Konsekwensi pendidikan monoreligion, peÂserta didik didoktrin untuk memahami dan meyakini agamanya yang paling benar, sedang-kan agama lain tidak benar, walaupun harus diÂakui keberadaannya dan diserukan untuk berÂtoleransi satu sama lain, sebagai konsekwensi negara kita negara Pancasila, yang mengakui sejumlah agama. Doktrin monoreligion yang mengendap di dalam alam bawah sadar peÂserta didik melekat sepanjang masa. Akhirnya setiap orang berusaha untuk mempertahankÂan dengan berbagai cara untuk menyatakan agama yang dianutnyalah yang paling benar. Jika sang pengajarnya berasal dari kelompok garis keras, bisa saja mendramatisasi sedeÂmikian rupa supaya anak-anak didiknya memÂperjuangkan kebenaran Tuhan sebagaimana yang telah didoktrinkan kepadanya dan menÂdoktrinkan kebencian terhadap agama lain.
Doktrin monoreligion sebagai satu-satunya agama yang benar diwarisi turun temurun, dari generasi ke generasi. Secara implisit doktrin monoreligion diperkenalkan sebuah asumsi utama: Semua agama mempunyai misi yang baik tetapi tidak semua agama benar. Yang benar tentu saja satu-satunya agama yang teÂlah didoktrinkan ke dalam dirinya, baik di sekoÂlah maupun di dlam rumah tangga. Akibatnya ada suasana batin menganggap dirinya lebih baik, menempuh jalan paling benar, dan selain agama yang dianutnya dianggap tidak benar dan sesat. Kalau perlu ditanamkan kebencian terhadap agama lain.
Pemahaman seperti ini sangat rawan untuk diprovokasi. Konflik-konflik yang terjadi di daÂlam masyarakat sangat rentan menjadi konflik keagamaan, terutama kalau yang berkonflik itu kebetulan berbeda agama. Banyak kasus yang dianggap konflik agama di Indonesia seÂsungguhnya tidak tepat disebut konflik agama. Hanya karena kasus itu melibatkan simbol-simÂbol agama, terutama mengutip kitab suci unÂtuk membakar semangat dan mencari dukunÂgan, maka terjadilah "konflik agama" itu. Konflik agama jauh lebih dahsyat daripada konflik etnik dan primordial lainnya, sebagaimana dijelaskan di dalam artikel terdahulu.
Untuk mengatasi masalah ini sudah waktunya dilakukan pola pengajaran multireligion, dimana berbagai agama diajarkan secara komperhensif di samping agama utama yang diajarkan sesuai degan penganutnya. Misalnya selain mengajarÂkan agama Islam kepada para peserta didik yang beragama Islam, sebaiknya juga diperkenalkan ada agama lain yang memiliki titik temu (
encounÂters) dengan agama utama yang diajarkan. MeÂmang bisa dimengerti pola pengajaran multireliÂgion ini bisa menimbulkan pemahaman sinkretis atau pengaburan substansi ajaran agama utama, tetapi kalau dibuatkan sistem, kurikulum, dan siÂlabusnya dengan baik maka bisa terhindar dari kekhawatiran itu. ***