Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pers Partisan Lahirkan Citizen Journalist & Politisi Abal-abal

Konglomerasi Pers Berpotensi Picu Disintegrasi

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Selasa, 21 Juni 2016, 02:52 WIB
<i>Pers Partisan Lahirkan Citizen Journalist & Politisi Abal-abal</i>
derek manangka
"BUNG... sebaiknya berhenti mengkhianati nurani dan mulailah bicara tentang kebenaran untuk negeri ini menjadi lebih baik", begitu penggalan postingan Benny Kabur Harman, politisi Partai Demokrat di WAG "Mari Boeng Reboet Kembali".

Tanggapan tersebut merupakan reaksi Benny atas tulisan saya di Catatan Tengah edisi 11 Juni 2016. (Baca: Mengkritisi SBY Yang Selalu Mengritik Jokowi)

Dimuat di akun Facebook dengan judul "Mengkritisi SBY Yang S'lalu Mengeritik Jokowi", tulisan itu di-share di semua WAG dimana saya tercatat sebagai anggota.

Sengaja men-share tulisan itu di jaringan WAG. Sebab sebelumnya sudah ada data yang menyebutkan tidak kurang dari 36 sahabat yang telah men-share atau membagikannya. Dan sebelum membagikannya, para sahabat di atas, lebih dulu minta izin sekaligus memberikan tanda jempol atau memberikan komentar yang cukup jelas mengapa mereka tertarik membagikan catatan tersebut.

Dalam hitung-hitungan kasar, jika setiap sahabat yang membagikan tulisan itu punya teman sebanyak 1.000 orang, yah tentu lumayan banyak yang membaca tulisan tersebut di Facebook. Sementara ada teman yang bisa memiliki 5.000 sahabat. Berarti ada ribuan pembaca yang mengkonsumsi artikel tersebut.

Selain itu, tulisan tersebut dikutip oleh Kantor Berita Politik RMOL sebagaimana halnya media internet itu, sudah sejak tahun lalu, secara rutin memposting kembali Catatan Tengah saya. Media ini diklik sebanyak jutaan kali oleh pembacanya.

Selain Kantor Berita Politik RMOL, masih ada sejumlah portal yang mengutip kembali catatan tersebut secara utuh. Portal-portal itu, sesuai pesan pengelolahnya ada yang berbasis di daerah atau luar Jakarta.

Jadi kesimpulan sementara, materi sorotan terhadap SBY yang selalu mengeritik Presiden Jokowi, secara substansial memiliki nilai berita. Bahwa sebagai berita, tapi tidak sesuai pencitaraan, itu merupakan persoalan tersendiri.

Setelah terjadi tanggap-menanggap, dimana saya tidak menyerah begitu saja, Benny K. Harman pun kemudian menantang ataupun melempar gagasan. Agar kami berdua menyewa slot di stasiun televisi untuk melakukan debat terbuka.

Namun undangan atau gagasannya itu saya tampik dengan mengatakan saya bukanlah pendebat melainkan penulis.

"Saya pasti kalah dengan anda kalau debat (kusir)", jawab saya kepada politisi yang dulu pernah sama-sama bekerja sebagai wartawan "Media Indonesia".

Sebelum Benny K.Harman, masih ada Andi Arief yang memberi tanggapan. Bekas Staf Khusus SBY, ketika yang terakhir ini menjabat Presiden RI, berpendapat bahwasanya tulisan saya tersebut tergolong "sampah".

Berbeda dengan Benny, penilaian Andi Arief justru disanggah oleh anggota WAG lainnya. Sehingga perdebatan kami berdua secara person to person, tidak berlanjut.

Ditambah lagi, Andi Arief tidak melayani permintaan saya agar dia bisa menulis artikel yang kualitasnya lebih baik dari "sampah".

Perdebatan dengan Benny K.Harman dan Andi Arief saya angkat, sebab sebuah kedua figur ini saya nilai memiliki jaringan dan pendukung yang cukup banyak.

Benny K. Harman sebagai anggota DPR-RI tentu memiliki konstituen yang massanya bisa mencapai puluhan bahkan mungkin ratusan ribu.

Andi Arief, yang katanya aktifis 1998, paling tidak memiliki sejumlah pengikut.

Tanggapan Benny dan Andi saya anggap penting, sebab tiba-tiba saja saya seperti dibangunkan dari ketertiduran. Yaitu ternyata situasi politik saat ini yang dikaitkan dengan kebebasan pers, telah mengalami perubahan yang cukup mendasar.

Cara politisi atau aktifis dalam memandang sebuah opini atau kritikan orang pers, sudah dipengaruhi oleh sikap apriori. Semua pers, semua tulisan, semua kritik, sama muatan dan latar belakangnya. Terjadi penyama rataan.

Jika di masyarakat ada yang bersuara bahwa para politisi di Senayan, tak satupun yang berjuang untuk kepentingan rakyat ataupun konstituen mereka, maka penilaian itu serta merta diamini.

Saya berkesimpulan, perdebatan dengan Benny K. Harman dan Andi Arief, bisa menjadi sebuah contoh ataupun bukti, betapa sudah bergesernya peranan pers sebagai alat kontrol sosial.

Kebebasan pers yang melebihi kebebasan di negara-negara yang sudah lebih dulu menjunjung tinggi kebebasan, menghasilkan pelaku-pelaku pers yang tidak memahami secara konprehensif tentang makna sebuah kebebasan pers.

Terjadi penyamarataan. Mereka yang baru masuk dalam dunia pers yang bebas ini, memiliki status sama dengan insan pers yang sudah puluhan tahun menekuni dunia pers.

Mereka yang sudah terbiasa menulis dan mengeritik disamakan dengan mereka yang baru belajar menulis dan baru coba-coba bagaimana mengeritik.

Kepercayaan atas sebuah kritik yang ditulis oleh orang pers pun, sudah berkurang secara drastis. Mengapa? Yah, karena siapa saja bisa dengan mudah menjadi orang pers. Sama mudahnya dengan orang menjadi politisi.

Wartawan senior dan wartawan pendatang baru, jurnalis tanpa rekam jejak, berada dalam satu pot. Terjadi penyamarataan dan penyederhanaan secara mudah.

Tahun 2014, buku saya tentang Surya Paloh diluncurkan oleh Gramedia. Isinya mengulas tentang peran Surya Paloh sebagai Pejuang Demokrasi.

Sebab ketika Indonesia diperintah secara totaliter dan tak ada kebebasan pers, Surya Paloh justru berjuang sendiri. Perjuangannya adalah menghadirkan demokrasi melalui kebebasan pers.

Tapi oleh beberapa kalangan buku itu dianggap tak lebih dari mengkultuskan pribadi.

Bahkan oleh Samuel Lengkey, seorang intelektual muda yang kebetulan menjadi sahabat saya di WAG "Peduli Negara 1", buku itu dianggapnya sebagai berisikan profil yang memuji-muji Surya Paloh. Tanpa membaca sudah menarik kesimpulan.

Dalam buku tersebut saya juga uraikan peranan harian "Prioritas" yang digunakan Surya Paloh sebagai media perjuangan.

Di luar dugaan, ada yang berkomentar sinis. Yang cukup mengejutkan, komentar tersebut berasal dari rekan yang bersama saya menjadi wartawan di harian tersebut.

Seolah-olah rekan tersebut menuding saya telah menyembunyikan banyak fakta termasuk kekurangan dan kelemahan Surya Paloh. Dan saya seolah sedang mencari popularitas dan ingin menjadi pahlawan sendiri.

Menariknya lagi, rekan tersebut hadir hadir di peluncuran buku tersebut dan sempat memuji saya.

Tapi komentar sinisnya justru muncul ketika acara peluncuran baru usai sekitar dua jam. Dimana saya meyakini, dalam dua jam itu, dia belum sempat membaca buku tersebut.

Saya hanya bisa membatin. Sebab kami memang benar, sama-sama menjadi wartawan "Prioritas". Yang tidak sama adalah saya sebagai wartawan lebih senior, ikut merumuskan tentang kebijakan redaksional, merancang konsep peliputan, memberi penugasan dan merumuskan kebijakan perusahaan.

Saya juga membagi narasumber atau jaringan profesional yang saya miliki.

Sementara sahabat ini, ketika itu baru mulai "belajar" bagaimana menulis berita dengan rumus "5W 1H".

Tetapi perbedaan yang sangat domplang itu menjadi nihil atau dia nihilkan. Semuanya disederhanakan. Semuanya menjadi sah.

Sebab setelah 26 atau 28 tahun kemudian, kami memang sama-sama sudah berstatus sebagai eks wartawan "Prioritas". Bekas junior ku ini juga sudah menjadi penulis produktif.

Oleh sebab itu, dengan latar belakang di atas, saya tidak menyalahkan sepenuhnya reaksi Benny Harman dan Andi Arief.

Kedua anak buah bekas Presiden RI periode 2004-2014 ini, berhak menilai saya sebagai wartawan atau penulis yang tidak bersesuai dengan mereka. Keduanya sedang menilai Indonesia dan wartawan Indonesia dari perspektif subyektif mereka.

Dalam evaluasi saya, mungkin saja, di mata politisi dan aktifis tersebut, apa yang saya lakoni dalam profesi wartawan selama sekian dekade, tak ada bedanya dengan yang baru menjadi wartawan sejak reformasi 1998.

Dalam penialain seperti itu, saya merasa seperti dikategorikaan sebagai wartawan partisan, tidak berkualitas, tidak punya kredibilitas dan akuntabilitas.

Bahkan mungkin saya disamakan dengan mereka yang lazim disebut "Citizen Journalist". Sementara di mata saya kelahiran Citizen Journalist, kelompok wartawan karbitan, sama dengan lahirnya politisi abal-abal.

Kalau memang demikian penilaiannya, semua penilaian itu tak ada yang keliru. Kalau dasar pemikirannnya seperti itu, sangat wajar jika SBY tidak boleh dikritik. Atau boleh saja SBY mengeritik, tapi orang lain tidak boleh mengeritik atau mengkritisinya.

Dan terbentuknya perspektif yang keliru tentang pers dan orang pers ini, semua tidak lepas dari perubahan dan perkembangan situasi.

Perspektif ini terbentuk karena sejak Reformasi 1998 dan diperkuat lagi oleh situasi di era kepemimpinan SBY (2004-2014), pencitraan menjadi sesuatu yang maha penting.

Politisi dan parpol, berlomba mengejar pencitraan. Prestasi boleh jelek, tapi pers harus bisa memberitakan kehebatan. Pers dipaksa mengkonsep pencitraan, ditekan untuk berbohong. Boleh dibilang, tiada hari tanpa pencitraan.

Politisi yang menilep anggaran dalam bentuk komisi atau gratifikasi, cukup ditulis sebagai koruptor. Padahal julukan paling tepat adalah maling.

Pencitraan menjadi agenda terbuka dan diperlukan oleh semua pihak.

Pers boleh menulis apa saja, mengeritik siapa saja, melaporkan soal apa saja. Asalkan sumbuhnya tetap berpijak pada tema pencitraan.

Yang terlupakan, pencitraan yang diperankan oleh pers, telah melahirkan laporan dan liputan-liputan media yang bersifat partisan maupun transaksional.

Liputan partisan dan transasksional diperparah oleh kehadiran konglomerat yang menguasai media.

Kepemilikian media terkonsentrasi di tangan segelintir pebisnis. Karena pebisnis hanya mengejar keuntungan, para pemilik media pun tak lagi menempatkan idealisme sebagai sesuatu yang penting dalam perusahaan media.

Konglomerat media pun menempatkan profesi wartawan tak ubahnya dengan buruh harian, mingguan atau bulanan. Yang digaji pas-pasan dan mudah dipecat. Perusahaan media pun kehilangan wartawan yang tak punya idealisme.

Media yang tanpa idealisme, paling gampang membawa bangsa ini ke situasi yang terpolarisasi. Yang pada akhirnya menjerumuskan pada perdebatan antar kelompok.

Perdebatan tanpa ujung akhirnya melahirkan perpecahan, perpecahan mana boleh jadi tak akan bisa mengerem Indonesia masuk ke jurang disintegrasi. [***]

penulis adalah wartawan senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA