MENGENAL FIKIH KEBHINNEKAAN (65)

Bebas Dari Rezim Penguasa RJ

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Selasa, 03 November 2015, 08:37 WIB
Bebas Dari Rezim Penguasa RJ
nasaruddin umar/net
PERKEMBANGAN mazhab fikih dalam lintasan seja­rah sering dipengaruhi oleh kekuatan penguasa. Se­makin kuat pengaruh pen­guasa dan semakin lemah posisi para ulama semakin lamban perkembangan fikih. Sebaliknya semakin kurang intervensi penguasa dan semakin besar otonomi ulama, maka semakin produktif pula perkembangan fikih. Kejayaan pemikiran para ulama fikih hingga bisa mela­hirkan fikih monumental tidak lepas dari kekua­tan otonomi individual para ulama. Empat imam mazhab utama yang dikenal di dalam sejarah, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi', dan Imam Ahmad ibn Hanbal, keselu­ruhannya termasuk ulama yang tangguh, baik dari segi kapasitas keilmuan maupun dari segi kekuatan prinsip idealisme.

Sebagai orang pintar dan memiliki kekua­tan prinsip idealisme maka sudah barang tentu memiliki hubungan pasang surut dengan pen­guasa. Ada masa-masa di mana mereka bersemi dengan pemerintah tetapi ada juga masa-masa berseberangan bahkan berkonfrontasi dengan penguasa. Kasus mihnah dapat menjadi contoh, bagaimana seorang Ahmad ibn Hanbal misal­nya bisa berseberangan dengan penguasa, bah­ka pernah menjalani hukuman fisik demi untuk mempertahankan sebuah perinsip. Ulama-ula­ma yang pintar dan kokoh dalam perinsip sangat diperlukan saat ini. Apalagi kalangan ulama yang diamanti untuk menetapkan fatwa dalam berba­gai perkembangan dan produk, betul-betul diper­lukan ulama yang kokoh, khususnya bagi ulama yang memiliki kapasitas khusus sebagai anggota MUI atau pemimpin ormas.

Fikih Kebinnekaan diharapkan lahir dari produk orisinal para ulama tanpa ada intervensi dari pen­guasa atau kekuatan lain yang tidak ada relevansin­ya dengan pembinaan dan pembangunan Fikih. Da­lam era revormasi sekitar tahun 2009 sebuetulnya era paling tepat mengevaluasi secara komprehen­sif strategi pembinaan hukum fikih kita selama ini. Perlu diketahui bahwa pembinaan fikih Islam harus dianggap sebagai sesuatua yang tidak pernah sele­sai (on-going process). Setiap hari masyarakat ber­hadapan dengan persoalan kompleks dan menarik dalam berbagai sektor kehidupan manusia. Ideal­nya fikih Islam selalu hadir dengan wajah yang se­suai dengan kondisi obyektif yang terjadi di dalam masyarakat. Adalah tidak bijaksana kita menyele­saikan problem mikro masyarakat modern dengan menggunakan fikih klasik. Persoalan baru sebai­knya dihadapi pula dengan fikih yang relevan. Ba­gaimana mungkin kita bisa menyuguhkan keadilan hukum jika problem baru diselesaikan dengan pra­nata klasik.

Sekali lagi penulis menegaskan bahwa mak­sud penulis bukan untuk mengganti hukum Syari'ah yang hidup di dalam masyarakat, akan tetapi implementasi hukum Syari'ah perlu di­lakukan penyesuaian. Sebagai contoh, seorang perempuan harus didampingi oleh muhrimnya manakala mereka bepergian. Akan tetapi dalam era mobilitas masyarakat sekarang semakin berkembang, maka perlu dipertanyakan, apak­ah masih perlu setiap anak perempuan yang pergi ke sekolah atau ke kampus didampingi oleh muhrim? Contoh lain, perjalanan lebih dari dua marhalah (sekitar 40 KM), sudah diizinkan meng-qashar dan men-jama' shalat, meskip­un di dalam perjalanan betul-betul tidak ada masalah. Banyak pegawai yang tinggal di Bo­gor tetapi kerjanya di Jakarta. Sehari-hari mer­eka menggunakan kendaraan pribadi melewa­ti jalan tol, tanpa ada sama sekali masyaqqah (kesulitan) yang dialaminya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA