Kritik tersebut disampaikan setelah mempelajari agenda dari KTT (Konperensi Tingkat Tinggi) Luar Biasa ini. Yaitu ingin membahas masalah penyelesaian konflik Palestina - Israel. Mengapa ? Karena OKI dan Indonesia bukanlah pihak yang mampu menyelesaikan konflik yang sudah berusia lebih dari setengah abad tersebut.
Posisi OKI dalam penyelesaian konflik tersebut sangat lemah. Sebab para anggota OKI sendiri terbelah dalam krisis tersebut. Tidak semua anggotanya benar-benar mau membantu rakyat Palestina. Tidak semua 54 negara berani menghadapi Israel.
Sementara Indonesia sebagai tuah rumah, saat ini tidak memiliki wibawa dalam percaturan politik dunia.
Dua puluh empat tahun lalu (1992) ketika Indonesia menjadi Ketua Gerakan Non-Blok dan diakui sebagai "big brother" dalam organisasi kerja sama regional ASEAN, periode itu merupakan masa jayanya Indonesia dalam percaturan politik dunia.
Namun sekarang, jangankan di Gerakan Non Blok yang didirikan oleh almarhum Soekarno dan sejumlah pemimpin Afrika, Asia dan Eropa (Yugoslavia dengan Josef Broz Tito-nya), di ASEAN saja Indonesia tidak diperhitungkan.
ASEAN yang seharusnya menjadi panggung Indonesia yang memiliki 250 juta jiwa, kini lebih dimanfaatkan oleh negara berpenduduk hanya 5 juta orang, Singapura.
Posisi Indonesia dalam percaturan politik dunia, tak lebih dari sekedar peninjau. Jauh di bawah derajat Afrika Selatan yang baru merdeka tahun 1994.
Dunia juga mengetahui, situasi dalam negeri Indonesia tidak kondusif. Artinya akuntabilitas pemerintahan Joko Widodo, tidak mencerminkan sebuah rezim yang kuat dan memililki pengaruh luas kepada rakyat yang dipimpinnya.
Hal ini antara lain dipicu oleh permusuhan terbuka di antara para Menteri dan keanehan-keanehan dalam berbagai kebijakan yang dibuat oleh para anak buah Joko Widodo sendiri.
Siapa bilang perdebatan terbuka antara Menteri Sudirman Said dan koleganya Rizal Ramli tidak sampai ke pendengaran para pemimpin di negara-negara OKI tersebut ?.
Di luar permasalahan di atas, para pemimpin OKI itu juga paham bahwa Indonesia menghadapi persoalan serius yaitu keinginan dari sejumlah elemen di Papua yang ingin memisahkan diri dari NKRI.
Sehingga sebetulnya KTT OKI ini jauh lebih tepat jika tidak mengagendakan penyelesaian konflik Israel - Palestina. Tetapi meminta semua anggota agar menentukan sikap bagaimana OKI kembali ke jalan dan posisi yang sarat dengan kekompakan dan persatuan.
Jika Indonesia ingin berperan dan didengar dunia, tak cukup dengan menggelar KTT Luar Biasa OKI seperti ini.
Indonesia sendiri perlu melakukan re-evaluasi. Bagaimana sebaiknya memperkuat posisi tawar di organisasi lintas benua, Gerakan Non Blok. Dan tidak melupakan bagaimana memfungsikan ASEAN kembali sebagai sebuah orgabnisasi kerja sama regional.
Di sadari atau tidak, diakui atau tidak, konflik Laut Tiongkok Selatan yang terus bereskalasi saat ini, sesungguhnya merupakan agenda prioritas yang perlu diajukan Indonesia untuk dibahas oleh ASEAN. Perpecahan di ASEAN tak kalah parahnya dibanding ketidak kompakan di OKI ataupun konflik Palestina-Isarel.
Sebab dengan ancaman Tiongkok, khususnya terhadap Filipina, salah satu anggota ASEAN, negara ini terpaksa lari minta bantuan ke Amerika. Filipina akhirnuya kembali mengizinkan Amerika Serikat membuka pangkalan militernya di negara itu dalam rangka menghilangkan rasa takut atas ancaman Tiongkok.
Padahal salah satu kesepakatan ASEAN di kawasan ini semua negara tidak mengizinkan adanya pangkalan militer asing.
Tindakan Filipina ini seakan menyokong atau mendukung Singapura yang sudah lebih dulu memberikan pelabuhannya sebagai tempat fasilitas perbaikan bag armada VII Amerika Serikat.
Tindakan Tiongkok yang secara terbuka membangun pangkalan militernya di dekat Natuna, Laut Tiongkok Selatan, juga otomatis mengundang Amerika Serikat untuk tidak mau ketinggalan dalam persaingan memperebutkan pengaruh di kawasan pinggir ASEAN.
Pada akhirnya ASEAN terpecah oleh konflik kepentingan luar. Dan Indonesia yang sejatinya dikenal sebagai kekuatan pemersatu di ASEAN, hanya menjadi penonton saja.
Oleh sebab itu tidak berlebihan kalau disebutkan keputusan Indonesia menjadi tuan rumah KTT OKI, sebagai sebuah kebijakan yang salah kaprah. Karena agenda yang dibahas soal penyelesaian konflik tua dan klasik.
Kalaupun di akhir KTT akan keluar sebuah komunike, dapat dipastikan komunike itu tidak akan berisi hal-hal yang fundamental.
KTT Luar Biasa OKI di Jakarta bukanlah wadah yang berwibawa yang mampu menyelesaikan konflik di Timur Tengah itu. Sebab isu Palestina - Israel selama ini selalu dihindari oleh OKI.
Lagi pula isu ini hanya bisa diselesaikan oleh kedua bangsa. Terutama setelah Palestina sendiri terbelah dalam dua kekuatan yang saling bertolak belakang. Yaitu kelompok yang ingin berunding dengan Israel dan yang tidak mau sama sekali.
Jika OKI atau Indonesia benar-benar ingin dilihat serius dengan agenda tersebut, jangan hanya pihak Palestina yang diajak bertemu dalam KTT OKI. Tapi Israel juga harus diajak. Sebaliknya menghadirkan delegasi Israel dalam KTT OKI juga sebuah kemustahilan.
Akhirnya KTT OKI ini seperti sebuah upaya agar pada tanggal 9 Maret 2016 nanti Gerhana Matahari secara penuh, tidak terjadi di wilayah Indonesia. Sebuah upaya yang penuh kemustahilan.
[***]