Mencegah Konflik Keagamaan

Menyakinkan Perbedaan Adalah Sunnatullah

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Kamis, 17 Desember 2015, 09:12 WIB
Mencegah Konflik Keagamaan
nasaruddin umar:net
DIANTARA faktor penyebab terjadinya konflik keagamaan ialah adanya ketidak relaan masing-masing kelompok menerima perbedaan. Be­sarnya semangat untuk me­lihat orang lain sekeyakinan dirinya dengan melancarkan misi dan dakwah, termasuk dengan kekerasan. Memak­sakan kekerasan atas dasar dan tujuan apap­un tidak bisa diterima akal sehat dan ajaran agama. Allah Swt sendiri menegaskan di dalam Al-Qur'an: Tidak ada paksaan untuk (memasu­ki) agama (Islam). (Q.S. al-Baqarah/2:256).

Kita perlu meyakinkan kepada segenap umat beragama bahwa perbedaan itu adalah sun­natullah (Divine order), sebagaimana ditegas­kan dalam Al-Qur'an: Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apak­ah kalian (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman se­muanya? (Q.S. Yunus/10:99). Perhatikan ayat ini menggunakan kata lau (wa lau sya’ Rab­buka), yang dalam kebiasaan Al-Qur’an jika di­gunakan kata lau, bukannya in atau idza yang memiliki arti yang sama, yaitu "jika". Kekhusu­san penggunaan lau adalah isyarat sebuah pengandaian yang tidak akan pernah mungkin terjadi atau terwujud. Kata idza mengisyaratkan makna kepastian akan terjadinya sesuatu, se­dangkan kata in mengisyaratkan kemungkinan kedua-duanya, bisa terjadi atau bisa tidak ter­jadi.

Ayat tersebut juga dipertegas potongan ayat berikutnya yang menggunakan kalimat bertan­ya (shigat istifhamiyyah): Apakah kalian (hen­dak) memaksa manusia supaya mereka menja­di orang-orang yang beriman semuanya? Dalam ilmu Balaghah, salahsatu cabang ilmu bahasa Arab, shigat istifhamiyyah tersebut menegaskan ketidakmungkinannya hal yang dipertanyakan.

Menyampaikan misi dakwah dan petunjuk adalah sebuah keniscayaan setiap orang, apal­agi tokoh agama, namun untuk menerima atau menolak petunjuk itu hak progregatif Allah Swt, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur'an: Se­sungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya. (Q.S. al-Qashash/28:56).

Banyak ayat lain yang mendukung bahwa per­bedaan dan pluralitas di dalam masyarakat sudah merupakan ketentuan Allah Swt, seperti yang din­yatakan di dalam ayat: Di dalam ayat lain Allah Swt lebih tegas menekankan bahwa perbedaan setiap umat sudah dirancang sedemikian rupa: "Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami beri­kan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Al­lah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan". (Q.S. al- Maidah/5:48). Dalam ayat lain Allah Swt member­ikan suatu pernyataan indah: "Janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang ber­lain-lain". (Q.S. Yusuf/12:67).

Kita tidak perlu mempertanyakan mengapa Allah Swt menciptakan hambanya tidak serag­am. Dalam perspektif tasawuf dijelaskan bahwa semuanya itu sesungguhnya sebagai perwuju­dan nama-nama-Nya (al-asma' al-husna') yang bermacam-macam. Setiap nama-nama terse­but menuntut pengejahwentahan di dalam rea­lis alam raya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA