POTENSI KONFLIK KEAGAMAAN (14)

Pendirian Rumah Ibadah (2)

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Selasa, 17 November 2015, 10:10 WIB
Pendirian Rumah Ibadah (2)
nasaruddin umar:net
POTENSI konflik horizon­tal seringkali membayangi pendirian rumah-rumah iba­dah. Bukan saja rumah-ru­mah ibadah agama minori­tas di Indonesia tetapi juga rumah ibadah agama may­oritas seperti masjid untuk umat Islam. Meskipun umat Islam mayoritas di Indone­sia tetapi ada sejumlah propinsi atau kabupat­en umat Islam menjadi minoritas, seperti umat Islam menjadi agama minoritas di Bali di tengah mayoritas Hindu dan di Propinsi Papua, Papua Barat di tengah mayoritas agama Kristen, dan NTT di tengah mayoritas Katolik. Data yang ada di kementerian agama justru lebih banyak jum­lah masjid yang dihalangi pembangunannya ketimbang rumah-rumah ibadah lain.

Untuk mengatasi munculnya gejolak warga da­lam kasus pendirian rumah ibadah, maka pemer­intah dalam hal ini Peraturan Bersama Menteri Agama dan Merteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, yang biasa disebut PBM, tentang Pe­doman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pembedayaan Forum Keru­kunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah. Kehadiran PMB ini relatif relatif nerhasil mengurangi ketegangan dan konflik antar umat beragama, karena PMB tersebut para pemimpin agama dilibatkan secara aktif pada saat perumu­sannya. Bahkan penetapannya juga ditanda tan­gani oleh para pemimpin lembaga-lembaga kea­gamaan di Indonesia.

Kehadiran PBM sejak awal dimaksudkan untuk memelihara kerukunan antar umat be­ragama. Sebuah hasil penelitian Puslitbang Ke­hidupan Keagamaan Tahun 2007 diungkapkan bahwa sosialisasi PBM tentang rumah ibadah berpengaruh terhadap pemeliharaan keruku­nan umat beragama, yaitu 17,4% dari 11 faktor yang dapat menyebabkan ketidak-rukunan.

Di antara masalah yang sering muncul di sekitar pendirian rumah ibadah ialah penggu­naan rumah tinggal sebagai tempat kebaktian bersama secara rutin tanpa izin, pembangunan rumah ibadat tanpa izin mendirikan bangunan (IMB), dan tanpa rekomendasi dari FKUB. Kes­ulitan lainnya ialah perdirian rumah ibadah bagi pemeluk agama minoritas, arogansi pemban­gun rumah ibadat yang dipaksakan kalangan minoritas tanpa prosedur sesuai PBM, tanda tangan persyaratan dukungan pendirian rumah ibadat dan surat dari pemerintah setempat yang tidak kuat. Penolakan pembangunan rumah ibadat atau pencabutan IMB oleh pemerintah daerah dengan alasan dan pertimbangan kere­sahan dan gangguan ketertiban masyarakat.

Data-data yang dikumpulkan dari hasil survey yang dilakukan pada tahun 2009, The Wahid In­stitut mencatat 21 kasus penyerangan, perusa­kan, penggerebekan rumah, bangunan, atau tempat ibadat, dan penolakan pendirian rumah ibadah. Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS) melaporkan hasil pemantauan­nya terjadi 18 kasus rumah ibadat. Sementara itu hasil pemantauan Kepolisian dalam bebera­pa tahun terakhir yang menonjol terkait dengan masalah pendirian rumah ibadat dalam bentuk pengrusakan, penyerangan dan protes dari umat beragama lainnya sejumlah 196 kasus, den­gan perincian: tempat ibadat Kristiani 142 kasus (Gereja 59 kasus, rumah tinggal yang dijadikan tempat ibadat 60 kasus, ruko dan gedung lainnya 23 kasus), tempat ibadat Islam 20 kasus, Hindu 6 kasus dan tempat ibadat lainnya 2 kasus.

Dari hasil penelitian di atas dapat disimpul­kan bahwa sebagian besar menimpa rumah ibadat Kristiani di lingkungan mayoritas umat Islam dan Hindu. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA