MENCEGAH KONFLIK KEAGAMAAN (10)

Harmonisasi Adat Dan Agama

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Kamis, 10 Desember 2015, 09:04 WIB
Harmonisasi Adat Dan Agama
nasaruddin umar:net
SALAH satu hal yang perlu dicermati di dalam masyarakat ialah pergumulan adat dan agama. Ketegan­gan konseptual antara nilai-nilai adat dan nilai-nilai agama bisa menimbulkan konflik horizontal karena keduanya pasti memiliki loyalis di da­lam masyarakat. Keserasian antara adat istiadat bisa menjadi faktor yang sangat penting di dalam merawat keutu­han bangsa. Dalam lintasan sejarah, terutama dalam era kolonialisme Belanda, sering terja­di ketegangan antara kedua sumber nilai ini. Nilai adat istiadat dinilai paling orisinal karena bersumber dari dalam diri masyarakat pribumi bangsa Indonesia. Sedangkan nilai-nilai agama sering dimunculkan sebagai nilai-nilai keunikan yang bersumber dari luar nusantara. Dalam era Orde Lama kehadiran agama-agama yang ber­sumber dari luar seperti Agama Yahudi Kato­lik, Pritestan, Khonghucu, Hindu, Budha, dan lain-lain, dianggap nilai-nilai pendatang. Kedua sumber nilai ini sering dimainkan pemerintah kolonial untuk memecah belah kekuatan bang­sa Indonesia.

Untuk mengatasi persoalan ini, tokoh-tokoh agama dan dan adat berusaha untuk memaralelkan hubungan kedua sumber nilai ini agar tidak berhadap-hadapan satu sama lain. Di se­jumlah daerah dideklarasikan pernyataan sim­bolik "Adat bersendi Syara' dan Syara' bersendi Kitabullah". Pernyataan ini ternyata efektif un­tuk menyatukan segenap warga bangsa.

Kata Adat berasal dari bahasa Arab dari akar kata 'ada-ya'udu berarti kembali, mengu­langi; kemudian membentuk kata ‘adat berarti kebiasaan positif yang berlaku di dalam suatu wilayah. Kata 'adat mirip dengan atau sering disamakan dengan kata 'urf (dari akar kata 'arafa-ya'rifu berarti mengetahui, mengenal) yang berarti tradisi yang popular di dalam suatu masyarakat. Bedanya, kalau 'adat lebih formal dan mengarah kepada norma (norm), sedang­kan 'urf lebih substantif dan mengarah kepada nilai (values). Adat istiadat atau biasa disebut dengan hukum adat, sudah merupakan lem­baga atau institusi formal yang memiliki sanksi dan reward bagi para pelanggar atau yang setia dengannya.

Kata syara' berasal dari bahasa Arab dari akar kata syara'a-yasyra'u-syar'an berarti jalan, jalan menuju mata air. Syara’ selalu dihubung­kan dengan kata syari'ah yang berisi ajaran Is­lam. Ajaran Syari’ah itu sendiri secara komper­hensif berisi unsur akidah, hukum, dan akhlak. Ajaran akidah berisi tentang tata cara keiman­an dan keprcayaan kepada Allah Swt, malaikat, kitab suci, nabi dan rasul, eskatologis (hari akh­irat, hari pembalasan), dan qadha serta qadar, yang lebih dikenal dengan rukun iman. Hukum berisi norma-norma sosial kemasyarakatan dan tata cara berhubungan dengan Allah Swt, se­bagaimana diatur di dalam Rukun Islam. Se­dangkan akhlak berisi ajaran etika dan esteti­ka antara sesame umat manusia dan sesama makhluk.

Adat bersendi syara' berarti adat kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat berdiri tegak di atas landasan syara’ atau nilai-nilai dasar Syari'ah Islam. Perlu ditegaskan kata "nilai-nilai dasar Syari'ah" yang bersifat abso­lut tetapi sekaligus bersifat universal, karena ada juga nilai-nilai "non-dasar Syari'ah" yang bersifat aksessoris (tahsiniyyah) dan temporer (waqi'iyyah). ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA