huruf, yakni huruf "a", sehingga menjadi Iriana.

Sang cucu Iriana, tak disangka menjadi Ibu Negara, isteri Presiden RI. Inilah yang mem-"bonding" Jokowi.

Namun apapun alasannya, bukan soal ikatan emosional Presieden Jokowi yang perlu dikaji.

Tetapi apakah wajar bila Jokowi dibiarkan sendiri menghadapi Freeport?

Alasannya, menghadapi pertarungan dengan Freeport, Presiden Jokowi mulai dijadikan Target Operasi (TO).

"Political body language" atau bahasa tubuh politik yang mengemuka, mengindikasi menghadapi Freeport, Jokowi hanya ditemani oleh Menteri ESDM, Ignatius Jonan.

Selebihnya kalangan parlemen dan bahkan mungkin segelintir elit yang berada di sekeliling Istana seolah mau menghindar. Tidak mau terkena getah atau percikan lumpur dari percikan perseteruan dengan Freeport.

Indikasi itu terlihat menguat lewat pemberitaan media umum maupun media sosial.

Indikasi itu menunjukan - semoga keliru, para pembantu Jokowi tidak setebal patriot mereka yang menjadi Menteri atau kepercayaan Presiden SBY apalagi Soeharto.

Semangat berani berkorban atau mengambil resiko terkesan sangat lemah. Atau nampak rabun kalau dilihat dengan kacamata baca.

Dalam konteks cerita posisi Jokowi seperti kisah dalam film "Home Alone".  Dia berada dalam rumah kosong sendirian, sementara ancaman penyamun dari luar sangat membahayakan.

Bisa dipahami, jika  posisi Jokowi saat ini sedang dibahas oleh penguasa Freeport. Karena sikap tegas Jokowi, baru pertama kali dialami Freeport. Dari para presiden terdahulu, mereka "casefree".

Dari sejumlah ulasan atau postingan di media sosial yang disampaikan oleh pihak yang kelihatannya sedang bertindak sebagai agen Freeport, cukup jelas bahwa Jokowi sedang "diultimatum".

Ada ulasan misalnya yang mengingatkan sikap Menteri ESDM Ignasius Jonan, tetapi isinya sebetulnya diarahkan kepada Presiden Jokowi. Ala perang urat syaraf.

Intinya, Jonan, Jokowi atau pemerintah RI tidak akan bisa memenangkan perundingannya dengan Freeport.

Saya kira pandangan ini yang harus diperangi. Karena persoalannya betada pada moral dan martabat. Jadi apapun yang dihadapi bukan soal menang atau kalah.

JADI sikap Menteri Jonan dan Presiden Jokowi yang berani bertindak tegas terhadap Freeport harus dilihat dalam konteks kepentingan bangsa untuk masa yang lintas waktu.

Kita boleh dikalahkan oleh pendapat bahwa kekuatan Freeport dibandrol oleh UU.

Tetapi hati nurani dan akal sehat yang sebetulnya patut diajukan adalah: apakah wajar sebuah perjanjian yang sudah berusia 50 tahun, tidak boleh dirubah?

Negara kita ini sudah 7 kali berganti Presiden. Dan dalam perjalanan pergantian 7 Presiden itu, rakyat kita sudah berdarah-darah.

Apa ia posisi berdarah-darah ini masih harus berlanjut?

Kita sudah mengamandeman UUD yang dibuat oleh para pendiri bangsa pada tahun 1945.

Logikanya, lalau UUD saja bisa diamandemen, lalu perjanjian kontrak kerja, apa tidak bisa disesuaikan, dirobah bahkan dihapus?

Edan dan mengada-ada, kata yang cocok bagi para pembela Freeport.

Pertanyaan lain, siapa dan apa keistimewaan Freeport. Sehingga perusahaan itu sejajar dengan kedudukan negara kita?

Freeport hanyalah satu perusahaan yang didirikan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya bagi sekelompok kecil.

Sementara Indonesia merupakan sebuah negara yang didirikan melalui perjuangan hidup mati untuk mensejahterakan kehidupan jutaan manusia.

Dukungan terhadap rezim Presiden Jokowi menghadapi Freeport hanya mengada-ada, jika tidak ada pembanding.

Pembandingnya dengan Presiden yang berasal dari kalangan militer. Yaitu Soeharto dan SBY.

Semestinya, kedua jenderal itu lebih memiliki wibawa dan aura komando yang kuat dibanding dengan Jokowi yang seorang Insinyur, sipil dan tukang meubel.

Faktanya, Jenderal Soeharto yang memimpin Indonesia selama 32 tahun, tidak pernah terdengar apalagi terlihat bernegosiasi dengan Freeport.

Begitu juga dengan SBY yang digembor-gemborkan, anak kesayangan AS.

Selama 10 tahun menjadi Presiden, adakah legacy yang ditinggalkan SBY dalam persoalan Freepot?

Tanyakan pada SBY apa yang dilakukannya dalam persoalan Freeport ataupun Papua.

Mari kita mikir dan merenung. Tetapi ajakan saya, mari kita bertindak, mendukung pemerintahan sah, yang melawan kekuatan asing yang mau mendikte. Mendikte kata lain dari menjajah. [***]

Penulis adalah wartawan senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA