Gesture-nya yang berwibawa tetap melekat. Ketika menatap audiens, sorotan matanya tetap tajam. Dan hampir setiap kalimat yang diucapkannya, diberi penegasan, diikuti oleh gerakan tangan untuk menunjukkan keseriusannya terhadap persoalan yang dimaksud.
Pernyataan SBY tentang dokumen yang hilang, sangat ditunggu, diharapkan bisa menjawab pertanyaan.
Sayangnya, penjelasan SBY, Selasa 25 Oktober bertempat di Istana Cikeas, tidak menjawab pertanyaan - dimana keberadaan dokumen TPF pembunuhan Munir tersebut?
SBY hanya mengatakan bahwa pemerintah yang dipimpinnya sudah berusaha melakukan yang terbaik dalam menangani perkara tersebut.
Karena hanya menonton dari TV dan tidak hadir langsung di tempat konperensi persnya, saya mencatat ada hal kecil namun penting yang 'hilang' dari acara tersebut. Yakni Presiden ke-6 itu tidak membuka sesi tanya jawab dengan wartawan. Mengapa penting, yah karena substansi dari tujuan konperensi pers itu tidak terjelaskan atau tersampaikan.
Saya yakin kalau diberi kesempatan, wartawan yang hadir akan bertanya. Misalnya: "benarkah dokumen itu hilang di tangan bapak ketika bapak masih menjabat Presiden …. seperti yang diungkapkan Yusril Ihza Mahendra, mantan Sekretaris Negara….?".
Atau: "benarkah masih ada pejabat penting di Indonesia yang tidak diperiksa…." Dan seterusnya.
Sementara itu di luaran berkembang berbagai spekulasi. Ada apa sebetulnya antara SBY dan AM Hendropriyono?
Ada yang paradox. Ketika siangnya itu SBY seperti 'tegang' esok paginya AM Hendropriyono dengan tenangnya menjawab pertanyaan TVOne.
Hendropriyono yang ketika Munir terbunuh menjabat Kepala BIN (Badan Intelejen Negara) membantah kalau dia memerintahkan anak buahnya untuk membunuh atau meracuni aktifis HAM tersebut.
Hendro bertutur dia bahkan sempat mengundang Munir memberikan presentasi kepada BIN tentang definisinya mengenai HAM.
Hendro bertanya, mengapa ketika Theys Eluay, tokoh HAM Papua yang terbunuh, komandannya tidak digugat?
Hendro seakan membandingkan dirinya sebagai Komandan atau Kepala BIN dengan Muchdi PR sebagai anak buahnya.
Kendati demikian usaha SBY menggelar konperensi pers dengan cara seperti itu, tetap sangat berarti dan perlu diapresiasi.
Kehadiran sejumlah mantan pejabat tinggi di era pemerintahannya, dalam konperensi pers - " sekalipun entah apa tujuannya, sudah cukup menunjukkan bahwa SBY menempatkan kasus hilangnya TPF Pembunuhan Munir, sebagai sebuah persoalan yang serius.
Itu merupakan satu sisi.
Sisi lainnya, cara SBY menghadapi pers seperti ini mengingatkan situasi di era Orde Baru. Tentang bagaimana sikap dan cara Presiden Soeharto memberikan keterangan pers.
Presiden Soeharto hanya menggelar konperensi pers jika ada hal yang dianggapnya sangat penting. Kriteria penting itu bisa demikian karena Presiden Soeharto membaca atau mensinyalir ada semacam kelompok tertentu yang mengganggu pemerintahannya. Atau karena Presiden Soeharto ingin menyampaikan sebuah gagasan yang diharapkannya memperoleh dukungan pers.
Hanya memang selama 32 tahun berkuasa, Pak Harto sangat jarang menggelar konperensi pers. Dan kalau ada, konperensi pers, tidak ada sesi tanya jawab di dalamnya. Pers hanya mendengar, mencatat atau merekam.
Dan setelah tidak berkuasa, suara sejelek apapun tentang Pak Harto yang beredar di masyarakat, dia tak ambil peduli.
Begitu tak berkuasa, semuanya berakhir. Tak ada ceritera Pak Harto memanggil wartawan ke kediaman pribadinya di Jl. Cendana Jakarta Pusat atau menggelar pertemuan nostalgia, reuni dengan para bekas menteri.
Manakala Presiden Soeharto menggelar konperensi pers, sesi tanya jawab dilaksanakan hanya pertemuan pers yang digelar di pesawat terbang. Dan kejadian seperti ini biasanya dilaksanakan seusai Presiden menyelesaikan kunjungan ke negaraan di sebuah atau beberapa negara.
Presiden Soeharto tercatat pemimpin Indonesia yang paling sedikit mengadakan lawatan ke luar negeri. Dia lebih suka dikunjungi pemimppin dunia ketimbang dia yang melawat. Jadi jumlah konperensi persnya di dalam pesawat hanya bisa dihitung dengan jari.
Wartawan yang mengikuti perjalanan Presiden, biasanya sudah tahu. Segala sesuatunya dipersiapkan sejak awal. Siapa yang bertanya berikut apa isi pertanyaan, dikoordinasikan oleh Biro Pers Kepresidenan, sebelum konperensi pers itu dilaksanakan.
Apa yang menjadi moral dari contoh Presiden Soeharto ini adalah sediktator-diktatornya julukan yang diberikan kepada Presiden Soeharto tetapi Presiden ke-2 RI tersebut masih memberi ruang dialog yang bermakna demokrasi. Pers adalah bagian dari jaringan demokrasi.
Pak Harto tahu bagaimana cara membungkam pertanyaan penting yang berkembang di masyarakat. Misalnya dengan mendiamkannya sama sekali atau menjawab secara tuntas sehingga tidak mengambang.
Jadi tidak ada konperensi pers yang digelar untuk menjawab pertanyaan dengan penjelasan yang pada akhirnya tidak menjawab pertanyaan.
Presiden Seoharto sadar bahwa sebuah konperensi pers, bukanlah sebuah pertemuan satu arah.
Ketika Presiden Soeharto menunjukkan kemarahannya, sikap dan mimiknya tidak selalu mengesankan yang bersangkutan sedang marah.
Pak Harto bisa sedang atau sangat marah sekali tetapi sewaktu menyatakan kemarahannya tersebut bisa dengan cara tersenyum. Maka tidak heran kalau O.G. Roeder wartawan Jerman yang menulis bukunya, menjuluki Pak Harto sebagai "The Smiling General".
Ceritera kenangan tentang Pak Harto kembali mengemuka, bukan karena ingin mengkultuskan pemimpin Orde Baru itu. Tetapi karena saya melihat disamping Pak Harto memiliki kelemahan selama memimpin Indonesia, dalam banyak hal almarhum meninggalkan cukup banyak legacy. Rezim Orde Baru tidak hanya berisi tentang kegagalan, tapi juga banyak memproduksi hal-hal positif. Baik program maupun SDM-nya.
Dan diakui atau tidak, SBY merupakan produk Orde Baru yang tersisa dan cukup paham tentang apa yang menjadi kekuatan Pak Harto termasuk legacy-nya.
Salah satu legacy-nya Pak Harto misalnya dia pernah menjadikan sejumlah orang di Indonesia yang bisa disebut sebagai "The Untouchable". Tentu saja termasuk dirinya dan keluarganya.
Tetapi cara Pak Harto membentuk status "The Untouchable", orang yang tidak bisa disentuh, cukup elegant. Dan cara itu pada zamannya memang sesuai kepatutan.
Maksudnya, kalau di era sekarang muncul usaha Pak Harto menciptakan manusia-manusia yang tidak bisa tersentuh, tentu saja tidak cocok. Era reformasi, beda dengan era represif. Lain kalau era represif itu mau dihidupkan lagi.
Ketika baru saja lengser dari kekuasaan, Pak Harto digugat oleh musuh-musuh politiknya. Bukan hanya sebagai seorang diktator, melainkan sebagai koruptor. Status koruptornya tidak terbukti, sementara labelnya sebagai diktator malah sekarang dianggap lebih efektif.
Dalam soal korupsi rakyat Indonesia malah berbalik sekarang. Bahwa di era Pak Harto, korupsinya tak sebesar di era sesudah rezim Orde Baru.
Demi sebuah akuntabilitas dan tegaknya hukum di sebuah negara yang baru saja menikmati demokrasi, Pak Harto memenuhi panggilan Jaksa Tinggi DKI Jakarta.
Ketika datang ke Kantor Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, bekas penguasa yang berkuasa selama 32 tahun itu, tidak ragu, tidak malu tampil sebagai rakyat biasa. Dia mau menjawab semua pertanyaan baik yang disuarakan maupun yang hanya sebatas rumor saja. Hasilnya Jaksa memang mengalamai kesulitan memeriksa Pak Harto sebagai tersangka.
Yang pasti kehadiran Pak Harto di Kejaksaan Tinggi tempo hari memenuhi panggilan penegak hukum, menjadi senjata makan tuan bagi mereka yang selalu menuding Pak Harto sebagai seorang yang kebal hukum.
Dengan sejuta maaf saya harus sampaikan bahwa wajah simpatik Presiden Soeharto seperti inilah yang tidak terlihat pada Presiden SBY. Walaupun SBY memiliki titisan dan serpihan Orde Baru.
Banyak persoalan hukum yang terjadi di era pemerintahan SBY, hingga saat ini tidak jelas penyelesaiannya. Klarifikasi dari SBY, tidak pernah ada.
Sejumlah kasus yang sudah pernah mencuat ke permukaan, diam-diam melemah atau seperti lampu yang tadinya terang benderang, tiba-tiba menjadi temaram.
Seperti skandal Bank Century yang menyebabkan raibnya dana sebesar Rp. 6,7 triliun dari Bank Indonesia.
Apa masuk akal sehat, sejumlah pejabat rendahan Bank Indonesia, sudah dibui sementara atasan mereka hidup aman tenteram di era pemerintahan SBY aman tak tersentuh? Dan kasus lainnya.
Pak Harto tidak pernah berusaha defensif termasuk membela keluarganya. Pak Harto tidak menyalahkan orang lain.
Agak beda dengan Pak SBY. Dia misalnya - dalam konperensi pers tersebut menohok Presiden Joko Widodo sebagai Kepala Pemerintahan yang harus bertanggung jawab terhadap penyelesaian kasus pembunuhan Munir. Sementara SBY tidak menjawab pertanyaan dimana sebetulnya keberadaan dokumen TPF Munir.
Ini aneh, agak ajaib dan unik. Ini bukanlah cerminan dan cara seorang negarawan. Menyalahkan orang lain dan hanya membenarkan diri sendiri.
Cara ini justru bisa mengesankan, SBY sedang bermanuver, membentuk dirinya sebagai seorang yang perfect. Tidak bisa atau tidak boleh disentuh. "The Untouchable" atau masih merasa sebagai Presiden, setidaknya sebagai Presiden Bayangan atau "The Shadow President".
Semoga tidak. Sekali lagi semoga.
[***]Penulias adalah wartawan senior