Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Antara "Hoax" dan Rumor Kehadiran Imigran RRT

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Selasa, 29 November 2016, 06:38 WIB
Antara "Hoax" dan Rumor Kehadiran Imigran RRT
Derek Manangka/Net
KEMENTERIAN Komunikasi dan Informatika  (Kominfo), menjelang demo akbar 4 Nopember 2016 lalu, memblokir sejumlah  situs berita. Khususnya  situs-situs yang mengindentikan diri sebagai media pembawa suara Islam.

Kebijakan ini diam-diam menimbulkan rasa kecewa di kalangan pengelolah situs yang diblokir itu. Sebab ada kesan, situs-situs Islam dikategorikan sebagai media pembawa suara oposisi. Digunakan oleh kelompok oposisi  menentang  pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Timbul persepsi sementara, pemerintahan saat ini, bukanlah rezim yang punya keberpihakan kepada Islam  atau masyarakat Islam. Padahal mayoritas penduduk negera ini adalah pemeluk agama Islam.

Persepsi ataupun kesan ini mengental, karena di sisi lain, sejumah situs yang kelihatannya menjadi pembela pemerintahan Joko Widodo, aman-aman saja, tidak diblokir atau tidak diapa-apakan.

Maka tanpa disengaja, pemblokiran situs-situs Islam itu memberi aksentuasi baru bahwa Islam dan pemerintahan Jok Widodo sedang berseberangan.

Joko Widodo sekalipun seorang pemeluk agama Islam, tetapi ia lebih berpihak kepada kelompok minoritas yang non-Islam.

Hasilnya, ketika persepsi berseberangan ini digoreng oleh politisi cerdas dengan minyak dan rempah serta bumbu politik,  maka dengan mudah isu itu menjadi sebuah komoditi sekaligus senjata politik.  Rezim Joko Widodo patut ditumbangkan.

Tema "Membela Islam" sebagai sebuah komoditi, menjadi jargon yang sangat mudah dan menarik  pengikut.

Jargon "Membela Islam" tiba-tiba menjadi  senjata politik yang cukup bisa membuat takut bagi yang "phobi islam".

Suara yang ingin melengserkan Presiden Joko Widodo pun tiba-tiba menjadi sesuatu yang tidak tabu lagi. Karena pelengseran dibarengi dengan niat untuk membela Islam di Indonesia.

Negara Pancasila digantikan dengan Negara Islam. Presiden yang tidak pro Islam harus digusur.

Mungkin tidak ada yang menyangka, keputusan memblokir situs-situs Islam tersebut beresonansi sedemikian jauh dan melebar.

Ketidakpuasan atas pemblokiran situs-situs Islam itu belum teratasi, Senin besok 28 Nopember 2016, Kominfo dikabarkan akan memberlakukan UU ITE yang diperbaharui.

Seorang pejabat teras Kominfo dalam sebuah diskusi akhir pekan baru lalu, mengisyaratkan bahwa UU ITE yang diamandemen itu, lebih represif.

Isyarat ini diartikan, pemerintah lebih sensitif terhadap setiap laporan media sosial. Pemerintah tidak ragu mengambil tindakan terhadap media atau perorangan yang menyiarkan informasi yang tidak sesuai dengan keinginan pemerintah.

Ironisnya, sebuah berita, apakah itu akurat atau masuk kategori "hoax" hanya ditentukan sepihak, yakni pemerintah.

Yang menjadi persoalan, penentuan kategori ini bisa sangat berragam dan elastis.

Belakangan ini misalnya sudah santer beredar kabar bahwa sejumlah tenaga kerja asal RRT, sedang membanjiri Indonesia.   Kabar itu paling banyak melalui media sosial.

Sejauh ini tidak ada yang memastikan apakah hal tersebut "hoax" atau beneran.

Masuknya tenaga kerja asal RRT itu dikait-kaitkan dengan kebijakan pemerintah kedua negara. Disebut-sebut bahwa RI dan RRT sudah sepakat akan melakukan pertukaran tenaga kerja sekitar dua juta orang.

Bersamaan dengan itu sejumlah insiden di daerah yang muncul akibat hadirnya sejumlah tenaga kerja asal RRT itu  dilaporkan oleh para "journalist citizen".

Laporan tersebut kemudian menjadi viral di media-media sosial yang akhirnya dikutip juga oleh media mainstream.

Masyarakat atau netizen yang jumlah mereka puluhan juta, ketika membaca berita tersebut bingung. Antara percaya dan tidak. Apakah "hoax" atau beneran?

Sayangnya kebingungan jutaan netizen ini, tidak mendapat sorotan pemerintah.

Yang terbaru insiden penurunan bendera RRT di sebuah proyek yang berlokasi di Maluku Utara. Insiden ini merupakan simbol bahwa merah putih sedang mau digantikam oleh bendera merah, warna komunis.

Muatan dalam laporan itu, menyiratkan, Indonesia saat ini sedang diserbu oleh RRT dan tak satupun pejabat pemerintah yang menolak serbuan tersebut.

Yang patut disesalkan, kabar ini tidak segera dibantah atau diklarifikasi pemerintah. Masyarakat, jadinya bertanya-tanya.

Pertanyaan dan kebingungan ini menjadi-jadi, mengingat adanya peringatan dari Panglima TNI.

Menurut Jenderal Gatot Nurmantyo, perang masa kini dan ke depan, tidak lagi menggunakan manusia dengan senjata. Tetapi melalui melalui "proxy". Serbuan tenaga kerja secara diam-diam, bisa diartikan sebagai sebuah "proxy".

Lagi pula tenaga kerja asing asal RRT ini sebetulnya tidak kita perlukan. Karena di negara kita sendiri jutaan tenaga kerja sekarang masih menganggur.

Jadi timbul pertanyaan, apakah serbuan tenaga kerja ini bukan sebuah bagian dari perang sebagaimana diwacanakan oleh  Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.

Tapi mengapa pemerintah ataupun Kominfo tidak juga menginformasikan benar tidaknya laporan tersebut?

Inilah pertanyaan yang tak dijawab oleh pemerintah. [***]

Penulis adalah wartawan senioar

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA