Mazhab-mazhab yang dikembangkan oleh imam-imam mazhab sesungguhnya tidak perÂnah membayangkan mazhabanya akan diÂjadikan mazhab nasional atau regional pada masanya. Justru para khalifah yang berkuasa mendeklarisikan mazhab vavouritnya sebagi mazhab nasional atau kosmopolitan, semisal mazhab Syafi'. Dengan tawadhu para pendidi mazhab mengatakan: Inilah pendapatku, jika engkau setuju ambillah akan tetapi jika jsebaÂliknya jika tidak sesuai dengan harapannya maka tinggalkanlah.
Otoritas Fikih Kebhinnekaan demikian pula halÂnya. Seandainya sudah mendapatkan legitimasi di dalam bentuk perundang-undangan positif, pun tidak serta merta nilai-nilai dan norma-norma yang ada di dalamnya dapat dilaksanakan. Masih banÂyak langkah yang harus di dalakukan untuk menÂerapkannya secara utuh di dalam masyarakat. Selengkap apapun sebauh sistem norma masih memerlukan pengakuan dari negara dalam hal ini perlu diakomodir di dalam sistem hukum positif kita. Banyak contoh yang sudah dilakukan, antara lain UU no.1/1074 tentang Hukum Perkawinan, yang intinya sesungguhnya berasal dari hukum fikih, khususnya fikih mazhab Syafi'i. Contoh lain tentang UU Perbankan Syari'ah yang banyak meÂmuat tentang fikih mu'amalat, UU Pemberdayaan Zakat yang memuat tentang fikih Zakat, UU PemÂberdayaan Waqaf yang banyak memuat tentang Perbankan Syari'ah yang merupakan pengemÂbangan lebih lanjut tentang fikih mu'amalat, UU tentang Haji dan Umrah, UU Sukuk. UU PerlindÂungan anak, UU Perlindungan Saksi, dan UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), UU Perseroan Terbatas, UU Keimigrasian, dll, sesÂungguhnya banyak juga dijiwai oleh hukum fikih.
Tampilnya berbagai UU pasca Revormasi banÂyak sekali mengakomodir hukum-hukum yang hidup di dalam masyarakat (living law) atau huÂkum adat, yang notabene di Indonesia sebagai mayoritas umat Islam tentu living law mereka adaÂlah fikih Islam. Jika kita menyadari politik hukum Islam di Indonesia, maka progresnya sesungguhÂnya sangat strategis. Para pendiri bangsa yang juga notabene banyak beragama Islam, bahkan di antaranya ulama, tentu menyadari kebutuhan hakiki warganegara Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Mereka tidak perlu merek forÂmal sebagaimana yang ada di dalam hukum fikih tetapi yang penting substansinya diramu sedeÂmikian rupa sehingga, di satu sisih bisa mengakoÂmodir perinsip-perinsip hukum Islam tetapi pada sisih lain juga bisa mengakomodir kelompok lain yang berbeda. Hal ini bisa dilakukan karena buÂkankah tujuan umum sebuah hukum ialah untuk menciptakan keadilan, ketenteraman, dan kedaÂmaian di dalam masyarakat. Fikih Islam (Syari'ah) memang sedari dulu menjadikan perinsip itu seÂbagai maqashid al-syari'ah.
Jadi, semua pihak tidak perlu ada yang curiga dan khawatir bahwa wacana Fikih Kebhinnekaan itu selangkah lagi menuju Piagam Jakarta. PengÂgagas Kikih Kebhinnekaan, sesuai dengan naÂmanya, justru berusaha untuk menlahirkan fikih yang berperspektif keindonesiaan. ***