MENCEGAH KONFLIK KEAGAMAAN (8)

Deradikalisasi Makna Jihad

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Selasa, 08 Desember 2015, 09:02 WIB
Deradikalisasi Makna Jihad
nasaruddin umar:net
MAKNA jihad belum difa­hami secara konprehensif di dalam masyarakat. Jihad seringkali difahami seba­gai perjuangan yang harus melahirkan korban, kalau perlu melayangkan nyawa. Padahal, jihad sesungguh­nya sesuatu yang amat mu­lia dan luhur. Seperti diurai­kan dalam artikel terdahulu bahwa jihad berasal dari bahasa Arab dari akar kata jahada, berarti bersungguh-sungguh. Dari akar kata ini mem­bentuk tiga kata kunci, yakni jihad (perjuangan dengan fisik), ijtihad (perjuangan dengan nalar), dan mujahadah (perjuangan dengan kekuatan rohani). Ketiga kata tersebut mengantarkan manusia untuk meraih kemuliaan.

Jihad yang sebenarnya tidak pernah terpi­sah dengan ijtihad dan mujahadah. Jihad harus merupakan bagian yang tak terpisahkan den­gan kekuatan ijtihad dan mujahadah. Jihad tanpa perhitungan matang, apalagi mendatang­kan mudarat lebih besar daripada manfaat, se­sungguhnya tidak tepat disebut jihad. Boleh jadi hanya tindakan nekat yang dilegitimasi dengan ayat atau hadis atau lebih tepat disebut per­buatan sia-sia, atau bahkan keonaran (al-fas­ad). Jihad bertujuan untuk mempertahankan kehidupan manusia yang bermartabat, bukan­nya menyengsarakan apa lagi menyebabkan kematian orang-orang yang tak berdosa. Sin­erji antara jihad, ijtihad, dan mujahadah inilah yang selalu dicontohkan Rasulullah. Jihad Ra­sulullah selau berhasil dengan mengesankan. Di medan perang dan di medan perundingan ia selalu menang, disegani, dan diperhitungkan kawan dan lawan.

Jihad Rasulullah lebih mengedepankan pendekatan soft of power. Ia lebih banyak me­nyelesaikan persoalan dan tantangan den­gan pendekatan non-militeristik. Ia selalu mengedepankan cara-cara damai dan manu­siawi. Bentrok fisik selalu menjadi allternatif terakhir. Itupun sebatas pembelaan diri. Kalau terpaksa harus melalui perang fisik terbuka, Nabi selalu mengingatkan pasukannya agar tidak melakukan tiga hal, yaitu tidak membunuh anak-anak dan perempuan, tidak merusak tan­aman, dan tidak menghancurkan rumah-rumah ibadah musuh. Kalau musuh sudah angkat tan­gan, apalagi kalau sudah bersyahadat, tidak boleh lagi diganggu. Rasulullah pernah marah kepada panglima angkatan perangnya, Usa­mah, lantaran Usamah membunuh seorang musuh yang terperangkap lalu mengucapkan syahadat. Nabi bersabda: "Kita hanya menghu­kum apa yang tampak dan Allah yang menghu­kum apa yang tak tampak (akidah)". Akhlaqul karimah tidak pernah ia tinggalkan sekalipun di medan perang.

Kemuliaan jihad tak perlu diragukan. Sese­orang yang gugur di medan jihad akan langsung masuk syurga, bahkan kalau terpaksa, "tidak perlu dikafani, cukup dengan pakaian yang me­lekat di badannya, karena bagaimanapun yang bersangkutan akan langsung masuk syurga", kata Rasulullah Saw. Namun kekuatan ijtihad tidak kalah pentingnya dengan jihad secara fisik. Nabi secara arif pernah menyatakan bah­wa: "Goresan tinta pena ulama lebih mulia dari­pada percikan darah para syuhada". Demikian pula dengan kekuatan mujahadah, Nabi pernah menyatakan seusai sebuah peperangan hebat, "Kita baru saja kembali dari medan perang kecil ke medan perang yang lebih besar, yaitu mela­wan hawa nafsu". ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA