POTENSI KONFLIK KEAGAMAAN (20)

Deindonesianisasi Pemahaman Agama (2)

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Senin, 23 November 2015, 09:50 WIB
Deindonesianisasi Pemahaman Agama (2)
nasaruddin umar:net
JIKA nilai-nilai keindone­siaan dan nilai-nilai keagamaan dibiarkan tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat maka pada saat­nya akan melahirkan kete­gangan dan konflik antar sesame warga dan umat. Bagaimanapun juga, situasi seperti ini sebaiknya tidak akan pernah muncul di bumi Indonesia yang di­takdirkan bersuku-suku bangsa dan terdiri dari ribuah pulau, ditambah dengan agama dan ke­percayaan yang sedemikain banyak.

Berangkat dari kenyataan ini, maka para the founding fathers kita menahan diri untuk tidak terburu-buru menjadikan negeri ini seba­gai Negara agama (Islam) walapun Islam ada­lah agama mayoritas mutlak dianut dinegeri tercinta ini. Keluhuran niat dan kearifan sikap harus selalu menjadi contoh bagi para generasi baru bangsa ini. Para penganjur agama sejak masa Proto-Indonesia sampai kemerdekaan berhasil diraih, tokoh-tokoh bangsa ini selalu menekankan arti penting persatuan dan kes­atuan bangsanya. Mereka sangat sadar bah­wa tanpa persatuan dan kesatuan maka tidak mungkin bangsa ini terwujud seperti sekarang ini. Kehadiran bangsa Indonesia harus disyuku­ri oleh seluruh umat dan warga bangsa. Tidak mungkin kita bisa melakukan fungsi kita seba­gai hamba ('abid) dan representative Tuhan sebagai pemimpin jagat raya (khalifah) tanpa sebuah wadah (baca: Negara) yang ideal un­tuk mereka.

Kita perlu belajar dari banyak contoh yang sangat memprihatinkan, umat beragama sulit menjalankan ibadahnya yang sangat asasi itu karena negara tempat tinggalnya porak-poran­da, mereka sulit mempelajari dan mendalami kitab sucinya karena tidak memiliki lembaga pendidikan yang ideal. Mereka tidak bisa ber­mimpi menunaikan rukun Islam kelima, haji, karena yang mau dimakan saja sulit. Mere­ka tidak bisa membayar zakat karena dirinya masih termasuk mustahiq, sasaran pemberian zakat. Mereka sulit menyelenggarakan sha­lat Jum’at karena mungkin tidak punya masjid, imam atau khatib, atau mungkin karena merasa tidak aman keluar rumah, seperti yang dialami saudara-sudara kita di Timur-Tengah yang ten­gah bergolak.

Perlu dicermati oleh semua pihak bahwa munculnya fenomena lahirnya ketegangan antar aliran dan antar mazhab akhir-akhir ini menarik untuk dicermati. Ketegangan sep­erti ini dulu tidak pernah muncul karena terla­lu kuat "bungkusan" keindonesiaan yang sulit diterobos. Ketika "bungkusan" keindonesiaan ini menipis, apalagi robek, maka serta-merta kekuatan aliran dan mazhab itu mencuak ke permukaan.

Identitas keindonesiaan yang menyeman­gatinya mulai tergerus oleh uforia reformasi. Akibatnya, setiap penganut aliran dan mazhab dalam suatu agama bebas melakukan reiden­tifikasi diri. Tidak tertutup kemungkinan akan terjadi deprivasi nilai-nilai local di dalam aja­ran agama-agama besar yang kebetulan lahir di luar Indonesia. Jika itu terjadi maka bangsa ini kembali set back akan diwarnai ketegangan konseptual seperti yang pernah terjadi pada masa proto Indonesia. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA