MENCEGAH KONFLIK KEAGAMAAN (11)

Mencermati Jaringan Ideologi Trans Nasional

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Jumat, 11 Desember 2015, 09:07 WIB
Mencermati Jaringan Ideologi Trans Nasional
nasaruddin umar:net
SALAH satupotensi yang bisa menimbulkan konflik keagamaan ialah pengaruh kekuatan ideologi trans nasional. Yang dimaksud ideologi trans nasional dalam arti deterritorialisasi ideolo­gy Kelompok Radikal (KR). Ketika bumi makin kecil dan makin datar seperti saat ini tidak ada lagi satu negara yang kebal terhadap penetrasi ideologi luar. Sarana media yang se­makin accessible memungkinkan inseminasi ideologi GK merebak kemana-mana, apalagi Indonesia yang berada di peta geografisnya be­rada di posisi silang, diapit dua benua dan dua samudra besar, ditambah lagi dengan sistem hukum kita yang sangat terbuka (untuk tidak menyebut liberal). Interaksi ideologi lokal dan universal yang memiliki kesamaan: Ideologi kek­erasan, menantang kita sebagai warga bangsa Indonesia untuk memikirkan ulang sistem bela negara di dalam era globalisasi saat ini.

Dinamika dan mobilitas masyarakat dari satu negara ke negara lain tak terbendung lagi. Bah­kan terjadi eksodus besar-besaran umat Islam ke negera-negara non-muslim, khususnya ke negera-negara maju seperti Eropa, AS, Can­ada, Australia, dan Rusia, dianalisis secara tajam oleh dua pakar, yaitu Murad W Hofmann, mantan Direktur Informasi NATO, dalam buku­nya "Religion on the Rise, Islam in the Third Mil­lennium" dan Olivier Roy dalam bukunya "Gol­balised Islam, The Search for A New Ummah". Kedua pengamat ini melihat bahwa dampak ek­sodus yang dipicu oleh berbagai krisis, seperti krisis ekonomi dan politik, memberikan dampak hegemoni multi dimensi di negara-negara tu­juan. Tentu saja dampak tersebut ada yang positif dan ada yang negatif, termasuk dari sudut pandang mana kita melihatnya.

Ideologi trans nasional tidak gampang mem­bendungnya karena pintu-pintu masuknya banyak sekali. Kita tidak bisa melarang mereka masuk ke negeri kita jika mereka masuk menggunakan visa turis, visa student, visa diplomat, visa pelaut atau penerbang. Apalagi kalau mereka berhasil masuk melalui penyusupan di pulau-pulau kecil terluar Indonesia, yang tidak dilengkapi dengan petugas imigrasi. Belum lagi anak-anak Indonesia yang sekolah atau bekerja di Luar Negeri (LN) sudah digarap KR di sana. Tidak mungkin kita mende­teksi secara keseluruhan dan tidak mungkin juga kita menolak pulang ke negerinya sendiri. Mung­kin mereka termasuk orang yang sangat taat dan setia di tanah air di Indonesia tetapi menjadi ang­gota GK bahkan teroris di LN dengan menggu­nakan nama dan paspor lain. Tentu kasus seperti ini juga sulit terlacak. Ada beberapa contoh WNI tercatat sebagai anggota KL atau organisasi ter­larang tetapi keyika kembali di Indonesia menja­di ulama yang berpenampilan amat berwibawah. Timbul kesulitan aparat keamanan untuk menjer­atnya karena bukti materil dan formalnya tidak ditemukan.

Kita tidak mungkin melarang mereka masuk masjid untuk menunaikan shalat, tidak mung­kin juga melarangnya bercerita dengan para ja­maah di masjid dan mushallah. Terkadang mer­eka juga terlibat di dalam diskusi dan seminar. Bahkan di antara mereka sudah kawin-mawin dengan warga Indonesia dan sudah melahir­kan keturunan. Ternyata tidak sedikit jumlah­nya warga asing berdiam di kepulauan Indone­sia terdiri atas mereka yang sudah kehilangan kampung halaman di negerinya, seperti warga Palestina, Rohingya, dan Bosnia.  ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA