Sebagai orang pintar dan memiliki kekuaÂtan prinsip idealisme maka sudah barang tentu memiliki hubungan pasang surut dengan penÂguasa. Ada masa-masa di mana mereka bersemi dengan pemerintah tetapi ada juga masa-masa berseberangan bahkan berkonfrontasi dengan penguasa. Kasus mihnah dapat menjadi contoh, bagaimana seorang Ahmad ibn Hanbal misalÂnya bisa berseberangan dengan penguasa, bahÂka pernah menjalani hukuman fisik demi untuk mempertahankan sebuah perinsip. Ulama-ulaÂma yang pintar dan kokoh dalam perinsip sangat diperlukan saat ini. Apalagi kalangan ulama yang diamanti untuk menetapkan fatwa dalam berbaÂgai perkembangan dan produk, betul-betul diperÂlukan ulama yang kokoh, khususnya bagi ulama yang memiliki kapasitas khusus sebagai anggota MUI atau pemimpin ormas.
Fikih Kebinnekaan diharapkan lahir dari produk orisinal para ulama tanpa ada intervensi dari penÂguasa atau kekuatan lain yang tidak ada relevansinÂya dengan pembinaan dan pembangunan Fikih. DaÂlam era revormasi sekitar tahun 2009 sebuetulnya era paling tepat mengevaluasi secara komprehenÂsif strategi pembinaan hukum fikih kita selama ini. Perlu diketahui bahwa pembinaan fikih Islam harus dianggap sebagai sesuatua yang tidak pernah seleÂsai (on-going process). Setiap hari masyarakat berÂhadapan dengan persoalan kompleks dan menarik dalam berbagai sektor kehidupan manusia. IdealÂnya fikih Islam selalu hadir dengan wajah yang seÂsuai dengan kondisi obyektif yang terjadi di dalam masyarakat. Adalah tidak bijaksana kita menyeleÂsaikan problem mikro masyarakat modern dengan menggunakan fikih klasik. Persoalan baru sebaiÂknya dihadapi pula dengan fikih yang relevan. BaÂgaimana mungkin kita bisa menyuguhkan keadilan hukum jika problem baru diselesaikan dengan praÂnata klasik.
Sekali lagi penulis menegaskan bahwa makÂsud penulis bukan untuk mengganti hukum Syari'ah yang hidup di dalam masyarakat, akan tetapi implementasi hukum Syari'ah perlu diÂlakukan penyesuaian. Sebagai contoh, seorang perempuan harus didampingi oleh muhrimnya manakala mereka bepergian. Akan tetapi dalam era mobilitas masyarakat sekarang semakin berkembang, maka perlu dipertanyakan, apakÂah masih perlu setiap anak perempuan yang pergi ke sekolah atau ke kampus didampingi oleh muhrim? Contoh lain, perjalanan lebih dari dua marhalah (sekitar 40 KM), sudah diizinkan meng-qashar dan men-jama' shalat, meskipÂun di dalam perjalanan betul-betul tidak ada masalah. Banyak pegawai yang tinggal di BoÂgor tetapi kerjanya di Jakarta. Sehari-hari merÂeka menggunakan kendaraan pribadi melewaÂti jalan tol, tanpa ada sama sekali masyaqqah (kesulitan) yang dialaminya. ***