MENGENAL FIKIH KEBHINNEKAAN (60)

Otoritas Fikih Kebhinnekaan

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Rabu, 28 Oktober 2015, 08:13 WIB
Otoritas Fikih Kebhinnekaan
nasaruddin umar/net
OTORITAS sebuah norma hukum tidak serta merta di­terima seluruh lapisan masyarakat. Penerapan nor­ma-norma hukum di dalam Al-Qur'an membutuhkan waktu 23 tahun untuk meng­utuhkan keseluruhan ajaran dasarnya. Itu pun belum se­muanya bisa diterima di da­lam masyarakat, meskipun diproklamirkan se­bagai arjaran rahmatan lil 'alamin. Diperlukan pengertian mendalam untuk seluruh lapisan masyarakat.

Mazhab-mazhab yang dikembangkan oleh imam-imam mazhab sesungguhnya tidak per­nah membayangkan mazhabanya akan di­jadikan mazhab nasional atau regional pada masanya. Justru para khalifah yang berkuasa mendeklarisikan mazhab vavouritnya sebagi mazhab nasional atau kosmopolitan, semisal mazhab Syafi'. Dengan tawadhu para pendidi mazhab mengatakan: Inilah pendapatku, jika engkau setuju ambillah akan tetapi jika jseba­liknya jika tidak sesuai dengan harapannya maka tinggalkanlah.

Otoritas Fikih Kebhinnekaan demikian pula hal­nya. Seandainya sudah mendapatkan legitimasi di dalam bentuk perundang-undangan positif, pun tidak serta merta nilai-nilai dan norma-norma yang ada di dalamnya dapat dilaksanakan. Masih ban­yak langkah yang harus di dalakukan untuk men­erapkannya secara utuh di dalam masyarakat. Selengkap apapun sebauh sistem norma masih memerlukan pengakuan dari negara dalam hal ini perlu diakomodir di dalam sistem hukum positif kita. Banyak contoh yang sudah dilakukan, antara lain UU no.1/1074 tentang Hukum Perkawinan, yang intinya sesungguhnya berasal dari hukum fikih, khususnya fikih mazhab Syafi'i. Contoh lain tentang UU Perbankan Syari'ah yang banyak me­muat tentang fikih mu'amalat, UU Pemberdayaan Zakat yang memuat tentang fikih Zakat, UU Pem­berdayaan Waqaf yang banyak memuat tentang Perbankan Syari'ah yang merupakan pengem­bangan lebih lanjut tentang fikih mu'amalat, UU tentang Haji dan Umrah, UU Sukuk. UU Perlind­ungan anak, UU Perlindungan Saksi, dan UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), UU Perseroan Terbatas, UU Keimigrasian, dll, ses­ungguhnya banyak juga dijiwai oleh hukum fikih.

Tampilnya berbagai UU pasca Revormasi ban­yak sekali mengakomodir hukum-hukum yang hidup di dalam masyarakat (living law) atau hu­kum adat, yang notabene di Indonesia sebagai mayoritas umat Islam tentu living law mereka ada­lah fikih Islam. Jika kita menyadari politik hukum Islam di Indonesia, maka progresnya sesungguh­nya sangat strategis. Para pendiri bangsa yang juga notabene banyak beragama Islam, bahkan di antaranya ulama, tentu menyadari kebutuhan hakiki warganegara Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Mereka tidak perlu merek for­mal sebagaimana yang ada di dalam hukum fikih tetapi yang penting substansinya diramu sede­mikian rupa sehingga, di satu sisih bisa mengako­modir perinsip-perinsip hukum Islam tetapi pada sisih lain juga bisa mengakomodir kelompok lain yang berbeda. Hal ini bisa dilakukan karena bu­kankah tujuan umum sebuah hukum ialah untuk menciptakan keadilan, ketenteraman, dan keda­maian di dalam masyarakat. Fikih Islam (Syari'ah) memang sedari dulu menjadikan perinsip itu se­bagai maqashid al-syari'ah.

Jadi, semua pihak tidak perlu ada yang curiga dan khawatir bahwa wacana Fikih Kebhinnekaan itu selangkah lagi menuju Piagam Jakarta. Peng­gagas Kikih Kebhinnekaan, sesuai dengan na­manya, justru berusaha untuk menlahirkan fikih yang berperspektif keindonesiaan. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA