Bagi para penggagas Fikih Kebhinnekaan tidak perlu juga berkecil hati, karena para pemÂbaharu fikih dalam lintasan sejarah memang selalu dihadapkan dengan berbagai macam tantangan. Baik dari dalam lingkungan umat Islam sendiri maupun dari luar. Dari dalam diÂtuduh dengan alira leberal atau sebaliknya, dan dari luar dicurigai membangkitkan politik aliran, dengan sederet kekhawatiran, di antaranya gerÂakan untuk menengok Piagam Jakarta, terkonÂtaminasi ideologi trans nasional, atau politisasi agama, dll.
Fikih Kebhinnekaan adalah manifestasi keÂsadaran kebangsaan yang paralel dengan keÂsadaran keagamaan. Kreasi seperti ini justru selalu dibutuhkan di dalam upaya mempertahÂankan eksistensi ajaran Islam. Matinya beberÂapa agama dan kepercayaan di masa lampau karena umat dan pengikutnya terlalu menabuÂkan perubahan dan reaktualisasi terhadap ajaÂran agama dan kepercayaannya. Agama dan kepercayaan manapun di muka bumi ini, jika dikehendaki kelanjutan aktualisasinya diperÂlukan reinterpretasi dari pokok-pokok ajaran agama dan kepercayaan tersebut. KelanggenÂgan agama-ama gan kepercayaan klasik sepÂerti Hindu, Budha, Khonghucu, termasuk YahuÂdi, Kristen, dan Islam, tidak bisa dihendarkan dari kecerdasan para penganutnya melakukan reaktualisasi ajaran agamanya. Bukan hanya agama, tatanan politik dan pranata sosial-buÂdaya pun jika terlalu tabu terhadap reaktualÂisasi akan mengalami pembusukan, dan pada akhirnya akan mengalami kemunduran dan keÂmatian.
Di dalam Al-Qur'an dan hadis, banyak memÂperingatkan umatnya bahwa ajal itu bukan hanÂya manusia sebagai perorangan, tetapi manusia sebagai anggota masyarakat, rezim, atau umat, juga memiliki aja. Al-Qur'an menegaskan: Likulli ummatin ajal (Setiap umat atau rezim memiliki ajal). Hadis Nabi juga mengingatkan tanda-tanda matinya umat di suatu tempat ditandai dengan puÂnahnya ulamanya. Ada qaul mengatakan punahÂnya sebuah bangsa dimulai dengan mundurnya perkembangan pemikiran bangsa tersebu.
Namun perlu diingatkan bahwa pembaharÂuan pemikiran, reaktualisasi, atau apapun naÂmanya, tidak boleh mengungkit keberadaan ajaran dasar dalam Islam. Mungkin masalahnya kemudian yang mana ajaran dasar dan yang mana ajaran non-dasar. Bagi penulis singkat saja, ajaran dasar ialah Syari'ah dan non-dasar ialah Fikih. Memperbaharui fikih tidak identik dengan memperbaharui Syari'ah. Karena itu, perlu dirumuskan yang mana ajaran Syari'ah (ajaran dasar) dan ajaran fikih (non-dasar). ArÂtikel awal dalam topik ini sudah dijelaskan. IdeÂalisme minus ideologi perumusan Fikih KebÂhinnekaan sangat diperlukan bangsa ini untuk kepentingan semua. ***