Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Perang Syria, Tragedi Terabaikan, Pelajaran Bagi Indonesia

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Sabtu, 17 Desember 2016, 06:28 WIB
Perang Syria, Tragedi Terabaikan, Pelajaran Bagi Indonesia
Derek Manangka/Net
SEBAGAI sebuah peristiwa, versi apapun yang dilaporkan oleh media internasional tentang Perang Saudara Syria, tetap menyentuh rasa dan mengganggu iba dan empati kemanusiaan.

Tapi tunggu dulu, jangan terburu-buru menarik kesimpulan.

Tregedi kemanusiaan memang melanda negara Islam di Timur Tengah tersebut. Tapi anda harus berhati-hati. Untuk tidak terjebak, sehingga tidak keliru menafsirkan posisi pemerintah resmi yang berkuasa saat ini yang kekuasannya berada di tangan Presiden Bashar Al-Assad.

Terutama jika anda mendapatkan informasi tragedi kemanusiaan itu dari media raksasa yang disebut corporate media.

Media raksasa dari Amerika Serikat dan Inggris, rupanya banyak melaporkan berita bohong tentang Perang Saudara Syria. Akan tetapi karena liputannya dikemas secara sempurna dan profesional, pemirsa TV khususnya tidak akan tahu bahwa dibalik kemasan sempurna itu, terselip kepentingan politik dari pemerintah dari dua negara di atas.

Berita yang tidak bohong tentang Perang Syria mungkin hanya soal eksodus jutaan pengungsi asal negara itu ke Eropa, dengan cara berjalan kaki. Menempuh ribuan kilometer.

Amerika Serikat dan Inggris sangat berkepentingan atas citra negatif Presiden Bashar Al-Assad yang merupakan penerus kekuasaan almarhum ayahnya Hafez Al-Assad.

Ironis memang, karena dalam beberapa minggu terakhir ini, sering digambarkan tragedi kemanusiaan yang terjadi di kota Aleppo.

Kota kedua terbesar di Syria, sesudah ibukota negara Damaskus itu sering digambarkan sebagai kota tak bertuan. Karena nyaris tak ada bangunan yang utuh dan layak dihuni.

Dan kehancuran itu disebabkan oleh ulah pasukan pemerintah.

Kerap digambarkan banyak anak kecil dan wanita tua yang tak punya tenaga, terjebak di dalam satu zone yang sangat berbahaya akibat serangan bom dari pasukan pemerintah.

Di tengah desingan bom dan senjata otomatis, semua rakyat keluar dari kediaman mereka, mencari tempat yang lebih aman. Mereka terpaksa berjalan kaki, tanpa tujuan kecuali mencari tempat aman, di tengah terpaan angin musim dingin.

Sudah begitu mereka tak punya makanan, air minum apalagi tempat sementara untuk beristirahat.

Sementara semua rumah sakit yang ada di kota itu dilaporkan sudah dihancurkan oleh pasukan pro pemeritah.

Sering dilaporkan, bantuan kemanusiaan dari negara-negara disebut di atas, tidak punya akses untuk masuk ke daerah konflik tersebut. Antara lain karena dihambat oleh pasukan pro pemerintah.

Akibatnya banyak rakyar jelata yang jiwa mereka tidak tertolong.

Kota Alleppo sendiri disebut-sebut sebagai ibukota sekaligus sebagai tempat pertahanan pasukan bersenjata kelompok oposisi.

Nyawa tidak ada harganya di Aleppo dan pemerintah yang otoriter tidak peduli dengan akan nasib rakyatnya.

Sadis bukan pemerintahan Presiden Bashar Al-Assad?

Namun sesunguhnya, tidak semua berita yang elemen tragedi kemanusiaannya sangat tinggi itu, bisa dipercaya atau accountable.

Karena berita bohong itu antara lain bagian dari agenda untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah

Bashar Al-Assad sendiri tidak disukai oleh dua negara di atas sebab Presiden yang bekas dokter lulusan Inggris ini, bersekutu dengan Rusia, Iran dan Kelompok Hisbullah dari Lebanon.

Tiga kekuatan terakhir ini merupakan musuh utama Washington dan London.

Kehadiran berbagai berita bohong yang disajikan oleh coporate media, tanggal 9 Desember 2016 lalu, diungkapan oleh wartawati Kanada, Eva Bartlett.

Dalam konferensi persnya di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat, wartawati itu mengaku sudah empat kali masuk ke kota Aleppo. Dan lebih dari empat kali masuk keluar Syria.

Wartawati yang lancar berbahasa Arab itu mengaku dia masuk ke Syria maupun Aleppo melalui inisiatifnya sendiri dan ada juga yang ikut bersama lembaga nirlaba independen yang memberi bantuan kemanusiaan ke kota Aleppo.

Secara resmi Perang Saudara Syria dimulai tahun 2011. Tapi bisa dibilang baru pada dua tahun terakhir ini bereskalasi. Pada awalnya keterlibatan ISIS sebagai bagian dari pasukan oposisi, tidak pernah disebut-sebut.

Lima tahun lalu ketika perang baru pecah, relatif masih mudah memahami apa yang tengah terjadi di negara Timur Tengah tersebut.

Yang terbersit bahwa Perang Saudara itu sebagai hasil dari tidak puasnya kelompok oposisi terhadap Presiden Bashar Al-Assad.

Ketidak puasan bisa dimengerti karena Bashar menjadi Presiden Syria, semata-mata berkat peran besar almarhum ayahnya Hafez Al-Assad. Walaupun dia kemudian terpilih melalui Pemilu, tapi Pemilu itu sendiri dituduh sebagai hasil rekayasa.

Ayahnya ketika masih menjabat sebagai Presiden, sebetulnya mempersiapkan kakaknya, Bassel Al-Assad. Tapi Bassel meninggal dunia dalam kecelakaan mobil di tahun 1994. Sehingga Bashar yang bekerja di Inggris sebagai dokter, dipanggil pulang untuk menggantikan posisi kakaknya.

Dengan suksesi seperti itu pihak Barat menilai Syria secara tiba-tiba mengadopsi sistem pemerintahan kerajaan atau Monarki. Tidak demokratis.

Tapi sesungguhnya sejak awal Hafez Al-Assad sendiri sudah masuk daftar hitam pihak Barat. Sebab selama masa Perang Dingin, perang yang berakhir 1990, Assad senior dikesankan sebagai pemimpin negara Arab yang dekat dengan Uni Soviet, kini Rusia.

Di Syria, Rusia atau eks Uni Soviet punya pangkalan mliter di Tartus.

Kini konflik atau Perang Saudara Syria relatif sudah mendekati titik akhir. Karena pemerintah Bashar dilaporkan sudah berhasil menaklukkan kelompok oposisi, setelah kota Aleppo yang menjadi pertahanan utama dan terakhir berhasil dikuasai pasukan pemerintah.

Tapi kemenangan atau keberhasilan pasukan pro pemeritah, terus diberitakan oleh corporate media dalam berbagai versi yang sarat dengan kontroversi.

Terutama karena kemenangan pasukan Bashar Al-Assad sama dengan semakin kuatnya posisi Rusia di Syria atau Timur Tengah.

Kemenangan Assad juga menambah eratnya hubungan Iran dengan Syria. Sebuah hubungan yang tidak disukai Amerika dan sekutunya.

Dan kemenangan itu tentu saja memberi semangat tersendiri bagi kelompok Hisbullah di Lebanon Selatan, pejuang Islam yang sudah lama dimusuhi AS dan Israel. Hisbullah sendiri dianggap mendapat bantuan dari Iran lewat Syria.

Sebagai sebuah tragedi, Perang Saudara Syria, bisa menjadi bahan pembelajaran oleh siapapun termasuk Indonesia. Yang pro maupun kontra bagi campur tangan asing atas sebuah negara berdaulat.

Kehadiran partai atau kelompok oposisi, selalu menjadi cikal bakal kemelut politik. Sebab oposisi ini dimanfaatkan untuk menggoyang pemerintahan yang resmi.

Yang menggoyang negara asing yang ingin mendikte sebuah negara berdaulat.

ISIS yang disebut-sebut pasukan yang menguasai Aleppo selama ini, tadinya hanya berbentuk pasukan anti pemerintah Syria (Al-Assad).

Karena anti-pemerintah Bashar Al-Assad lalu mereka dibantu oleh Amerika Serikat. Ketika bantuan itu belum berhasil menjatuhkan Assad, pasukan oposisi ini berubah menjadi ISIS, seiring dengan kelahiran ISIS di Irak negara tetangga Syria.

Amerika Serikat dan sekutunya menghadapi dilema. Sebab membantu ISIS sama dengan membantu teroris. Tapi tidak membantu ISIS di Aleppo, sama dengan melanggar komitmen membantu pasukan oposisi.

Di tengah kesemrawutan itu, tidak ada cara lain kecuali menciptakan berita bohong untuk membuat dunia bingung sebingung-bingungnya. Perang jenis apa sebetulnya yang terjadi di Syria?

Yang penting boleh kalah dalam peperangan, tapi harus menang dalam perang opini. Inilah antara lain imbas lain dari Perang Saudara Syria. [***]

Penulis adalah wartawan senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA