Sampai saat ini belum muncul ketegangan konsepÂtual antara institusi dan hukum agama di satu pihak dengan institusi dan hukum negara di pihak lain. KaÂlaupun muncul maka masih dapat diselesaikan "seÂcara adat" karena sumber hukum antara keduanya sama. Ditambah lagi pengalaman sejarah panjang segenap warga bangsa tanpa membedakan agama dan etnik serta-merta bergotong-royong menyelesaiÂkan persoalan bangsa, termasuk mengusir para penÂjajah. Para pelaku sejarah masih hidup dan budaya dan peradaban keindonesiaan juga masih kokoh. Dari Sabang sampai Marauke masih terhimpun di dalam wadah kesatuan NKRI, yang diikat oleh bahasa yang sama: Bahasa Indonesia.
Akan tetapi jika para pelaku sejarah sudah tiada, sementara perubahan nilai-nilai sosial-budaya semakin drastis, ditambah lagi pengarÂuh globalisasi dan informasi yang semakin genÂcar, maka tidak mustahil apa yang tabu untuk dipersoalkan di masa lampau akan lebih mudah terjadi di masa mendatang.
Isu agama adalah isu paling sensitif, jauh menÂgalahkan isu primordialisme kesukuan dan keÂdaerahan. Jika isu agama yang berbicara maka dampaknya akan sulit dibendung. Ini disebabkan karena ada motto: 'Isy kariman au muts syahidan (hidup mulia atau mati syahid). Ibarat pisau berÂmata dua, agama memiliki potensi sebagai fakÂtor pemersatu bangsa seperti yang pernah terÂjadi di masa lampau. Dengan komando Allahu akbar, atau simbol-simbol agama lainnya, penjaÂjah bisa kalang kalang kabut, sungguhpun anak-anak bangsa hanya menggunakan bambo runcÂing. Akan tetapi pengalaman lain membuktikan, agama juga bisa tampil sebagai faktor desinteÂgrasi yang amat dahsyat. Karena itu, kita semua harus hati-hati menggunakan bahasa agama.
Saat ini yang amat diperlukan ialah agama tampil sebagai faktor sentripetal, yaitu pemerÂsatu dan pemberi semangat di dalam mencapai tujuan pembangunan bangsa. Sebaliknya kita berkewajiban untuk menghindari faktor sentrifÂugal agama, dengan menekankan perbedaan ajaran antara satu agama dengan gama lainÂnya. ***