POTENSI KONFLIK KEAGAMAAN (17)

Saling Mencurigai Antar Umat Beragama

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Jumat, 20 November 2015, 09:44 WIB
Saling Mencurigai Antar Umat Beragama
nasaruddin umar:net
SALAHSATU sumber konflik ialah sikap saling mencuri­gai satu sama lain antara sesama umat beragama. Mereka selalu berburuk sangka terhadap kelompok agama lain atau mazhab lain dari agamanya sendiri. Para penganut agama lain sering dianggap mata-ma­ta Barat, provokator, selalu memancing di air keruh, dan merek-merek sinis lainnya. Seka­lipun ada di antara mereka yang bersikap baik, tetapi belum tentu di dalam hati mereka seperti apa yang ditampilkan. Pokoknya mereka sela­lu curiga terhadap orang lain dengan berbagai macam alasan. Kelompok mayoritas khawatir akan berkurang jumlah penganut agamanya, sementara kelompok lain khawatir akan ditelan oleh kelompok mayoritas.

Di dalam membaca kitab suci masing-mas­ing selalu ada bayangan kecurigaan terhadap kelompok agama lain sehingga pemahamana­ya cenderung bias. Mereka seringkali mema­hami ayat-ayat tertentu secara sangat tekstual, melepaskannya dari sabab nuzul, dan mung­kin mereka memahaminya melalui bahasa terjemahan yang kurang pas. Salahsatu con­tohayat yang yang sering digunakan sebagai dasar ialah: Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Ses­ungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengi­kuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi men­jadi pelindung dan penolong bagimu. (Q.S. al- Baqarah [2]: 120).

Ayat ini menggunakan kata: Hatta tattabi'a millatahum yang diartikan dengan "hingga kamu mengikuti agama mereka". Padahal ayat terse­but tidak menggunakan kata: Hatta tattabi’a di­natahum, kalau diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia artinya sama. Dalam semantik ba­hasa Arab, kata din dan millah rasa bahasanya berbeda. Kata din berarti agama dalam arti sub­stansi atau inti ajaran, berisi ajaran dasar ber­sifat universal, dan inti ajaran tersebut ditemu­kan juga di dalam agama-agama lain, seperti menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, men­suppor peningkatan martabat kemanusiaan, menyerukan untuk meninggalkan hal-hal yang destruktif seperti perbuatan kriminal. Sedang­kan kata millah lebih tepat disebut dengan tra­disi keagamaan, yaitu aspek nilai-nilai lokal-kultural ikut serta "membungkus" ajaran agama itu. Dengan kata lain, kristalisasinilai-nilai sub­yektif masyarakat lokal ikut menampakkan wa­jah agama itu.

Demikian pula kelompok agama lain, tentu juga ada yang membaca kitab sucinya dengan sikap skeptis dan penuh kekhawatiran, sehingga ayat-ayat yang berbicara tentang agama lain di­fahami sebagai ancaman. Dalam kondisi seperti ini tentu tidak kondusif untuk melahirkan suasana keberagamaan yang damai. Kalaupun di depan umum bicara tentang toleransi dan persamaan tetapi di dalam hati mereka tetap ada kecurigaan. Pengalaman seperti ini tidak bisa diingkari dan bisa dimaklumi, mengingat sesuatu yang paling mendasar di dalam hati sertiap umat beragama adalah agama. Apalagi sejarah panjang setiap agama selalu mengalami pasang surut di dalam perkembangannya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA