Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Trump Hadapi Situasi Rumit Seperti Jokowi

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Jumat, 13 Januari 2017, 06:17 WIB
<i>Trump Hadapi Situasi Rumit Seperti Jokowi</i>
Donald Trump/Net
Kalau dicermati secara makro, persoalan politik dalam negeri yang dihadapi Indonesia dan Amerika Serikat, memiliki banyak kesamaan.

Garis besarnya, kegaduhan politik yang melanda kedua negara saat ini berpotensi menimbulkan perpecahan bangsa.

Kekhawatiran akan pecahnya persatuan dan kesatuan bangsa akibat adanya manuver negara asing dalam politik dalam negeri, juga sama.

Kalau bangsa Amerika ada yang merasa terganggu oleh kemungkinan masuknya Rusia, kita di Indonesia ada yang khawatir jika RRT atau Amerika Serikat ataupun negara dari Timur Tengah menjadi penentu di sini.

Yang membedakan, kalau Amerika gaduh kemudian bergolak dan terpecah, perpecahannya mungkin tidak akan membuat negara itu jatuh miskin atau menjadi sebuah negara gagal. Dan kalau Amerika pecah, itu sebetulnya sebuah kualat. Sebab selama ini, Amerika mengekspor konsep bagaimana memecah belah sebuah Negara.

Lain halnya dengan Indonesia. Gaduh dianggap sebagai bagian dari demokrasi.

Dan kalau perpecahan terjadi, perpecahan itu hanya akan menjadikan Indonesia lebih miskin dan sampai Lebaran Kuda tak akan mungkin lagi bangkit dari kemiskinan dan keterpurukan.

Dimensi dan pemicunya sama. Akibatnya yang berbeda.

Ada pihak yang pesimis, melawan yang optimis di pihak lain.

Pemicunya adalah persaingan mencapai dan menguasai kekuasaan, melalui pengkaplingan bisnis dengan cara berkolusi, bernepotisme dan mengibarkan semangat sectarian.

Yang pesimis diwakili oleh Barack Obama, Presiden yang per tanggal 20 Januari 2017 nanti tak lagi berkuasa. Atau mereka yang berada dalam posisi pecundang di Pemilu Presiden 8 November 2016 lalu.

Dalam pidato perpisahannya di Chicago, Obama bertutur sambil bertanya apa yang akan terjadi pada bangsa Amerika di hari-hari mendatang, sementara

berbagai kebijakan yang sudah berjalan lama bakal diganti.

Perbedaan asal-asul, latar belakang keturunan, termasuk agama, mulai membara dalam beberapa waktu belakangan ini.

Situasinya semakin mengkhawatirkan semenjak Donald Trump memenangkan Pemilu Presiden 8 November lalu.

Walaupun nama Donald Trump tidak secara telak disebut oleh Obama, tetapi publik Amerika Serikat yang menyaksikan siaran langsung pidato itu melalui layar televisi, sangat paham bahwa yang dituju adalah Donald Trump, Presiden yang akan menggantikan Barack Obama.

Yang dikhawatirkan, kalau Trump sebagai sopir baru, membawa semua penumpang bisnya menabrak tebing atau jatuh ke jurang.

Donald Trump dari Partai Republik, berhasil mengalahkan Hlllary Clinton dalam Pilpres 8 November 2016 lalu. Hillary dan Obama sama-sama dari Partai Demokrat.

Selama kampanye Pilpres, Obama beberapa kali menyatakan bahwa Donald Trump tidak layak menjadi Presiden AS. Karena itu berbagai cara dilakukan Obama dalam menyebarkan kekurangan Trump.

Obama mengatakan tak satu pun yang tahu, apa yang bakal terjadi dengan Amerika di masa yang akan datang. Kecuali semua pihak mau bersatu.

Ironisnya persatuan melalui kemajemukan yang sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dan bangsa Amerika, sedang mengalami ancaman. Yaitu dengan memunculkan persoalan rasisme, perbedaan latar belakang, status sosial dan warna kulit.

Obama sendiri lahir dari ayah berkewarganegaraan Kenya, Afrika Hitam dan ibu seorang wanita kulit putih keturunan Amerika. Bahkan dalam perjalanannya, ia sempat mendapatkan ayah sambung (tiri) asal Indonesia.

Ayah kandung dan ayah sambung Obama, pemeluk agama Islam. Tapi Obama yang punya nama Islam, Husein, memeluk agama Kristen, mengikuti ibunya.

Pernyataan soal perbedaan berlatar belakang kemajemukan ini jelas ditujukan kepada Donald Trump. Sebab Trump sudah menyatakan akan mengusir jutaan pendatang, imigran yang membanjiri Amerika. Trump juga berjanji akan membangun tembok pembatas dengan Meksiko, tetangga terdekatnya.

Trump juga tidak menyukai Islam.

Pernyataan Obama, beberapa jam kemudian lebih dipertegas oleh Arne Duncan, Menteri Pendidikannya.

Arne Duncan khawatir akan hasil akhir kalau sistem pendidikan berubah.

Kekhawatiran muncul, sebab pendekatan yang bakal dilakukan penggantinya, Betsy DeVos, lebih berorientasi ke pendidikan yang berbasis biaya mahal.

Sebab sekalipun jumlah kelas menengah di Amerika cukup besar, tapi kalau biaya pendidikan menjadi mahal, anak-anak mereka pasti tak akan bisa bersaing dengan anak-anak dari keluarga kaya. Sementara jumlah orang kaya, yang benar-benar kaya di Amerika, relatif dalam hitungan kecil atau minoritas.

Sehingga dengan perubahan ini, kemungkinan yang terjadi �" jumlah warga Amerika yang berkualitas tapi jebolan lembaga pendidikan berbiaya murah, bakal berkurang.

Kekhawatiran ini semakin menjadi-jadi karena Betsy DeVos pengganti Arne Duncan, seorang miliarder. Dan cara pandangnya tentang dunia pendidikan sudah dia tunjukkan di kota asalnya Michigan yang hasilnya menimbulkan protes besar.

Betsy DeVos menjadi miliarder antara lain karena mertuanya merupakan pendiri perusahaan waralaba Amway. Perusahaan ini, belum lama berselang bermasalah. Disebut-sebut melakukan penggelapan pajak sebesar US$ 25,- juta.

DeVos malah dijuluki menteri yang akan menanamkan pendekatan yang dapat menghasilkan manusia Amerika yang berkarakter Wild West.

Sekitar 30 tahun lalu, Hollywood pernah memproduksi film koboi dengan judul Wild Wild West. Film ini cukup populer di Amerika Serikat, termasuk Indonesia.

Ceritanya bermuatan pesan, bahwa mengatasi semua persoalan gampang. Yaitu dengan menggunakan senjata api atau pistol. Anda yang terbunuh atau anda yang menjadi pembunuh. Kill or To Be Killed.

Kekhawatiran semakin membungka karena 4 tahun ke depan, rakyat Amerika akan dipimpin oleh Presiden yang kredibilitas para anggota timnya, diragukan.

Mulai dari rekam jejak, hingga soal umur. Banyak yang tidak berpengalaman di pemerintahan, tetapi diberi kepercayaan memimpin kementerian yang memerlukan pengalaman.

Ada yang sangat menentang semua visi Donald Trump, tetapi kini justru harus menjalankan apa yang diinginkan Trump. Sikap membeo kepada Trump pun tiba-tiba terjadi.

Ada juga menteri yang sudah terlalu tua �" berusia 78 tahun, lalu ada juga mereka yang dipilih berdasarkan kriteria kroni serta nepotisme.

Trump juga tidak suka pada masukan badan intelijen, sementara kalangan intelijen sangat yakin, bahwa Rusia sudah menebar jaringan intelijennya di semua lingkaran Donald Trump.

Ada juga yang rasis oleh karena perbedaan warna kulit, sehingga menjadi sangat anti terhadap pendatang. Karena sangat anti pendatang, pejabat seperti itu justru masuk dalam lingkar satu.

Sekalipun tidak disebut, tetapi yang dituju kelihatannya adalah Steve Bannon. Steve sebagai penasihat merupakan orang yang pertama kali direkrut. Jabatannya sebagai penasihat ahli strategi.

Di dalam sistem dan manajemen kepresidenan Amerika Serikat, seorang Presiden memiliki pembantu yang terdiri atas dua kelompok: mereka yang berpredikat sebagai penasihat dan berstatus selaku mentari.

Posisi penasihat, terkesan lebih tinggi dan berpengaruh dibanding seorang atau para mentari.

Steve Bannon, masuk di jajaran penasehat. Dengan jabatan itu dia berkantor di kompleks Gedung Putih yang lazim disebut Right Wing. Letak ruang kerja itu sangat dekat dengan kantor Presiden. Sehingga bisa dikatakan, setiap saat para penasihat bisa bertemu Presiden.

Sementara para menteri rata-rata bekerja di luar Gedung Putih. Masih di Washington D.C, tetapi terpisah dari kantor kepresidenan.

Kekhawatiran bahwa penyelenggaraan manajemen negara bakal dilakukan secara tidak profesional semakin kuat, sebab kriteria profesionalisme dalam rekrutmensangat kental dengan orientasi kepartaian dan partisan.

Kalau di Indonesia �" berhubung banyak partai, bisa disebut sebagai titipan parpol.

Di AS tidak ada titipan parpol sebab persaingan hanya antara Partai Republik dan Partai Demokrat.

Namun berhubung Trump seorang pebisnis, maka dalam pemerintahannya pola rekrutmen dia lakukan berdasarkan titipan konglomerat. Khususnya konglo yang punya kaitan bisnis dengan Trump.

Misalnya Trump membatalkan pembelian pesawat kepresidenan buatan Boeing. Tapi di pihak lain, ia merekrut eksekutif Boeing masuk di jajaran kabinetnya.

Nepotisme tercermin dari perekrutan Jared Kushner. Jared memang sudah aktif sebagai penasihat selama kegiatan kampanye. Kembali anak mantunya itu direkrut dan sebagai penasihat. Nah otomatis sebagai penasihat ia akan berkantor di Right Wing Gedung Putih.

Jared juga termasuk konglomerat muda dan merupakan pemilik sejumlah media berpengaruh, di antaranya New York Observer.

Yang juga menimbulkan kekhawatiran, keputusan Trump mengangkat Rex Tillerson sebagai Menteri Luar Negeri.  Kekhawatiran pihak yang pesimis mengemuka, sebab Rex seorang CEO dari perusahaan minyak terbesar di dunia, ExxonMobil.

Dibawah kepemimpinan Rex, perusahaan milik dinasti Rockefeller ini berhasil mendapatkan konsesi di Rusia.  Keberhasilan itu diikuti atau diimbangi oleh penghargaan dari Presiden Rusia Vladimir Putin sendiri. Penyematan penghargaan bagi Rex dilakukan langsung oleh Putin dalam sebuah acara di Kremlin.

Aktivitas Exxon di Rusia berhenti, ketika tahun 2014, Barack Obama memberikan sanksi kepada Rusia. Sanksi diberikan akibat krisis Ukraina, yang berbuntut pencaplokan Crimea oleh Rusia. Crimea merupakan provinsi bagian timur Ukraina dan salah satu pangkalan militer terkuat di Laut Baltik.

Ukraina merupakan negara pecahan Uni Soviet, tapi sempat  dipimpin presiden keturunan Rusia atau Uni Soviet.

Yang dikhawatirkan, begitu Donald Trump dilantik, sanksi Amerika atas Rusia itu akan dicabut. Pencabutan ini positif dari sisi bisnis dan ExxonMobil.

Kekhawatiran atas pengangkatan Rex, karena Mr. Tillarson bukanlah seorang ahli diplomasi. Sementara kedudukannya dalam pemerintahan Trump sangat strategis bagi pekerjaan diplomasi AS.

Keberadaan Rex Tillarson dikhawatirkan melemahkan posisi tawar Amerika di Eropa. Sebab usaha Amerika mengimbangi pengaruh Rusia di Eropa lewat NATO, menghadapi perlawanan berat.

Entah secara kebetulan atau memang demikianlah dalam penyusunan kabinet sebuah pemerintahan, kabinet mendatang Trump tak ubahnya dengan apa yang pernah terjadi di pmerintahan di Indonesia.

Tidak semua orang merupakan orang yang tepat di tempat yang tepat. Logika rakyat berkata lain, walaupun pemerintah menganggap susunan dream team-nya sudah yang terbaik.

Akhirnya yang muncul ungkapan the wrong man on the wrong place, or, the strategic place is given to incapable person. [***]

Penulis adalah wartawan senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA