Sebab perburuan yang memakan waktu hampir 20 tahun ini, sejatinya memberikan banyak pembelajaran.
Perburuan, terjadi sejak saya masih aktif sebagai wartawan, sampai dengan sudah berstatus baru wartawan "Facebook" yang merangkap semuanya: reporter, editor, korektor dan chief editor untuk laman sendiri.
Adalah Pak Sabam Siagian, Dubes RI untuk Australia yang mantan bos saya di harian "Sinar Harapan", yang mendorong saya setelah terlebih dahulu dia membuka rekam jejak Yoost Mengko. Bahwa anggota TNI Angkatan Laut tersebut seorang prajurit profesional yang sangat komit kepada tugas dan tanggung jawab.
Dan sebagai seorang intelejens, Yoost Mengko benar-benar mengadopsi filosofi bahwa hidup tak dikenal dan mati tak dikenang. Dia tidak mencari popularitas dari keberhasilannya atas sebuah pekerjaan yang berat.
Dan kisah yang berulang-ulang diceritakan Pak Sabam sebagai sebuah ceritera keberhasilan diplomasi, manakala Pak Sabam bekerja sama dengan Letnan Kolonel Yoost Mengko di Canberra. Kebetulan kedatangan mereka berdua di pos KBRI Australia itu hanya berselisih dua hari.
Nopember 2014, tepatnya tanggal 24, ketika buku saya "Surya Paloh Melawan Arus, Menantang Badai" diluncurkan Gramedia Pustaka Utama, Pak Sabam dan Yoost Mengko saya undang dan keduanya hadir.
Seusai acara tersebut, Pak Sabam berbisik agar saya bisa menulis ceritera soal "Lucitanio Expresso" dari Yoost Mengko.
Dan di pertengahan tahun 2015, ketika bertemu kembali dengan Pak Sabam di kantornya, bekas Pemimpin Redaksi "The Jakarta Post" itu kembali menanyakan pesannya. Sambil dia bernostalgia tentang masa penugasannya di Canberra.
Pak Sabam semakin bersemangat berceritera, sebab dalam kabinet Presiden Joko Widodo, mantan anak buahnya di Canberra, Retno Marsudi dipercaya menjadi Menteri Luar Negeri.
"Kamu mungkin masih ingat Retno. Dia saya minta menelpon kamu di Syndey. Saat Retno menjabat Kepala Bagian Perangan KBRI", berkata Pak Sabam.
Yah nostalgia itu kembali ke memori saya. Sebab kunjungan saya ke Australia pada tahun 1993, sebagai wartawan "Media Indonesia", memenuhi undangan pemerintah negeri Kanguru itu. Tidak ada kaitannya dengan pemerintah RI.
Nah yang mengejutkan, pada saat saya baru "check in" di sebuah hotel di Syndey, tiba-tiba ditelepon Retno Marsudi yang mengaku ditugaskan Dubes RI di Canberra.
"Bapak diminta Pak Dubes melapor ke Canberra", pesan Retno Marsudi, kini Menlu RI.
Saya tidak mau menceriterakan kepada Pak Sabam, bekas koresponden Radio Australia, di Markas Besar PBB New York itu, tentang ketidak berhasilan saya meyakinkan Yoost Mengko.
Karena saya tahu prinsipnya. Wartawan profesional, tidak pernah mengenal kata gagal dalam mengejar nara sumber.
Saya tidak mau mengaku bahwa saya sudah mengejar Yoost Mengko sejak saya masih menjadi wartawan "Media Indonesia". Tapi selalu gagal. Saya hanya katakan, Yoost Mengko merasa belum saatnya kisah "Lucitanio Expresso" itu dilepas ke publik. Yoost tidak ingin dicurigai sedang mencari panggung di tengah maraknya orang berebut mendapatkan panggung dan kekuasaan.
Padahal keadaan sesungguhnya tidak demikian. Berbagai jaringan sudah saya gunakan. Termasuk yang bersifat 'primordial'. Seperti jaringan di komunitas orang-orang asal Kawanua di Jakarta.
Sepengetahuan saya, Yoost Mengko punya saudara laki-laki yang juga lulusan Akademi Militer tapi dari matra Angkatan Darat. Namun semua usaha saya itu gagal.
Sampai pada satu waktu di tahun 2000-an awal, kami bertemu secara kebetulan di klub golf "Friendly".
Di klub yang didirikan oleh Justian Suhandinata, pengusaha dan sekaligus pembina klub bulutangkis "Tangkas", klub yang melahirkan pebulutangkis juara ganda Olimpade 2016 Liliana, minimal sekali dalam seminggu kami main golf bersama.
Dalam waktu lima tahun misalnya, selaku anggota golf "Friendly", kami sudah menjelajah hampir semua 32 buah padang gof di kawasan Jabodetabek. Kami juga bermain sampai ke Pulau Bintan, sebuah resort golf yang sangat indah di Kepulauan Riau, dekat Singapura.
Bahkan kami pernah ikut tour golf bersama ke luar negeri seperti Chiang Mai (Thailand) dan Sun Shine City (Tiongkok).
Beberapa kali kami berada dalam satu "pairing". Di saat seperti itu, sambil berjalan atau mengendarai GolfCar, setidaknya kami punya waktu selama minimal 3,5 jam bisa ngobrol bebas tentang apa saja.
Hubungan kami sudah demikian akrab. Di saat-saat seperti itulah sering saya tanyakan berbagai hal termasuk kisah "Lucitanio Expresso".
Tapi keakraban itu ternyata belum menjadi sebuah jaminan. Keakraban di hobi yang sama, tidak menghasilkan sebuah keterbukaan. Padahal ada ungkapan yang mengatakan, bahwa persahabatan di golf, sangat unik. Sekali terjalin sebuah hubungan yang baik di tengah lapangan golf, hubungan baik akan berbuah sebuah tingkat kepercayaan yang tinggi. Mengapa? Karena permainan golf sebetulnya didasarkan pada kejujuran, ketulusan dan kemampuan serta prilaku apa adanya.
Melalui permainan golf, seseorang bisa dinilai apakah dia seorang yang bisa dipercaya atau bagaimana?
Pernah di era Presiden SBY, Yoost Mengko mengundang minum bir di sebuah restoran Jerman, di CITOS, Jakarta Selatan. Itu terjadi karena dia tertarik dengan ulasan saya di INILAH DOTKOM yang mengeritik Presiden SBY. Presiden ke-6 Republik Indonesia itu seolah-olah menantang Australia untuk sebuah perang terbuka.
Yoost Mengko, menilai, secara keseluruhan apa yang saya tulis, sangat tepat. Tetapi jujur, karena pujian itu datang dari seorang intel, pujian itu tidak saya anggap sebagai sebuah apresiasi yang genuine. Apalagi setelah itu, rencana bertemu dengan beberapa orang yang dia sebut sebagai orang Australia yang sangat tahu tentang kondisi Indonesia, tidak jadi terlaksana.
Tapi selama perbincangan itu saya tunjukkan keseriusan serta rasa respek saya yang tinggi kepadanya, sebagai seorang "manusia langkah" di dunia intelejens Indonesia.
Yang menyenangkan dalam pembicaraan seperti itu, Yoost Mengko selalu memberikan tips ataupun latar belakang tentang sebuah peristiwa. Dan tips itu sungguh sangat membantu pemahaman saya tentang berbagai persoalan.
Di satu sisi perburuan atas ceritera eksklusif dari Yoost Mengko, secara diam-diam saya hentikan.
Semangat menghentikan perburuan itu semakin kuat, setelah tahun ini sosok yang mendorong-dorong saya mengejar Yoost Mengko, yaitu Pak Sabam Siagian, berpulang.
Akibatnya, saya tinggal menempatkan Yoost Mengko sebagai seorang nara sumber tidak resmi ataupun guru untuk hal-hal yang tidak diajarkan di lembaga pendidikan. Lagi pula saya pikir, apakah masyarakat Indonesia masih peduli tentang sebuah kisah diplomasi yang terjadi di era Orde Baru? Apakah kisah diplomasi soal Timor Timur masih menarik, setelah tahun 1999 provinsi itu lepas dari NKRI?
Ajakannya untuk bermain golf pun semakin sering saya tolak dengan berbagai alasan. Saya selalu berdalih bahwa penglihatan salah satu mata, kurang jelas. Sehingga sangat berpengaruh dalam akurasi pukulan ketika melakukan "chipping" ataupun "putting" di apa yang sering disebut "short game".
Pekan lalu Yoost Menko menyapa saya melalui WA. Saya merespondnya dengan mengajaknya untuk minum bir di tempat favoritnya. Tapi di menit-menit terakhir, kami sepakat merubah tempat pertemuan di sebuah kafe di kawasan Cinere, pinggiran Jakarta. Di kafe itu, pengunjungnya tidak terlalu berisik dan letaknya pun tidak jauh dari kediamannya.
Setelah perbincangan sekitar 2 jam, saya minta izin agar pertemuan kami boleh dipotret oleh pelayan kafe. Yoost Mengko setuju. Saya menangkap kesan, tanda setuju tersebut bisa berarti luas. Sebab sejauh ini, Yoost Mengko selalu menghindari untuk dipotret dalam momen seperti kemarin.
Karena hari sudah lewat magrib, perut sudah mulai keroncongan, saya mengambil insiatif mengajaknya makan bubur ayam di sebuah restoran Chinese.
Makan malam dengan menu sederhana tetapi enak dan leker di tenggorokan, ternyata menjadi sangat menentukan.
Sebab ketika ceritera lengkap tentang operasi "Lucitanio Expresso", sudah saya dapatkan, dan saya minta izin ditulis, kali ini Yoost Mengko langsung mengangguk. Tanda setuju.
Legah dan puas, sebab perburuan selama bertahun-tahun itu akhirnya berhasil. Apalagi pembicaraan kami tidak hanya menyangkutr soal "Lucitanio Expresso", tapi juga ada serpihan-serpihan lainnya.
Semuanya menurut saya masih tetap punya nilai. Bernilai sejarah ataupun untuk wawasan.
Ada soal terorisme, imigran RRT dan lain-lainnya serta tentu saja "power politik" yang ada dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Setidaknya sebagai bahan pengetahuan umum untuk pribadi.
So, sampai jumpa di
Catatan Tengah edisi berikutnya.
[***]Penulis adalah wartawan senior Indonesia