POTENSI KONFLIK KEAGAMAAN (24)

Pergeseran Elit Umat

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Jumat, 27 November 2015, 09:04 WIB
Pergeseran Elit Umat
nasaruddin umar:net
SALAH satu hal yang sering membuat dinamika bahkan menjadi konflik horizontal di dalam masyarakat ialah pergeseran elit dan suksesi kepemimpinan komunitas masyarakat. Masyarakat kita belum berpengalaman meninggalkan tampuk kepemimpinan dan ketokohan suatu organisasi dengan legowo. Yang sering terjadi pergantian pengurus atau pergeseran elit-elit sentral di dalam masyarakat diwarnai dengan gesekan-gesekan yang sesungguhnya tidak perlu terjadi.

Hasil penelitian almarhum Prof. Hasan Wali­nono pernah mengungkapkan bawaha kini ter­jadi pergeseran elit secara signifikan di dalam masyarakat. Tadinya elit-elit bangsawan tra­disional dan para Kiyai atau pemimpin agama berkolaborasi menjadi figur idola dan penen­tu di dalam masyarakat, tetapi era Orde Baru terjadi perkembangan penting, antara lain, se­makin melemahnya elit-elit lokal yang ditan­dai tergesernya pengaruh elit bangsawan lokal oleh alumni perguruan tinggi, khususnya alumni Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) atau Institut Ilmu Pemerintahan (IIP). Mereka mendominasi sebagai pejabat di ting­kat Desa/Kelurahan dan Kecamatan seluruh In­donesia. Sementara elit-elit Pondok Pesantren juga mulai digeser oleh alumni Perguruan Ting­gi Agama Islam (ATAIN, IAIN, dan UIN). Para penghulu tradisonal digantikan oleh para pen­ghulu PNS seiring berlakunya UUNo. 1 tahun 1974 tentang Hukum Perkawinan dan sejumlah UUlainnya yang mengatur umat Islam.

Pada sisi lain, elit-elt pusat sebagai pusat kekuasaan (central power) semakin menggerus sisa-sisa kekuatan lokal melalui kebijakan pemer­intah yang terasa sentarlistis saat itu. Akibatnya konflik horinzontal yang terjadi di daerah-daerah terkadang merupakan imbas dari masa transi­si perubahan sosial tersebut. Di satu sisi elit-elit lokal masih merasa memiliki kekuatan dan pen­garuh, tetapi kebijakan peraturan dan perundang-undangan memberikan legitimasi kepada elit-elit birokrasi yang merupakan perpanjangan pemer­intah pusat. Karena dukungan dana dan power, maka elit-elit birokrasi semakin kuat di daerah. Bahkan masyarakat pun mau tidak mau harus mengakui kebijakan dan otoritas pemerintah kar­ena perangkat-perangkatnya sudah sedemikian menggurita sampai ke tingkat pedesaan.

Masalah mulai muncul ketika elit-elit lokal me­lemah sementara terjadi pelemahan elit-elit pusat seiring dengan reformasi sosial politik yang terjadi dalam tahun 1997-1998. Konflik horizontal terjadi di mana-mana dan seolah sulit di atasi kerena elit-elit lokal sudah kehilangan wibawa sementara elit-elit pusat sudah kehilangan power. Letupan sosial terjadi di mana-mana seolah tak terkendalikan. Para Kiyai yang tadinya tokoh spiritual di dalam masyarakat sudah terlanjur kehilangan pengaruh karena harus berbagi kekuasaan dengan elit-elib agama produk birokrasi yang sedang mengua­sai institusi formal. Para pengurus Majlis Ulama (MUI) tidak lagi didominasi alumni Pesantren tetapi didominasi oleh para sarjana alumni kam­pus. Secara formal mereka sarjana dan memiliki kekuasaan birokrasi tetapi belum bisa menying­kirkan semua pengaruh ulama tradisional, karena mereka dibentuk oleh suasana batin tertentu, ber­beda dengan suasana yang melahirkan para sar­jana tersebut. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA