Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kemenangan Trump Dibantu Ahli Internet Rusia?

*) "Cyber War" Bagian Dari Perang Dunia III

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Kamis, 10 November 2016, 09:16 WIB
Kemenangan Trump Dibantu Ahli Internet Rusia?
Derek Manangka/Net
DI tengah eforia kemenangan Donald Trump sebagai Presiden baru Amerika Serikat, beredar kabar tidak sedap. Yaitu kemenangan Donald Trump ditentukan oleh rekayasa ahli tenkologi informasi Rusia.  

Jajak pendapat di Amerika Serikat yang selama ini terus mengunggulkan Hillary Clinton, hasilnya berbelok. Dan pembelokan suara itu terjadi di hari pemungutan dan penghitungan suara. Hasil suara yang lebih banyak masuk ke kubu Donald Trump.

Clinton pun kalah walaupun hanya dengan margin yang tidak cukup meyakinkan.

Jika kecurigaan terhadap keterlibatan ahli-ahli TI Rusia ini benar, inilah salah satu episode penting dan baru, dari Perang Dunia III yang melibatkan Rusia dan Amerika Serikat.

Kabar tentang kemungkinan Rusia akan merusak hasil-hasil Pemilu 8 Nopember 2016, bukannya tidak diperingatkan oleh para otoritas yang menguasai bidang intelejens dan "cyber warfare".

Peringatan itu sudah disampaikan ke publik pada 24 Oktober 2016 lalu atau sekitar dua minggu sebelum Pemilu 8 Nopember.

Namun peringatan itu tidak dianggap sebagai sesuatu yang serius.

Bahkan ada yang menganggap, tudingan kepada Rusia itu lebih banyak disebabkan oleh keberpihakan pemerintahan Barack Obama kepada Hillary Clinton. Karena keduanya berasal dari kubu yang sama, Partai Demokrat.

Selain itu peringatan itu dikeluarkan bersamaan dengan tingginya pujian Donald Trump terhadap Presiden Rusia, Vladimir Putin.

Bekas anggota agen rahasia Uni Sovyet - KGB ini, di mata Trump lebih layak dianggap sebagai pemimpin ketimbang Presiden Barack Obama.

Sejatinya soal peringatan keterlibatan ahli internet Rusia itu di sebuah negara asing, didasarkan pada dua temuan.

Pertama, keputusan rakyat Inggris melalui referendum untuk keluar dari Uni Eropa. Suara rakyat Inggris yang dikumpulkan melalui elektronik, direkayasa oleh ahli TI Rusia, sesuai keinginan dan kepentingan Rusia.

Hasilnya penghitungan secara resmi mayoritas rakyat Inggris lebih suka keluar keanggotaannya di Uni Eropa.

Banyak pihak yang seperti tidak percaya pada hasil referendum tersebut. Sebab jajak pendapat mendahului Brexit (Britain Exit) lebih banyak menunjukan, rakyat Inggeris lebih suka tetap berada di Uni Eropa.

Demikian tingginya ketidak percayaan hasil referendum, sehinga bebarapa pemimpin Inggris meminta agar dilakukan referendum ulang.

Kedua, menyangkut persetujuan pemerintah Jerman yang dipimpin oleh Kanselir Angela Merkel - mengizinkan jutaan pengungsi asal Timur Tengah diterima sebagai warga Jerman. Keputusan itu diterima secara mayoritas dan tanpa protes.

Namun protes baru kemudian muncul, sebab ada yang tidak percaya dengan alasan persetujuan itu. Sayangnya protes itu baru keluar ketika keputusan Kanselir sudah disahkan secara hukum.

Protes antara lain menyatakan bahwa di antara para imigran tersebut terdapat sejumlah warga atau anggota ISIS. Nah llho. Rakyat Jerman, serta merta ketakutan.

Bagi Rusia keluarnya Inggris dari Uni Eropa akan melemahkan persatuan dan kesatuan Uni Eropa. Melemahnya Uni Eropa di pihak lain bisa memperkuat atau menguntungkan Rusia.

Sama dengan kebijakan Angela Merkel. Masuknya jutaan imigran ke negara itu cepat atau lambat akan melemahkan kekuatan ekonomi Jerman. Selama ini, Jerman dikenal sebagai salah satu negara industri terkuat di dunia.

Melemahnya Jerman, lama atau cepat akan menguntungkan Rusia.

Tapi yang paling berbahaya, kalau benar bahwa di antara para imigran itu terdapat anggota ISIS. Hal ini akan merupakan sebuah ancaman serius terhadap keamanan dalam negeri Jerman. Ketidakstabilan politik akan mengemuka di negara itu.

Tapi bagi Rusia, keadaan seperti itu justru menguntungkan Rusia.

Demikian halnya hasil Pemilu AS yang dimenangkan oleh Donald Trump.

Dibawah Trump yang kurang berpengalaman dalam mengelolah negara, akan lebih memudahkan Rusia bernegosiasi ketimbang harus berhadapan dengan Hillary Clinton, seorang mantan Menteri Luar Negeri dan First Lady selama delapan tahun.

Pengetahuan Hillary Clinton dalam soal hubungan internasional khususnya dengan Rusia, diyakini lebih luas ketimbang yang dimiliki Trump. Kekurangan inilah yang mau dikapitalisasi Rusia, manakala berhadapan dengan pemimpin Amerika.

Jadi keterlibatan Rusia dalam pemenangan Donald Trump, bukanlah tanpa alasan apalagi sebagai sebuah ceritera baru. Kalau publik mencermati berbagai laporan media Amerika dan Inggris sebelumnya, keterlibatan ahli internet Rusia, sudah pernah disuarakan.

Tetapi respon terhadap laporan itu, tidak ada.

Pihak Hillary Clinton sendiri, hingga menjelang penutupan penghitungan suara, masih optomis bahwa pihaknya akan keluar sebagai pemenang. Artinya dia tidak yakin, penghitungan suara akan diganggu oleh ahli TI dari Rusia.

Hal mana tentu saja karena Clinton dipengaruhi oleh hasil-hasil jajak pendapat lembaga survei bahwa dia lebih disukai sebagai Presiden ketimbang Trump.

Keyakinan Clinton akan keluar sebagai pemenang antara lain dibuktikaan oleh tampilnya Leon Panetta.

Bekas Menteri Pertahanan dan Direktur CIA ini sempat tampil di panggung - menghadapi audiens yang berkumpul di sebuah tempat di New York yang bersiap-siap menyambut pesta kemenangan Hillary Clinton.

"Saya mohon agar anda bersabar, menunggu beberapa hitungan kecil lagi. Sesudah itu kita akan menang", ujarnya Leon Panetta.

Ketika itu masih ada sekitar lima negara bagian lagi yang suaranya belum dihitung. Sehingga inilah yang dijadiakan alasan Leon Panetta meyakinkan bahwa sisa suara yang belum dihitung akan memberi kemenangan bagi Hillary Clinton.

Tapi hasilnya, tetap tidak berubah - kemenangan diraih oleh Donald Trump.

Kemenangan Donald Trump kemudian diterima sebagai sebuah hasil yang mengejutkan.Terlepas dari soal bahwa pendukung Donald Trump pasti bersuka cita dengan kemenangan tersebut.

Mengejutkan, sebab hampir semua jajak pendapat yang digelar oleh lembaga-lembaga survei di negara itu, tidak mengunggulkan Donald Trump.

Lembaga survei Amerika Serikat sendiri dikenal atau terkenal sebagai yang paling terpercaya di dunia. Jadi kepercayaan atas hasil survei itu sangat tinggi.

Itu sebabnya, ketika hampir semua lembaga survei di negara adidaya itu membuat perkiraan bahwa Hillary Clinton akan mampu mengalahkan Donald Trump, opini publik di Amerika seperti sudah siap menerimanya.

Akibatnya banyak kalangan yang menganggap pemungutan suara Pemilihan Presiden pada 8 Nopember waktu Washington atau 9 Nopember 2016 waktu Jakarta, hanya formalitas saja.  

Kemenangan Hillary Clinton hanya menunggu pengesahan penghitungan suara.

Begitu yakinnya Hillary Clinton keluar sebagai pemenang. Sehingga jauh-jauh hari bekas First Lady AS ini sudah memastikan Joe Biden, Wapresnya Barack Obama menjadi Menteri Luar Negeri di kabinetnya nanti.

Sementara itu, keterlibatan "hackers" Rusia di dalam penghitungan suara Pilpres Amerika Serikat, kemungkinan akan diselidiki oleh sebuah tim khusus. Namun besar kemungkinan pula, hasilnya tak akan pernah diumumkan oleh Washington.

Sebab apapun hasilnya, ada keterlibatan "hackers" atau tidak, tetap tidak menguntungkan rakyat dan pemerintah Amerika Serikat. Dalam konteks persaingan jika ahli TI Rusia berhasil membelokan hasil Pemilu AS, maka operasi ini sama dengan kekalahan AS yang sangat menyakitkan.

Dan Julian Assenge, editor Wikileaks, situs yang banyak membocorkan rahasia melalui internet, minta agar jangan ada yang menyalahkan Rusia.

Sementara itu Presiden Rusia Vladimir Putin menjadi orang pertama sebagai pemimpin sebuah negara yang mengucapkan selamat kepada Donald Trump.

Keterpilihan Donald Trump sendiri diyakini tak akan tereliminasi, sekalipun kecurigaan adanya bantuan ahli TI Rusia tetap ada.

Karena sistem politik dan hukum di Amerika Serikat tidak sama dengan di sebuah negara besar yang terletak di kawasan Asia Tenggara. Sebuah hasil penghitungan suara ada atau tidak keterlibatan TI Rusia, akan selalu diprotes.

Kemungkinan Hillary Clinton mangajukan gugatan ke "Mahkaman Konstitusi", sangat tipis sekali.

Itulah Amerika Serikat. Kalah menang, hal biasa dan tidak perlu harus mendeklarasikan posisi tandingan termasuk Presiden Tandingan. [***]

Penulis adalah wartawan senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA