Jihad yang sebenarnya tidak pernah terpiÂsah dengan ijtihad dan mujahadah. Jihad harus merupakan bagian yang tak terpisahkan denÂgan kekuatan ijtihad dan mujahadah. Jihad tanpa perhitungan matang, apalagi mendatangÂkan mudarat lebih besar daripada manfaat, seÂsungguhnya tidak tepat disebut jihad. Boleh jadi hanya tindakan nekat yang dilegitimasi dengan ayat atau hadis atau lebih tepat disebut perÂbuatan sia-sia, atau bahkan keonaran (al-fasÂad). Jihad bertujuan untuk mempertahankan kehidupan manusia yang bermartabat, bukanÂnya menyengsarakan apa lagi menyebabkan kematian orang-orang yang tak berdosa. SinÂerji antara jihad, ijtihad, dan mujahadah inilah yang selalu dicontohkan Rasulullah. Jihad RaÂsulullah selau berhasil dengan mengesankan. Di medan perang dan di medan perundingan ia selalu menang, disegani, dan diperhitungkan kawan dan lawan.
Jihad Rasulullah lebih mengedepankan pendekatan soft of power. Ia lebih banyak meÂnyelesaikan persoalan dan tantangan denÂgan pendekatan non-militeristik. Ia selalu mengedepankan cara-cara damai dan manuÂsiawi. Bentrok fisik selalu menjadi allternatif terakhir. Itupun sebatas pembelaan diri. Kalau terpaksa harus melalui perang fisik terbuka, Nabi selalu mengingatkan pasukannya agar tidak melakukan tiga hal, yaitu tidak membunuh anak-anak dan perempuan, tidak merusak tanÂaman, dan tidak menghancurkan rumah-rumah ibadah musuh. Kalau musuh sudah angkat tanÂgan, apalagi kalau sudah bersyahadat, tidak boleh lagi diganggu. Rasulullah pernah marah kepada panglima angkatan perangnya, UsaÂmah, lantaran Usamah membunuh seorang musuh yang terperangkap lalu mengucapkan syahadat. Nabi bersabda: "Kita hanya menghuÂkum apa yang tampak dan Allah yang menghuÂkum apa yang tak tampak (akidah)". Akhlaqul karimah tidak pernah ia tinggalkan sekalipun di medan perang.
Kemuliaan jihad tak perlu diragukan. SeseÂorang yang gugur di medan jihad akan langsung masuk syurga, bahkan kalau terpaksa, "tidak perlu dikafani, cukup dengan pakaian yang meÂlekat di badannya, karena bagaimanapun yang bersangkutan akan langsung masuk syurga", kata Rasulullah Saw. Namun kekuatan ijtihad tidak kalah pentingnya dengan jihad secara fisik. Nabi secara arif pernah menyatakan bahÂwa: "Goresan tinta pena ulama lebih mulia dariÂpada percikan darah para syuhada". Demikian pula dengan kekuatan mujahadah, Nabi pernah menyatakan seusai sebuah peperangan hebat, "Kita baru saja kembali dari medan perang kecil ke medan perang yang lebih besar, yaitu melaÂwan hawa nafsu". ***