POTENSI KONFLIK KEAGAMAAN (6)

Blasphemy

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Senin, 09 November 2015, 10:22 WIB
Blasphemy
nasaruddin umar/net
BLASPHEMY menurut ba­hasa berarti penghujatan, pencemaran, penjelekan, dan pemfitnahan. Dalam bahasa populer blasphe­my sering diartikan sebagai penghinaan, penistaan, atau penodaan terhadap hal-hal yang menyangkut agama dan keyakinan seseorang atau kelompok. Penistaan atau penodaan terse­but bisa dalam bentuk kata-kata, tulisan, display gambar, karikatur, film, dan aksi karikatur. Blas­phemy oleh banyak negara termasuk pelang­garan pidana yang diancam dikenakan sanksi, karena berpotensi menimbulkan keresahan dan kerusuhan di dalam masyarakat.

Begitu pentingnya persoalan ini maka dimun­culkkan di dalam piagam International Covenant on Civil and Political Rights, kemudian diseru­kan untuk diratifikasi seluruh Negara. Indonesia termasuk salahsatu negara yang meratifikasinya menjadi UU No. 12 Tahun 2005. Salahsatu pasal penting UU ini ialah pasal 18 Ayat (1) dan (2) se­bagai berikut: (1) Setiap orang berhak atas kebe­basan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum atau tertutup, un­tuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran. (2) Tidak seorang pun boleh di­paksa sehingga mengganggu kebebasannya un­tuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.

Jauh sebelum UU No. 12 Tahun 2005 ini, Indo­nesia sudah menetapkan UU PNPS No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang menegaskan dalam pasal 1 dan 2 sebagai berikut: Setiap orang dila­rang dengan sengaja di muka umum mencerita­kan, menganjurkan atau mengusahakan dukun­gan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana meny­impang dari pokok-pokok ajaran agama itu. Ba­rang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Apabi­la pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat mem­bubarkan organisasi itu dan menyatakan organ­isasi atau aliran tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden menda­pat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.

Senada dengan UU PNPS 2965 di atas, da­lam UUD 1945 juga ditegaskan dalam Pasal 28 J pasal (2): "Dalam menjalankan hak dan kebe­basannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-un­dang dengan maksud semata-mata untuk men­jamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tun­tutan yang adil sesuai dengan pertimbangan mor­al, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis".

Dari pasal-pasal tersebut di atas dapat dis­impulkan bahwa jaminan kebebasan beragama tidak berarti seseorang dapat semaunya menya­takan pendapat dan penilaian terhadap agama dan keyakinan orang lain dengan cara mela­wan hukum, yakni dengan sengaja melakukan penistaan dan penodaan dengan cara apapun terhadap simbol-simbol agama dan keyakinan orang lain. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA