POTENSI KONFLIK KEAGAMAAN (13)

Pendirian Rumah Ibadah (1)

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Senin, 16 November 2015, 09:38 WIB
Pendirian Rumah Ibadah (1)
nasaruddin umar/net
PENDIRIAN rumah ibadah dalam masyarakat plural seperti Indonesia merupa­kan suatu hal yang sensitif. Meskipun rumah ibadah se­sungguhnya tempat untuk mengembalikan manusia kepada jati diri yang paling luhur dan bahkan suci. Na­mun secara sosiologis akan menimbulkan persoalan tersendiri jika tidak diatur, karena rumah ibadah bukan hanya tem­pat untuk beribadah (internum) tetapi sekaligus simbol dan pusat aktifitas kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan (ekternum) bagi pemilik rumah ibadah tersebut.

Perlu dibedakan antara 'tempat ibadah' dan 'Rumah Ibadah'. Tempat ibadah ialah tempat di mana seseorang atau kelompok bisa melaku­kan ibadah, termasuk ibadah ritual, namun konotasinya tidak dipermanenkan sebagai tem­pat ibadah formal, yang memungkinkan secara terbuka orang lain bisa mengakses tempat itu untuk beribadah. Dengan kata lain, tempat itu sejak awal tidak dimaksudkan sebagai tempat ibadah permanen untuk public. Sedangkan Ru­mah Ibadah adalah suatu tempat yang sejak awal pendiriannya dimaksudkan untuk menjadi tempat ibadah dan sekaligus pusat aktifitas so­sial keagamaan public. Tempat ibadah diban­gun tidak menggunakan atribut dan ornament keagamaan, sebagaimana layaknya sebuah Rumah Ibadah. Sedangkan Rumah Ibadah su­dah dirancang sedemikian rupa dengan meng­gunakan arsitektur yang bercorak keagamaan dengan segala atribut keunikannya. Tempat iba­dah berada di dalam wilayah internum, sedan­gkan Rumah Ibadah berada di dalam wilayah eksternum.

Dalam Penjelasan UU No. 1 PNPS Tahun 1965 disebutkan Rumah Ibadah merupakan pusat peribadatan dan sekaligus pusat kebu­dayaan yang dimiliki oleh tiap agama yang dipe­luk oleh penduduk Indonesia ialah: Islam, Kris­ten, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu. Di dalam undang-undang ini tidak disebutkan keberadaan agama lain selain keenam agama tersebut di atas. Masalah akan muncul jika ada kelompok agama selain keenam agama terse­but akan mendirikan rumah ibadah. Bukan saja persoalan pembangunan rumah ibadahnya bermasalah tetapi juga kebeadaan agamanya sendiri menjadi masalah. Sebagai contoh, se­andainya ada kelompok agama Yahudi ingin mendirikan Sinagog di Indonesia tentu akan mengahadapi masalah berlapis. Selain masalah resistensi masyarakat umum juga sistem regu­lasi di Indonesia tentu masih ada masalah. Contoh lain, jika ada kelompok sempalan dari salahsatu agama yang disebutkan di atas yang tidak mendapatkan pengakuan dari agama in­duknya akan mendirikan rumah ibadah, tentu aka nada yang mempermasalahkannya.

Pengalaman masjid-mesjid Ahmadiah di be­berapa tempat di Indonesia pernah mengalami perusakan dan pembakaran karena dianggap memperatas namakan rumah ibadah salahsatu agama yang tidak mengakuinya. Belum lagi kelompok aliran kepercayaan yang akan mem­buat rumah ibadah, tentu juga akan muncul persoalan atau akan dipersoalkan surat izinnya karena selama ini Aliran Kepercayaan berada di dalam binaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di masa lampau. Sekarang belum jelas perkembangannya setelah Kemendikbud dibelah dua menjadi Kemendikbud dan kemen­ristek dikti. Kehadiran rumah-rumah ibadah di luar fotmat peraturan dan perundang-undangan yang ada masih menyisahkan sejumlah perso­alan yang harus segera diselesaikan, karena hal itu menyangkut hak asasi manusia. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA