Tetapi untuk situasi Inonesia seperti saat ini, jika konsep ala Orde Baru itu diterapkan, juga tidak akan efektif.
Demikian antara lain petikan pembicaraan dengan Laksamana Muda (Purnawirawan) Yoost Mengko, satu dari sedikit orang Indonesia yang pernah dididik di CIA, "Universitas Intelejens" ternama di Amerika Serikat.
Perbincangan dengan Yoost Mengko, terjadi awal pekan lalu. Setelah sebelumnya dia tertarik membahas
Catatan Tengah edisi 5 Oktober 2016.
Edisi itu berjudul "
Panglima TNI Berkeluh, Militer Kita Frustrasi?". Di dalamnya diulas tentang macetnya suplai informasi intelejens ke kalangan TNI semenjak Panglima TNI saat ini Jenderal Gatot Nurmantyo masih berpangkat Kolonel.
"Saya tidak nyaman mendengar apa yang diungkapkan oleh Panglima TNI. Sebab cara itu sama dengan dia membuka kelemahan kita kepada musuh-musuh Indonesia. Bahwa saat ini negara kita tidak punya kemampuan apa-apa", ujar Yoost Mengko.
Mantan Atase Pertahanan di KBRI, Canberra, Australia, di tahun 1990-an ini menilai konsep intelejens Indonesia memang sudah lama hancur. Dan yang menghancurkannya sebuah negara adi daya yang sangat berkepentingan melemahkan Indonesia.
Penghancuran dilakukan secara sistematis. Mulai dari merusak organisasi militer dan memutus semua jaringan dan data intelejens yang tersambung secara nasional.
Tetapi itu tidak berarti kehancuran tersebut harus diumbar kepada publik.
Sebaliknya menjadi tugas penting dari seorang Panglima TNI dan seluruh jajarannya untuk membangun kembali intelejens negara yang sudah tak punya kekuatan. Dan tugas itu merupakan panggilan negara.
Bahkan kalau saat ini Kepala Intelejens berada di tangan Polri, Panglima TNI harus bicara kepada Presiden.
Abaikan birokrasi bahwa Panglima TNI hanya bisa berbicara dengan Presiden melalui Menteri Pertahanan. Sebab untuk persoalan mendesak seperti ini Panglima TNI harus ke Presiden.
Presiden harus disadarkan bahwa Kepala BIN, tidak cocok dikendalikan oleh anggota Polri. Intelejens hanya cocok dikendalikan oleh militer. Yoost sadar belum tentu Presiden Joko Widodo sadar atas kebutuhan mendesak seperti ini. Dan itu harus dimaklumi.
Bukan meremehkan Polri apalagi mendegradasi keputusan Presiden. Namun sesuai konsep dan filosofi kerjanya memang berbeda. Kepada Presiden harus diyakinkan, intelejens itu harus mengantisipasi. Sesuatu yang belum terjadi sudah harus bisa dibaca oleh intelejens. Dan hanya militer yang dididik seperti itu.
Sementara polisi bekerjanya harus berdasarkan pada adanya TKP (Tempat Kejadian Perkara). Jadi bergeraknya harus menunggu terlebih dahulu sebuah kejadian. Inilah yang tidak cocok jika polisi mengendalikan dunia intelejens.
Presiden pun perlu disadarkan bahwa yang menjadi Kepala Tertinggi Badan Intelejens itu, adalah Presiden sendiri.
Mengapa? Karena konsep intelejens itu adalah Presiden harus melihat dan mendengar apa yang terjadi di negaranya.
Dengan pengetahuan itu, Presiden lalu memimpin Indonesia. Jadi intelejens itu merupakan mata dan telinga. Nah saat ini Presiden tidak punya intelejens seperti yang dipersyaratkan.
"Coba anda terjemahkan, apa yang akan terjadi pada diri anda, bila anda tidak punya mata dan telinga", kata Yoost Mengko memberi kiasan.
"Jangan heran kalau muncul berbagai kebijakan yang tidak sinkron dengan keadaan", tambahnya.
Membangun kekuatan intelejens memang tidak mudah. Yoost Mengko memperkirakan waktu yang dibutuhkan untuk membangunnya, bukan dalam hitungan satu periode jabatan presiden. Bisa lebih dari itu. Tapi pekerjaaan membangunan itu harus dilakukan atau tidak boleh diabaikan.
Yoost Mengko sependapat dengan penilaian Panglima TNI bahwa perang di era sekarang tidak lagi menggunakan senjata. Melainkan tidak langsung atau menggunakan pion "War by Proxy". Nah itulah yang harus ditangani oleh Panglima TNI.
Selain menyorot soal keluhan Panglima TNI, Yoost Mengko juga menilai Panglima TNI kurang menjalin hubungan dengan negara-negara tetangga.
Dia tidak melihat Panglima TNI melakukan "road show" ke semua Panglima di kawasan regional untuk perkenalan diri.
Padahal perkenalan seperti itu, cukup penting. Di situlah dibentuk sebuah kontak dan hubungan yang baik antara sesama Panglima. Hubungan yang baik tersebut, pada satu saat diperlukan untuk kebutuhan operasi intelejens maupun tujuan lainnya.
Ia memberi contoh keberhasilan Indonesia mencegah terjadinya insiden Indonesia-Portugal di tahun 1992.
Saat itu kapal milik Portugal "Lucitanio Expresso" yang dinakodai oleh Dos Santos, melakukan provokasi ke Timor Timur.
Kapten Dos Santos yang dibayar pemerintah Portugal sebesar US$ 750,- juta dolar atau kalau sekarang nilainya setara dengan Rp. 10,- triliun, diminta menyeberangkan puluhan mahasiswi cantik (pilihan) asal Portugal untuk berlibur ke Dili.
Kepada para mahasiswi, Portugal menawarkan sebuah liburan berupa berjemur di pantai-pantai eksotik di sepanjang Timor Timur.
Skenario yang dibuat Portugal, para mahasiswa cantik diterbangkan ke Darwin, Australia Utara. Dari sana mereka diangkut dengan kapal pesiar ke Dili, kapal mana khusus didatangkan dari Portugal. Kehadiran mereka akan memukul Indonesia secara diplomatik. Bahwa Portugal mauasad Timor Timur.
Padahal ketika itu Indonesia yang berkuasa di Timor dan kedua negara tidak punya hubungan diplomatik. Kedua negara bersengketa. Sehingga warga Portugal tak mungkin boleh masuk Timor Timur.
Indonesia menduduki wilayah itu sejak 1975, sementara Portugal selama kurang lebih 400 tahun ke belakang, menjadikan provinsi itu sebagai wilayahnya di seberang lautan.
Yoost Mengko mendapat tugas untuk mencegah "Lucitanio Expresso" menyeberang ke Dili. Dan berhasil.
Tapi keberhasilan itu menurutnya tidak lepas dari saham berupa adanya hubungan yang baik antara militer Australia-Indonesia. Termasuk jaringan intelejens.
Sadar bahwa provokasi Portugal sebagai sebuah manuver yang sulit dihadapi, Yoost Mengko menghubungi mitranya di Australia. Negara ini pun merespons. Misalnya Australia menggelar latihan perang di sekitar Darwin, tapi tujuannya memata-matai - jangan sampai ada kapal lain yang memanfaatkan provokasi Portugal.
Setelah mendapat jaminan, Yoost yang saat itu baru berpangkat Letnan Kolonel, langsung terbang ke Darwin, Australia Utara. Penerbangan selama enam jam itu, penuh tantangan.
Di kota Darwin sendiri saat itu terdapat komunitas asal Timor Timur yang cukup besar dan sangat anti-Indonesia. Mereka merupakan pelarian dari Timor Timur karena tidak suka tanah tumpah darah mereka bergabung dengan Indonesia.
Pengaruh mereka dalam kehidupan masyarakat Australia, cukup besar. Terutama karena penduduk kota Darwin yang hanya puluhan ribu, seperti didominasi oleh mereka.
Ketika "Lucitanio Expresso" itu sandar di Darwin, pada saat yang hampir bersamaan masyarakat eks Timor Timur juga melakukan provokasi. Mereka melempari kantor Konsulat Jenderal RI di Darwin, dengan potongan kepala babi.
Singkatnya, pada saat itu sangat tidak kondusif bagi seorang diplomat RI bertugas di Darwin. Jadi Yoost Mengko pun harus tampil di Darwin dengan cara yang tak akan menarik perhatian apalagi mengundang kecurigaan.
Tugasnya sebagai intelejens semakin berat karena dia harus mencari seorang Kapten Kapal bernama Dos Santos, Sementara data tentang warga Portugal tersebut tidak dia miliki. Dan kemungkinan besar saat itu 9-11 Maret 1992, Dos Santos berada di tengah masyarakat eks Timor Timur yang notabene sama-sama bisa berbahasa Portugis.
Namun berkat hubungan baik dengan Australia, Yoost Mengko dengan gampangnya bisa bertemu dengan kapten kapal yang sesungguhnya menjadi kunci utama dalam provokasi diplomasi Portugal.
"Pokoknya saya tinggal mengikuti pesan dari seseorang yang tidak saya kenal. Bahwa pada jam sekian, di sebuah restoran lengkap dengan alamatnya, saya sudah ditunggu oleh Kapten Kapal 'Lucitanio Expresso' Dos Santos. Ciri-ciri orangnya berikut baju dikenakan dan dia duduk di meja sebelah mana, lengkap tertulis di pesan tersebut", kisahnya.
Yoost Mengko tinggal mendatanginya dan mempekenalkan diri.
Dos Santos berhasil diyakinkannya untuk tidak perlu ke Dili. Dos Santo mengikuti saran Yoost Mengko bahwa dia perlu masuk ke wilayah Indonesia.
Kalau kasus "Lucitanio Expresso" yang dijadikan ukuran, maka perang yang tidak menggunakan senjata, sebetulnya sudah dipraktekkan lebih dari 20 tahun lalu.
Yoost Mengko mengaku bahwa konsep dan organisasi intelejens Indonesia sudah hancur. Dan kehancuran itu dimulai di TNI atau ABRI dan semakin menjadi-jadi ketika ABRI terpolarisasi antara "ABRI Hijau" dan "ABRI Merah Putih".
Kehancuran intelejens Indonesia semakin diperparah oleh perangkapan jabatan Kepala BIA (Badan Intelejensi ABRI) oleh Jenderal Benny Moerdani (almarhum) yang pada waktu bersamaan menjabat Panglima ABRI.
Selain itu dalam kegiatan (operasi) intelejens, Benny Moerdani condong hanya percaya kepada dua petinggi militer Laksamana Sudibyo Rahardjo dan Teddy Rusli. Semakin luas terjadinya polarisasi di tubuh ABRI.
Di tahun 1990-an itu, Indonesia memiliki badan intelejens: Bakin (Badan Koordinasi Intelejens Nasional) dan BAIS (Badan Intelejens Strategis) dan BIA (Bandan Intelejens ABRI).
BIA hancur karena kemudian badan ini tidak lagi berfungsi murni. Sudah berubah lembaga yang memata-matai siapa yang pantas menjadi Pangdam, Gubernur bahkan Menteri.
Lantas apa sarannya agar di dalam 'kekosongan' atau kehancuran intelejens ini, Indonesia masih bisa menghadapi dan mengatasi semua manuver yang menerapkan "War by Proxy"?
Jawabannya di
Catatan Tengah edisi berikutnya.
[***]Penulis adalah wartawan senior Indonesia