MENGENAL FIKIH KEBHINNEKAAN (61)

Konsorsium Fikih Kebhinnekaan

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Kamis, 29 Oktober 2015, 09:12 WIB
Konsorsium Fikih Kebhinnekaan
nasaruddin umar/net
TIDAK mudah melahirkan Fikih Kebhinnekaan. Para ulama sekaliber imam ma­zhab pun mencurahkan se­luruh hidupnya untuk mela­hirkan karyanya. Itupun mereka menyadari dengan bahasa tawadhu mereka, masih jauh dari kesempur­naan. Itulah sebabnya mer­eka menolak mazhabnya menjadi mazhab neg­ara. Mazhab Empat (Hanafi, Maliki, Syafi', dan Hambali) menjajadi mazhab rezim negara sete­lah mereka wafat. Mereka tidak pernah beram­bisi apalagi bangga jika karyanya dijadikan ma­zhab negara. Mungkin berbeda dengan ulama/ muslim scholar kontemporer yang bangga jika pendapatnya diakomodir oleh rezim negara. Mereka bangga dengan berbagai award.

Untuk melahirkan gagasan besar, monumen­tal, dan strategis ini maka kini sudah saatnya para pihak untuk duduk bersama membicara­kan masalaha ini. Bisa dimulai oleh pemerin­tah dalam hal ini Kementerian Agama dengan kekuatan UIN, IAIN, STAIN, dan PTAI yang ber­naung di bawah KOPERTAIS. Bisa juga dimu­lai oleh MUI yang memiliki kekuatan simpul dari lebih dari 60 Ormas Islam. Bisa juga dimulai oleh ormas-ormas lain seperti ICMI dll, untuk mengajak para pihak untuk membicarakan fikih masa depan Indonesia yang serba rumit. Mini­mal pangkalan pendaratannya sudah dibuat dan kelak akan dilanjutkan atau disempurna­kan oleh generasi baru umat yang akan datang. Mumpung saat ini masih hidup para pelaku se­jarah pembentuk karakter Indonesia, sebaiknya mereka difasilitasi untuk memberikan potensi intelektual yang mereka miliki sebagai persem­bahan terakhir bagi bangsanya.

Dengan menyadari betapa berat tugas ini maka memang diperlukan semacam konsor­siom yang melibatkan para pihak untuk meru­muskan Fikih Kebhinnekaan ini. Boleh jadi ang­gota timnya bukan hanya ahli fikih tetapi juga dari kelompok disiplin ilmu yang relevan dilibat­kan dalam upaya melahirkan kitan fikih yang lebih konperhensif. Kalau perlu di dalam konsor­sium dilibatkan juga kelompok agama lain, un­tuk mengikuti secara internal (from within) bah­wa fikih itu sesungguhnya untuk kepentingan manusia dan kemanusiaannya. Jika kita ber­bicara manusia dan kemanusiaan di situ tidak ada warna menonjor, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qyr'an: Walaqad karramna bani Adam (Allah memuliakan anak cucu Adam). Siapapun merasa anak-cucu Adam, apapun jenis kela­mun, etnik, warna kulit, kewarganegaraan, ter­masuk agamanya, wajib hukumnya untuk dim­uliakan. Baik di masa hidup maupun setelah mereka wafat.

Tanpa konsorsium rasanya sulit diwujudkan. Jika Muhammadiyah atau NU yang mendrfat­kannya belum apa-apa sudah saling menolak. Tetapi jika konsorsium tentu pendekatannya lebih obyektif. Kalau perlu yang terlibat di da­lam konsorsium itu bukan saja lintas mazhab, kepercayaan, dan aliran, instansi, tetapi juga lintas generasi. Kehadiran generasi muda yang segar dan mungkin mazhab dan aliran belum tersruktur di alam bawah sadar mereka perlu juga dilibatkan.

Mungkin gagasan ini bisa dianggap terlalu utops atau mungkin absud tetapi paling tidak penulis ingin mengingatkan kita semua bahwa konsorsium ideal di masa depan tidak akan se­baik jika konsorsium itu dibuat sekarang, kar­ena sekalilagi, masih hidup para senior dan orang tua kita yang ketulusan dan keikhlasan­nya tidak diragukan.

Tidak mudah melahirkan Fikih Kebhinnekaan. Para ulama sekaliber imam ma­zhab pun mencurahkan se­luruh hidupnya untuk mela­hirkan karyanya. Itupun mereka menyadari dengan bahasa tawadhu mereka, masih jauh dari kesempur­naan. Itulah sebabnya mer­eka menolak mazhabnya menjadi mazhab neg­ara. Mazhab Empat (Hanafi, Maliki, Syafi', dan Hambali) menjajadi mazhab rezim negara sete­lah mereka wafat. Mereka tidak pernah beram­bisi apalagi bangga jika karyanya dijadikan ma­zhab negara. Mungkin berbeda dengan ulama/ muslim scholar kontemporer yang bangga jika pendapatnya diakomodir oleh rezim negara. Mereka bangga dengan berbagai award.

Untuk melahirkan gagasan besar, monumen­tal, dan strategis ini maka kini sudah saatnya para pihak untuk duduk bersama membicara­kan masalaha ini. Bisa dimulai oleh pemerin­tah dalam hal ini Kementerian Agama dengan kekuatan UIN, IAIN, STAIN, dan PTAI yang ber­naung di bawah KOPERTAIS. Bisa juga dimu­lai oleh MUI yang memiliki kekuatan simpul dari lebih dari 60 Ormas Islam. Bisa juga dimulai oleh ormas-ormas lain seperti ICMI dll, untuk mengajak para pihak untuk membicarakan fikih masa depan Indonesia yang serba rumit. Mini­mal pangkalan pendaratannya sudah dibuat dan kelak akan dilanjutkan atau disempurna­kan oleh generasi baru umat yang akan datang. Mumpung saat ini masih hidup para pelaku se­jarah pembentuk karakter Indonesia, sebaiknya mereka difasilitasi untuk memberikan potensi intelektual yang mereka miliki sebagai persem­bahan terakhir bagi bangsanya.

Dengan menyadari betapa berat tugas ini maka memang diperlukan semacam konsor­siom yang melibatkan para pihak untuk meru­muskan Fikih Kebhinnekaan ini. Boleh jadi ang­gota timnya bukan hanya ahli fikih tetapi juga dari kelompok disiplin ilmu yang relevan dilibat­kan dalam upaya melahirkan kitan fikih yang lebih konperhensif. Kalau perlu di dalam konsor­sium dilibatkan juga kelompok agama lain, un­tuk mengikuti secara internal (from within) bah­wa fikih itu sesungguhnya untuk kepentingan manusia dan kemanusiaannya. Jika kita ber­bicara manusia dan kemanusiaan di situ tidak ada warna menonjor, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qyr'an: Walaqad karramna bani Adam (Allah memuliakan anak cucu Adam). Siapapun merasa anak-cucu Adam, apapun jenis kela­mun, etnik, warna kulit, kewarganegaraan, ter­masuk agamanya, wajib hukumnya untuk dim­uliakan. Baik di masa hidup maupun setelah mereka wafat.

Tanpa konsorsium rasanya sulit diwujudkan. Jika Muhammadiyah atau NU yang mendrfat­kannya belum apa-apa sudah saling menolak. Tetapi jika konsorsium tentu pendekatannya lebih obyektif. Kalau perlu yang terlibat di da­lam konsorsium itu bukan saja lintas mazhab, kepercayaan, dan aliran, instansi, tetapi juga lintas generasi. Kehadiran generasi muda yang segar dan mungkin mazhab dan aliran belum tersruktur di alam bawah sadar mereka perlu juga dilibatkan.

Mungkin gagasan ini bisa dianggap terlalu utops atau mungkin absud tetapi paling tidak penulis ingin mengingatkan kita semua bahwa konsorsium ideal di masa depan tidak akan se­baik jika konsorsium itu dibuat sekarang, kar­ena sekalilagi, masih hidup para senior dan orang tua kita yang ketulusan dan keikhlasan­nya tidak diragukan. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA