Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

"Tiang Negara"

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/adhie-m-massardi-5'>ADHIE M. MASSARDI</a>
OLEH: ADHIE M. MASSARDI
  • Kamis, 21 April 2016, 14:45 WIB
"Tiang Negara"
ilustrasi
PEREMPUAN adalah tiang negara, maka apabila perempuan itu baik, akan baik pula negaranya, dan apabila perempuan itu rusak, maka akan rusak pula negaranya.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Banyak yang percaya kalimat di atas adalah sabda Rasulullah saw, karena itu sering diucapkan di majelis-majelis taklim. Terutama bila di masyarakat sedang marak berita aborsi atau kasus berbau porno-aksi yang dilakukan artis perempuan. Tapi tak sedikit pula yang meragukan "perempuan adalah tiang negara" merupakan hadits (shoheh), karena memang sulit dicari rujukan gerangan perawinya.

Akan tetapi secara umum, umat Islam di Indonesia, termasuk para ulamanya, menyetujui substansi "perempuan adalah tiang negara" ini. Karena itu kita (nyaris) tidak pernah mendengar ada ulama yang mengatakan "perempuan adalah tiang negara" hadits sesat atau hadits palsu yang terlarang. Padahal menyebut "hadits" untuk sesuatu (kalimat) yang tidak pernah dilakukan (diucapkan) Nabi Muhammad saw hukumnya jelas. Setara dengan mendustakan Rasulullah saw. Wallahu a’lam.

Saya lebih suka menyebut "perempuan adalah tiang negara" sebagai adagium (pepatah/peribahasa) dalam khasanah dunia Islam (Indonesia), yang merepresentasikan pandangan Islam (Indonesia) terhadap (kaum) perempuan. Dalam komunitas sosial Islam, perempuan ditempatkan sebagai sentral budaya masyarakat dalam berbangsa dan bernegara.

Jadi "perempuan adalah tiang negara" bukan sekadar (kata) kiasan (metafora) yang hanya dipakai untuk menasehati perempuan agar kokoh menjaga etika, moral dan nilai-nilai agama. Seolah bila kaum lelaki yang melanggar etika, moral dan nilai-nilai agama, negara tidak akan terguncang. Ini cara pandang yang diskriminatif dan bias gender.

Padahal adagium ini harus dipahami secara total, sebagai kiasan dan sekaligus kenyataan, dalam pengertian yang sesungguhnya. Artinya, sebagai "tiang negara" perempuan harus benar-benar dijaga kekokohannya, secara lahir dan batin.

Secara lahir, kesehatannya harus benar-benar tejaga. Kesehatan lahir sangat tergantung pada asupan fisiknya, yang semua itu terpulang kepada kehidupan perekonomian domestik. Sebab dari rahim tubuh perempuan yang kurang gizi sulit membayangkan lahir anak-anak bangsa yang sehat dan cerdas.

Secara batin, kebutuhan pendidikan menjadi mutlak. Sebab perempuan dengan pendidikan yang pas-pasan, apalagi kurang, bagaimana mungkin bisa memberikan landasan pendidikan yang baik bagi ana-anak bangsa yang dilahirkannya?

Tapi memang, kalau melihat catatan politik nasional, kekuasaan negara selalu terguncang bila "kaum tiang negara" sudah mulai resah karena mempersoalkan biaya sekolah anak-anaknya, harga susu, minyak goreng, gula, beras, bawang, dan cabai. Negara akan lebih bergoyang-goyang lagi bila isu yang dihembuskan "kaum tiang negara" ini dibarengi dengan kelangkaan sembako seperti terjadi pada 1998.

Oleh sebab itu, konsekuensi dari adagium "perempuan adalah tiang negara" ini sebenarnya bukan terletak pada kaum perempuan an sich, melainkan justru masyarakat secara keseluruhan, dan  para penyelenggara negara sebagai yang secara sosial, ekonomi dan politik paling bertanggungjawab.

Raden Ajeng (RA) Kartini yang 21 April ini kita peringati hari kelahirannya, secara gigih berhasil memperjuangkan apa yang harus dilakukan dan dimiliki kaumnya. Tugas selanjutnya adalah benar-benar merealisasikan apa yang harus dimiliki kaum perempuan, yang masih jauh panggang dari api.

Kalau demikian besar konsekuensinya, siapa (politisi) yang masih berani mengatakan: "Perempuan adalah tiang negara"? 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA