Kita perlu meyakinkan kepada segenap umat beragama bahwa perbedaan itu adalah sunnatulÂlah (Divine order), sebagaimana ditegaskan daÂlam Al-Qur'an: Dan jikalau Tuhanmu menghendaÂki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kalian (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? (Q.S. Yunus/10:99). Perhatikan ayat ini menggunakan kata lau (wa lau sya' Rabbuka), yang dalam keÂbiasaan Al-Qur'an jika digunakan kata lau, bukanÂnya in atau idza yang memiliki arti yang sama, yaitu "jika". Kekhususan penggunaan lau adaÂlah isyarat sebuah pengandaian yang tidak akan pernah mungkin terjadi atau terwujud. Kata idza mengisyaratkan makna kepastian akan terjadinya sesuatu, sedangkan kata in mengisyaratkan keÂmungkinan kedua-duanya, bisa terjadi atau bisa tidak terjadi.
Ayat tersebut juga dipertegas potongan ayat berikutnya yang menggunakan kalimat bertanÂya (shigat istifhamiyyah): Apakah kalian (henÂdak) memaksa manusia supaya mereka menÂjadi orang-orang yang beriman semuanya? Dalam ilmu Balaghah, salahsatu cabang ilmu bahasa Arab, shigat istifhamiyyah tersebut menegaskan ketidakmungkinannya hal yang dipertanyakan.
Menyampaikan misi dakwah dan petunjuk adalah sebuah keniscayaan setiap orang, apalÂagi tokoh agama, namun untuk menerima atau menolak petunjuk itu hak progregatif Allah Swt, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur'an: SeÂsungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya. (Q.S. al-Qashash/28:56).
Banyak ayat lain yang mendukung bahwa perbedaan dan pluralitas di dalam masyarakat sudah merupakan ketentuan Allah Swt, seperti yang dinyatakan di dalam ayat: Di dalam ayat lain Allah Swt lebih tegas menekankan bahwa perbedaan setiap umat sudah dirancang sedeÂmikian. ***