POTENSI KONFLIK KEAGAMAAN (10)

Kelompok Sempalan Progresif

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Jumat, 13 November 2015, 10:36 WIB
Kelompok Sempalan Progresif
nasaruddin umar/net
ISTILAH kelompok sem­palan pertama kali dipop­ulerkan oleh Gus Dur dalam era tahun 1980-an untuk kelompok masyarakat yang memisahkan diri dari ajaran agama meanstream. Kel­ompok sempalan ketika itu digunakan untuk kelompok masyarakat yang memisahkan diri atau melakukan praktek syink­retisme dengan agama atau aliran kepercayaan tertentu. Kita tidak tahu, kenapa Gus Dur memi­lih menggunakan istilah ini, bukannya menggu­nakan istilah aliran sesat atau aliran menyim­pang. Semenjak itu kelompok sempalan seolah mendapatkan angin dan lama kelamaan memi­liki keberanian untuk menampilkan diri di dalam dunia publik.

Kelompok sempalan muncul di permukaan, terutama setelah maraknya pemberitaan kasus Ahmadiyah Qadiyan, kelompok Lia Aminuddin, dan nabi palsu Mushaddeq. Pada penentuan awal Ramadlan dan awal Syawal juga selalu dimeriahkan dengan munculnya sejumlah kel­ompok tarekat yang menjalankan ibadah puasa dan Idul Fitri lebih awal mendahului kelompok meanstream muslim lainnya, seperti kelompok tarekat yang ada di Padang, Sumatera Barat dan di Gowa, Sulawesi Selatan. Akhir-akhir ini muncul juga kelompok sempalan yang berani menentang kelompok mainstream. Misalnya ada kelompok yang berani membid'ahkan se­jumlah tradisi NU, menuding kelompok liberal, dan men-syi'ah-kan orang lain.

Kelompok sempalan sebetulnya bukan wa­cana baru dalam dunia Islam. Perjalanan se­jarah dunia Islam sepertinya tidak pernah sepi dari kelompok sempalan. Tidak lama setelah Rasulullah wafat sudah muncul kelompok-kel­ompok Islam yang menyempal seperti kelom­pok khawarij, kelompok murji'ah, dan kelompok syi'ah di samping kelompok sunni. Antara satu sama lain saling mengkafirkan, bahkan saling bunuh satu sama lain.

Masa pemerintahan Dinasti Umayyah dan Abbasiyah juga tidak pernah sepi dari kelom­pok sempalan. Bahkan pernah menjadi tren ketika kelompok penguasa melakukan praktek tahkim, yaitu semacam litsus yang harus di­lakukan kepada calon-calon pejabat agar pe­merintahan bersih dari aliran yang dianggap "sesat" ketika itu. Tema penyempalan juga san­gat bervariasi. Mulai dari penyempalan bertema mazhab (fikih), aliran (teologi), sampai kepada intrik gaya dan dukungan politik.

Istilah lain yang sering digunakan anggota masyarakat tentang kelompok ini ialah kelom­pok aliran menyimpang dan atau kelompok aliran sesat. Istilah terakhir ini sering diguna­kan oleh Majlis Ulama Indonesia (MUI). Jika kelompok sempalan dialiransesatkan, maka pada saat itu konflik mulai mengancam, kar­ena meskipun anggotanya kecil tetapi kelom­pok sempalan selalu berlindung di bawah panji-panji HAM. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA