MENGENAL FIKIH KEBHINNEKAAN (63)

Apa Arti Sebuah Nama?

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Minggu, 01 November 2015, 08:39 WIB
Apa Arti Sebuah Nama?
nasaruddin umar/net
PERDEBATAN tentang kedudukan legalitas formal sebuab nama atau simbol keagamaan terjadi sejak awal Islam. Mestikah nama itu diprioritaskan sungguh­pun harus mengorbankan substansi? Atau mestikah substansi itu dikedepankan sekalipun belum memiliki wadah formal? Pertanyaan ini muncul semen­jak Nabi Muhammad Saw. Mungkin masih in­gat dengan artikel terdahulu dalam kolom ini dijelaskan peristiwa perjanjian Hudaibiyah, sebuah peristiwa yang menampilkan tarik me­narik antara kekuatan simbol dan kekuatan substansi. Delegasi perundingan Hudaibiyah dari pihak muslim langsung dipimpin Rasulullah dan Pasukan Kafir Quraisy dipimpin oleh Su­hail. Cerita perjanjian Hudaibiyyah ini diriwayat­kan di dalam Kitan Shahih Bukhari yang tak di­ragukan lagi keshahihannya.

Riwayatnya adalah ketika dilakukan pe­rundingan gencatan senjata antara umat Is­lam dan kaum kafir Quraisy. Sebagai pream­bul naskah perjanjian itu, Rasulullah meminta diawali dengan kata Bismillahirrahmanirrahim, tetapi ditolak oleh Suhail karena kalimat itu as­ing baginya, lalu ia mengusulkan kalimat bis­mikallahumma, kalimat yang popular di dalam masyarakat Arab ketika itu. Sebagai penutup, perjanjian itu diusulkan dengan kata: Hadza ma qadha 'alaihi Muhammad Rasulullah (perjanji­an ini ditetapkan oleh Muhammad Rasulullah). Akan tetapi Suhail kembali menolak kalimat ini dan mengusulkan kata: Hadza ma qadha 'alaihi Muhammad ibn 'Abdullah (perjanjian ini ditetap­kan oleh Muhammad putra Abdullah). Pencore­tan basmalah dan kata "Rasulullah" membuat para sahabat tersinggung dan menolak perjan­jian itu, namun Rasulullah meminta para saha­batnya untuk menyetujui naskah perjanjian itu. Konon Rasulullah mengambil alih sendiri pen­nulisan itu karena sahabat tidak ada yang tega mencoret kata Rasulullah, yang dianggapnya sebagai salah suatu perinsip dasar aqidah.

Sepintas memang perjanjian ini tidak adil dan melanggar rambu-rambu aqidah, berupa pen­coretan kalimat Rasulullah tadi, namun Rasu­lullah tetap menganggap itu batas maksimum yang dapat dilakukan, terutama untuk men­gatasi jumlah korban jiwa akibat peperangan. Rasulullah tahu apa akibat yang akan dialami umat Islam jika tidak dilakukan gencatan sen­jata. Ia juga tahu langkah-langkah lebih lanjut yang akan dilakukan. Para sahabat belum tahu apa arti kebijakan Rasulullah itu. Seandainya saja Rasulullah hanya sebagai pemimpin Arab biasa, bukan Nabi, maka sudah pasti ia tidak akan mendapat dukungan kelompoknya. Akan tetapi para sahabatnya tahu, bahwa Rasulullah di samping seorang cerdas juga ia seorang Nabi. Mungki ini pula yang menginspirasi para the Founding Father bangsa Indonesia, memi­lih mencoret beberapa kalimat dari Piagam Ja­karta demi mempertahankan keutuhan bangsa dan keutuan bangsa ketika itu jauh lebih ban­yak mendatangkan maslahat ketimbang mem­pertahankannya.

Belakangan, apa yang ditetapkan Rasulullah ternyata benar. Sekiranya para pelintas batas kaum kafir Quraisy harus ditahan di Madinah maka sudah barang tentu akan memberikan be­ban ekonomi tambahan bagi masyarakat Madi­nah yang sudah kebanjiran pengunsi dari Me­kkah. Sebaliknya kalau para pelintas batas dari Madinah ditahan di Mekkah dibiarkan, karena pa­siti mereka itu para kader dan dapat melakukan uapay politik pecah-belah di antara suku-suku yang ada di dalam masyarakat Quraish. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA