MENGENAL FIKIH KEBHINNEKAAN (62)

Deideologisasi Fikih Kebhinnekaan

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Jumat, 30 Oktober 2015, 10:18 WIB
NASARUDDIN UMAR/NET
GAGASAN Fikih Kebhin­nekaan adalah gagasan cerdas anak bangsa yang concern terhadap masa de­pan bangsa dan agamanya (Islam). Gagasan ini hen­daknya belum apa-apa ter­us dicurigai dengan berba­gai macam stigma, seperti yang muncul di dalam me­dia-media sosial. Fikih Kebhinnekaan sesung­guhnya upaya untuk menciptakan kondisi yang ideal bagi stabilitas umat Islam pada satu sisih, dan sekaligus upaya untuk mengembalikan ke­percayaan generasi baru terhadap ajaran Is­lam, terutama fikih, yang selama ini ada yang menganggapnya tidak relevan lagi untuk men­gantisipasi perkembangan umat yang sede­mikian cangguh dan modern.

Bagi para penggagas Fikih Kebhinnekaan tidak perlu juga berkecil hati, karena para pem­baharu fikih dalam lintasan sejarah memang selalu dihadapkan dengan berbagai macam tantangan. Baik dari dalam lingkungan umat Islam sendiri maupun dari luar. Dari dalam di­tuduh dengan alira leberal atau sebaliknya, dan dari luar dicurigai membangkitkan politik aliran, dengan sederet kekhawatiran, di antaranya ger­akan untuk menengok Piagam Jakarta, terkon­taminasi ideologi trans nasional, atau politisasi agama, dll.

Fikih Kebhinnekaan adalah manifestasi ke­sadaran kebangsaan yang paralel dengan ke­sadaran keagamaan. Kreasi seperti ini justru selalu dibutuhkan di dalam upaya mempertah­ankan eksistensi ajaran Islam. Matinya beber­apa agama dan kepercayaan di masa lampau karena umat dan pengikutnya terlalu menabu­kan perubahan dan reaktualisasi terhadap aja­ran agama dan kepercayaannya. Agama dan kepercayaan manapun di muka bumi ini, jika dikehendaki kelanjutan aktualisasinya diper­lukan reinterpretasi dari pokok-pokok ajaran agama dan kepercayaan tersebut. Kelanggen­gan agama-ama gan kepercayaan klasik sep­erti Hindu, Budha, Khonghucu, termasuk Yahu­di, Kristen, dan Islam, tidak bisa dihendarkan dari kecerdasan para penganutnya melakukan reaktualisasi ajaran agamanya. Bukan hanya agama, tatanan politik dan pranata sosial-bu­daya pun jika terlalu tabu terhadap reaktual­isasi akan mengalami pembusukan, dan pada akhirnya akan mengalami kemunduran dan ke­matian.

Di dalam Al-Qur'an dan hadis, banyak mem­peringatkan umatnya bahwa ajal itu bukan han­ya manusia sebagai perorangan, tetapi manusia sebagai anggota masyarakat, rezim, atau umat, juga memiliki aja. Al-Qur'an menegaskan: Likulli ummatin ajal (Setiap umat atau rezim memiliki ajal). Hadis Nabi juga mengingatkan tanda-tanda matinya umat di suatu tempat ditandai dengan pu­nahnya ulamanya. Ada qaul mengatakan punah­nya sebuah bangsa dimulai dengan mundurnya perkembangan pemikiran bangsa tersebu.

Namun perlu diingatkan bahwa pembahar­uan pemikiran, reaktualisasi, atau apapun na­manya, tidak boleh mengungkit keberadaan ajaran dasar dalam Islam. Mungkin masalahnya kemudian yang mana ajaran dasar dan yang mana ajaran non-dasar. Bagi penulis singkat saja, ajaran dasar ialah Syari'ah dan non-dasar ialah Fikih. Memperbaharui fikih tidak identik dengan memperbaharui Syari'ah. Karena itu, perlu dirumuskan yang mana ajaran Syari'ah (ajaran dasar) dan ajaran fikih (non-dasar). Ar­tikel awal dalam topik ini sudah dijelaskan. Ide­alisme minus ideologi perumusan Fikih Keb­hinnekaan sangat diperlukan bangsa ini untuk kepentingan semua. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA