Pengadilan terhadap Ahok di mana jabatan Gubernur DKI nya masih melekat, bisa membuktikan bahwa di negara kita semua orang sama di depan hukum. Hukum tidaklah tumpul ke pejabat dan tajam ke rakyat jelata.
Dengan mengadilinya, sekaligus mari kita kembalikan Indonesia ke status sebagai negara yang penduduknya berbudi pekerti. Saling menghormati satu sama lain.
Namun sangat janggal kalau kasus Ahok belum lagi selesai, tuntutan terhadap Ahok berubah formatnya.
Di permukaan, Ahok yang disalah-salahkan. Tetapi sembari menyalahkan, gerakan yang menyalahkan Presiden Joko Widodo, semakin santer. Bahkan yang semakin terlihat usaha melengserkan Joko Widodo dari jabatan kepresidenannya, bertambah kentara.
Desakan untuk mengadili Gubernur yang bermata sipit itu, rupa-rupanya hanya untuk "pintu masuk" menuju ke Istana Kepresidenan.
Joko Widodo dicantelkan kepada kasus Ahok, sebab kebetulan Presiden ke-7 ini dianggap berteman dengan Ahok. Jokowi dan Ahok menjadi sasaran untuk dijatuhkan. Bisa dua-duanya sekaligus atau satu persatu. Paket menjatuhkan keduanya dari jabatan formal bisa "two-in-one" atau "one-in-two".
Kalau benar ada agenda untuk melengserkan Presiden Joko Widodo lewat kasus Ahok, maka apapun alasannya sangat tidak layak. Ini namanya pelengseran yang menggunakan jurus tipuan.
Aktor politik yang bermain dalam kasus penistaan agama Islam oleh Ahok, telah menjebak jutaan rakyat Indonesia.
Kita digiring menyetujui pemikiran bahwa Ahok seorang yang bersalah. Tetapi di tengah jalan, kita dibelokkan untuk menggedor rumah Presiden Joko Widodo. Karena Presiden RI ini sebenarnya yang dianggap lebih bersalah. Dengan alasan itu, dibuatlah skenario untu terjadinya pergantian pemerintahan di luar pemilihan umum.
Agenda rencana pergantian pemerintahan ini, disusun kurang rapih. Sebab belum apa-apa sudah terbaca dan dalam pelaksanaanya terdapat hal-hal yang aneh.
Salah satu keanehannya, terlihat pada demo di Solo. Pelaksanaan demonya bersamaan waktu dengan Demo Damai "Sejuta Umat" 4 Nopember 2016, di Jakarta.
Pendemo di Solo mendatangi kediaman Ibunda Joko Widodo. Pendemo memintanya agar dia menyuruh anaknya yang sedang menjadi Presiden untuk mengadili Ahok yang tengah menjabat Gubernur DKI. Kalau tidak, maka bla-bla-bla.....
Aneh karena secara logika, kejadian di Jakarta dan Solo itu tidak nyambung. Hanya saja oleh pendemo yang mungkin bekerja bagi aktor politik tertentu, Joko Widodo dianggap ikut bertanggung jawab atas kelakuan Ahok.
Aneh bukan? Ahok dituduh menista agama Islam. Tapi Jokowi yang tidak berbuat apa-apa juga dianggap ikut "bertanggung jawab" atas kelakuan Ahok yang tidak menyenangkan.
Sebagai warga negara yang ingin melihat agar kita sama-sama menjaga pelaksanaan demokrasi, keinginan melengserkan Joko Widodo merupakan langkah yang tidak mendidik dan a-demokratis.
Apalagi agenda pelengseran itu harus dilakukan secara "berputar dan melingkar". Menyerang Ahok dulu di Merdeka Selatan, baru kemudian menyasar Presiden Joko Widodo yang ada di Merdeka Utara.
Bahwa Jokowi memiliki banyak kelemahan, sehingga dia perlu dikritik dan dikoreksi, yah iya.
Tetapi di sisi lain UU yang mengatur keterpilihannya sebagai Presiden RI untuk masa jabatan hingga 2019, wajib dihormati.
Kita sudah sepakat melalui Konstitusi dan UU bahwa pemilihan Presiden dilakukan lima tahun sekali. UU ini dibuat atas kesepakatan bersama antara oleh wakil-wakil rakyat kita di parlemen . dengan pemerintah kita sendiri.
Untuk melengserkan seorang Presiden terpilih dan belum habis masa jabatannya, dibuat aturan yang prosesnya berliku.
Pembatasan masa jabatan Presiden juga dibuat untuk mencegah pengalaman Orde Baru terulang. Dimana seorang Jenderal Soeharto bisa berkuasa selama 32 tahun.
Diselenggarakanya pemilihan Presiden oleh seluruh rakyat juga untuk menghindari pemilihan yang hanya melalui perwakilan.
Pemilu demokratis, juga mencegah adanya pembentukan pemerintahan berdasarkan Parlemen Jalanan.
Praktis, tak ada celah dalam proses pemilihan dan keterpilihan Joko Widodo sebagai Presiden.
Sehingga kalau saat ini tiba-tiba ada yang berinisasi untuk melengserkan Joko Widodo, saat masa jabatannya belum habis, inisiatif ini perlu dipertanyakan.
Lalu untuk apa ada Pemilu dan UU Pemilu?
Dalam Pemilu 2014, saya memang memilih Joko Widodo. Tetapi bukan karena itu lalu tulisan ini saya gunakan untuk membela Joko Widodo secara membabi buta.
Saya ingin membela UU dan mengingatkan agar kita wajib menegakkannya. Kita perlu hormati keberhasilannya menarik simpati masyarakat pemilih.
Dalam berbagai artikel "Catatan Tengah" saya tetap soroti kelemahannya. Bukan hanya terbatas pada masalah umum. Tetapi termasuk masalah khusus seperti "kedekatan" Presiden dengan Menteri BUMN Rini Soemarno. Mereka berdua sering terlihat ataupun terkesan seperti 'perangko'.
Saya sampai merenung, apakah 'kedekatan' inilah yang menyebabkan Presiden Jokowi mengabaikan laporan kantor berita "Reuters" dari Inggris.
Laporan itu menyebutkan bahwa Menteri Rini memperoleh "tips" dari pemerintah Tiongkok berkat keberhasilannya menggolkan proyek kereta api cepat, Jakarta-Bandung pp.
Perenungan lainnya ; di kabinet Jokowi terdapat sejumlah menteri perempuan. Tapi mengapa hanya dengan satu perempuan Presiden kelihatan lebih 'nyaman' dan bersahabat?
Memang tidak jelas apakah yang kedekatan itu lebih kelihatan datangnya dari Presiden atau Menteri Rini, ini yang tidak jelas.
Saya juga kaget melihat Menteri Rini Soemarno dan Presiden Joko Widodo berada di sebuah lokasi di Papua, bersama Gubernur Lukas Enembe. Pemandangan itu dari segi estetika psikologis, tidak elok.
Pertanyaan: mengapa Pak Presiden tidak didampingi oleh Mendagri Tjahjo Kumolo? Atau Menteri Pemberdayaan Perempuan - Yohana Yembisa ? Yang disebut belakangan ini kebetulan berasal dari Papua.
Hal hal seperti itu, sebetulnya tidak bisa dianggap persoalan kecil. Justru hal tersebut ikut menciderai citra Joko Widodo.
Hanya saja, mereka yang berada di posisi berseberangan dengan Jokowi, tidak tertarik mempersoalkannya. Sebab dari segi politik, gigitannya kurang tajam.
Cidera lain yang mendera pemerintahan Joko Widodo, ia belum bisa memulihkan perekonomian Indonesia. Malahan rakyat lebih rindu terhadap almarhum Soeharto.
Presiden ke-2 RI tersebut lebih dianggap berhasil. Selama 32 tahun, berkuasa hasil kerjanya lebih bisa dirasakan.
Harga beras atau kebutuhan 9 bahan pokok utama di eranya Pak Harto, jauh lebih murah dibanding sekarang.
Namun bukan karena banyaknya cidera yang ada pada diri Presiden Joko Widodo, lalu Presiden ke-7 RI ini harus dilengserkan.
Pelengseran atas seorang Presiden yang dipilih oleh rakyat secara demokratis, dan hasil Pemilunya disahkan oleh lembaga yang sah dan konstitusional, sama dengan menisbikan kesepakatan nasional.
Apapun alasannya, pelengseran bukan sebuah solusi terbaik bagi negara yang mengadopsi sistem demokratis. Pelengseran itu jahat.
Jika terjadi pelengseran, bakal muncul sebuah kerusakan serius dalam sistem demokrasi kita. Bentuknya berupa krisis konstitusi.
Krisis itu bisa diurai melalui : PERTAMA apakah hanya Joko Widodo yang dilengserkan? Bagaimana dengan Jusuf Kalla sebagai pasangannya.
KEDUA, apakah Jusuf Kalla bersedia dilengserkan? Dan kalau JK tidak, lantas dia naik sebagai Presiden, apakah hal itu juga sebuah solusi yang diterima semua pihak?
KETIGA, Paket Jokowi dan JK digantikan oleh pasangan Prabowo - Subianto & Hatta Rajasa. Sebab pasangan ini peserta Pemilu 2014 yang menduduki urutan kedua setelah pasangan Jokowi JK. Lantas, apakah pergantian ini sah dan konstitusional ?
KEEMPAT, kalau pasangan Jokowi-JK dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, dua-duanya tidak diterima, lantas siapa yang memenuhi persyaratan konstitusi menjadi Presiden dan Wakil Presiden?
KELIMA, apakah kemudian Habib Riziek dan kawan-kawan yang otomatis naik ke puncak kekuasaan. Berhubung pemimpin FPI itulah yang menjadi ujung tombak dari "People Power" pelengseran.
KEENAM, atau Susilo Bambang Yudhoayono dan Boediono, pasangan yang digantikan, Jokowi-JK kembali sebagai pemimpin RI ?
KETUJUH, Rezim militer ?
Jika ini terjadi, bakal muncul seribu pakar hukum tata negara dengan seribu satu solusi atas krisis kontitusi.
Pengalaman menunjukkan, krisis moneter Asia yang dimulai di Thailand pada akhir Juli 1997, merembet ke Indonesia.
Krisis ini berdampak negatif terhadap nilai tukar mata uang rupiah atas dolar Amerika. Nilai rupiah yang tadinya cuma 2.000 poin di pertengahan 1997, tiga bulan kemudian sudah menyentuh angka 16.000 poin.
Krisis mata uang ini kemudian berubah menjadi krisis ekonomi, krisis politik, lalu gabungan dari semua krisis. Yakni krisis multi dimensi yang hingga 2016 masih terasa.
Artinya dari rentetan krisis itu, tak satupun dari lima Presiden yang sudah hadir, yang bisa mengatasinya.
Jadi pelengseran Joko Widodo akhirnya hanya melahirkan krisis tambahan, krisis konstitusi.
Belajar dari sejarah 18 tahun terakhir ini, tanpa bantuan pihak lain, kita tidak akan bisa keluar dari krisis.
Sementara itu sudah menjadi sebuah kecenderungan, mendapatkan negara lain yang mau membantu secara tulus sangat sulit.
Yang terjadi jika sebuah negara jatuh dalam krisis, tak akan ada pihak lain yang mau menolong.
Ketika itulah, saat tak ada pihak yang bersedia menolong, krisis Indonesia menjadi semakin kompleks. Terjadi perpecahan dan permusuhan.
Permusuhan yang ditimbulkan oleh perbedaan suku, agama dan status ekonomi, tambah menjadi-jadi. Terutama karena kita sudah memulai pergantian kekuasaan itu lahir dari permusuhan yang berlatar belakang sektarian ataupun primordial.
Saya yakin, jika para pendiri bangsa ini masih bisa bersuara dari liang kubur, tak satupun di antara mereka yang senang dengan terpecahnya Indonesia. *****
Penulis adalah jurnalis senior