Pembelaan Prabowo terhadap Presiden Joko Widodo menjadi sebuah peristiwa fenomenal untuk menggantikan istilah bersejarah.
Sebab persaingan mereka berdua dalam memperebutkan kursi Presiden RI di Pilpres 2014, kenangannya masih sangat kental. Kental dengan kesan bahwa Prabowo dan Jokowi merupakan dua tokoh nasional yang bermusuhan.
Kalau kenangan ini yang dijadikan ukuran, sangat kurang bisa dipercaya, Prabowo bisa membela Jokowi.
Kental dan kesan itu dihapus oleh Prabowo melalui pertemuan road show di Hambalang dan Istana Presiden.
Kalau tidak keliru, pasca Pilpres 2014, pertemuan Prabowo-Jokowi, sudah tiga kali terjadi.
Yang pertama di Istana Bogor, pada Januari 2015, saat usia pemerintahan Jokowi baru berada dalam periode tahun pertama.
Yang kedua tahun ini, dimana Jokowi sendiri yang menyambangi Prabowo di kediamanannya, Hambalang, Bogor Jawa Barat. Yakni menjelang Demo Damai 4 Nopember 2016.
Terakhir masih di bulan Nopember, menjelang Demo Damai 25 Nopember - yang kemudian dibatalkan. Dimana Prabowo sendiri yang menemui Jokowi di Istana Merdeka.
Prabowo yang dikalahkan Joko Widodo dalam Pilpres 2014, kalau ditakar dengan cara berpikir dengan sumbu pendek, mestinya dia yang paling berkepentingan menjatuhkan Joko Widodo.
Sehingga tidak perlu Prabowo membela-bela Jokowi.
Setidaknya, kalau akhirnya Jokowi dilengserkan, walaupun tidak otomatis Prabowo naik sebagai suksesor, minimal pertarungan politik mereka berdua menjadi skor yang berimbang: 1-1.
Tapi pembelaan Prabowo menjadi sebuah fenomena. Sebab yang dilakukan Prabowo sebuah sikap politik yang bermartabat. Bermartabat bagi dirinya, buat Jokowi dan bagi Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di Asia.
Secara implisit dan eksplisit, Prabowo tidak menghendaki pelengseran Joko Widodo sebagai Presiden, di saat masa jabatannya, belum selesai. Baru akan selesai pada Oktober 2019.
Sikap bekas Danjen Kopassus ini, menunjukkan bahwa dia termasuk politisi nasional yang eks anggota militer yang tidak lagi dipengaruhi oleh obsesi para jenderal yang bermukim di benua Afrika dan Amerika Latin.
Pada era 60 dan 70-an, militer di kedua benua itu terkenal sangat senang melakukan kudeta. Pelengseran seorang pimpinan nasional menajdi sebuah "fashion".
Sedikit saja muncul rasa tidak puas, langsung mengkudeta pemerintahan yang tengah berkuasa.
Nampaknya, Prabowo belajar dari sejarah perkudetaan.
Sebab budaya kudeta pada akhirnya kontra produktif bahkan destruktif. Kudeta hanya akan mengundang kudeta balasan dan akhirnya kudeta lainnya atau kudeta militer terjadi berbalas-balasan.
Yang menjadi korban akibat dari setiap kudeta adalah rakyat banyak, sementara pembangunan tidak bisa dilaksanakan, berakibat negara tidak bergerak maju.
Fakta ini terbukti telah membuat banyak negara di Afrika dan Amerika Latin, tidak bergerak maju, jauh tertinggal dibanding dengan negara di belahan benua lainnya.
Sikap Prabowo Subianto yang menarik garis yang cukup jelas, sebetulnya memberi pembelajaran soal bagaimana seharusnya sebuah demokrasi dirawat.
Sekaligus menjadi sindiran bagi politisi nasional yang bermuka banyak serta beragenda melengserkan Presiden Joko Widodo di tengah jalan.
Juga menjadi pembuka mata bagi mereka yang berlindung di bawah ketiak Joko Widodo sebagai Orang Nomor Satu, tetapi tidak berani bersuara apalagi menunjukkan jenis kelamin politiknya.
Sikap jelas dan tegas Prabowo sudah sepatutnya dilihat sebagai sebuah sindiran yang berkualitas terhadap politisi nasional lainnya.
Apakah itu kaliber Presiden ke-6, SBY atau yang dikenal sebagai "match maker", tukang jodoh politik setara Sofyan Wanandi dari CSIS.
Mengapa kedua figur ini terpaksa saya singgung. Maaf banget yah pak de pak de.
Sebabnya, SBY cukup santer dirumorkan sebagai pihak berada dibalik demo massal yang ingin melengserkan Presiden Joko Widodo.
Memang tidak atau belum ada fakta soal keterlibatan pak SBY. Tetapi melihat ramainya meme tentang masalah ini di media-media sosial, sementara klarifikasi berbentuk bantahan dari Cikeas tidak ada, maka tidak ada salahnya jika ini disinggung.
Prinsip saya, lebih baik saya sentil secara terbuka, dari pada diam-diam menyebarkan fitnah. Saya tidak mau bermunafik.
Kalau engkong Sofyan Wanandi saya singgung, sebab masih lengket dalam ingatan, pengusaha sekaligus pemain politik ini, bekerja keras, kesani sini meyakinkan semua orang bahwa dia salah seorang pendukung Jokowi, untuk kursi RI.
Dukungan terhadap Jokowi, dimulai sejak sebelum Pilpres 2014.
Sofyan Wanandi-lah yang terlihat sibuk menjodohkan Jusuf Kalla dengan Jokowi. Pak Sofyan-lah yang paling ekspresif memperlihatkan keyakinannya bahwa duet Jokowi-JK akan sangat solid dan bermanfaat bagi masa depan Indonesia.
Nah sekarang, giliran duet Jokowi-JK seperti terancam, Pak Sofyan tidak terdengar suaranya dan muka populernya tak pernah terlihat di layar teve.
Ada apa yah?
Latar belakang ini semakin memperkental asumsi bahwa Prabowo sebagai seorang politisi yang komited, lebih patut dihargai.
Dalam pembelaan terhadap Jokowi, Prabowo kali ini memperlihatkan kejatanannya.
[***]Penulis adalah wartawan senior