Hasil penelitian almarhum Prof. Hasan WaliÂnono pernah mengungkapkan bawaha kini terÂjadi pergeseran elit secara signifikan di dalam masyarakat. Tadinya elit-elit bangsawan traÂdisional dan para Kiyai atau pemimpin agama berkolaborasi menjadi figur idola dan penenÂtu di dalam masyarakat, tetapi era Orde Baru terjadi perkembangan penting, antara lain, seÂmakin melemahnya elit-elit lokal yang ditanÂdai tergesernya pengaruh elit bangsawan lokal oleh alumni perguruan tinggi, khususnya alumni Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) atau Institut Ilmu Pemerintahan (IIP). Mereka mendominasi sebagai pejabat di tingÂkat Desa/Kelurahan dan Kecamatan seluruh InÂdonesia. Sementara elit-elit Pondok Pesantren juga mulai digeser oleh alumni Perguruan TingÂgi Agama Islam (ATAIN, IAIN, dan UIN). Para penghulu tradisonal digantikan oleh para penÂghulu PNS seiring berlakunya UUNo. 1 tahun 1974 tentang Hukum Perkawinan dan sejumlah UUlainnya yang mengatur umat Islam.
Pada sisi lain, elit-elt pusat sebagai pusat kekuasaan (central power) semakin menggerus sisa-sisa kekuatan lokal melalui kebijakan pemerÂintah yang terasa sentarlistis saat itu. Akibatnya konflik horinzontal yang terjadi di daerah-daerah terkadang merupakan imbas dari masa transiÂsi perubahan sosial tersebut. Di satu sisi elit-elit lokal masih merasa memiliki kekuatan dan penÂgaruh, tetapi kebijakan peraturan dan perundang-undangan memberikan legitimasi kepada elit-elit birokrasi yang merupakan perpanjangan pemerÂintah pusat. Karena dukungan dana dan power, maka elit-elit birokrasi semakin kuat di daerah. Bahkan masyarakat pun mau tidak mau harus mengakui kebijakan dan otoritas pemerintah karÂena perangkat-perangkatnya sudah sedemikian menggurita sampai ke tingkat pedesaan.
Masalah mulai muncul ketika elit-elit lokal meÂlemah sementara terjadi pelemahan elit-elit pusat seiring dengan reformasi sosial politik yang terjadi dalam tahun 1997-1998. Konflik horizontal terjadi di mana-mana dan seolah sulit di atasi kerena elit-elit lokal sudah kehilangan wibawa sementara elit-elit pusat sudah kehilangan power. Letupan sosial terjadi di mana-mana seolah tak terkendalikan. Para Kiyai yang tadinya tokoh spiritual di dalam masyarakat sudah terlanjur kehilangan pengaruh karena harus berbagi kekuasaan dengan elit-elib agama produk birokrasi yang sedang menguaÂsai institusi formal. Para pengurus Majlis Ulama (MUI) tidak lagi didominasi alumni Pesantren tetapi didominasi oleh para sarjana alumni kamÂpus. Secara formal mereka sarjana dan memiliki kekuasaan birokrasi tetapi belum bisa menyingÂkirkan semua pengaruh ulama tradisional, karena mereka dibentuk oleh suasana batin tertentu, berÂbeda dengan suasana yang melahirkan para sarÂjana tersebut. ***