Namun jika kita membaca biografi para imam mazhab, khususnya Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi', ternyata tidak sepenuhnya beÂnar. Imam Abu Hanifah yang bernama lengkap Nu'man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan at-TayÂmi, adalah imam mazhab pertama yang lahir laÂhir di Kufah, Irak dalam tahun 80 H/ 699M dan meninggal di Baghdad, Irak, tahun 148 H/767 M, adalah sosok figur yang memiliki pengalaÂman dan wawasan luas. Ia bukan hanya sebaÂgai ulama fikih tetapi ia juga memiliki keahlian dan talenta bermacam-macam. Ia dilukiskan dalam Kitab Tarikh Bagdad sebagai seorang arsitektur profesional. Dialah yang pernah disÂerahi amanah membangun benteng kota BagÂdad dan tidak tanggung-tanggung melakukan studi banding ke sejumlah negeri-negeri Eropa sampai ke Transoksania atau Ma wara’ al-Nahr yang dipopulerkan di dunia Arab. Bahkan dalam kitab lain ia disebutkan bukan ulama tetapi seÂorang tailor yang paling banyak menyedot perÂhatian orang saat itu. Ia memiliki kios terbesar di Pasar Bagdad. Sebagai seorang tailor tenÂtu saja Abu Hanifah harus mengontrol kualitas produk jahitan anak-anak buahnya. Kalau saja sembrono karyanya maka sudah barangtentu orang tidak akan tertarik menggunakan jasanÂya. Namun sebaliknya dikatakan, Abu Hanifah memiliki mobilitas sosial yang amat tinggi. Ia juga menguasai ilmu matematika dan kemamÂpuaan bahasa asing yang sangat kuat, sebaÂgaimana dapat di lihat di dalam kitab-kitab seÂjah yang membahas dirinya.
Dari segi urutan, Abu Hanifah paling senior dan paling dekat waktu kelahirannya dengan Nabi Muhammad Saw. Meskipun demikian ternyata ia adalah Imam Mazhab paling moÂbile dan paling moderat. Disebut demikian karÂena memang kenyataanya Imam Abu Hanifah sangat rasional (untuk tidak menyebut liberal). Ia pernah membenarkan bacaan shalat dalam bahasa Persia, meskipun dalam qaul jadid-nya dibatalkan kembali. Ia juga memahami kata laÂmasa (bersentuhan) dalam ayat aulamastumun nisa', yang membatalkan wudhu ialah bersenÂtuhan degan perempuan. Ia memahami kata lamasa dengan makna bersetubuh. SebanÂjang seseorang tidak bersetubuh sebagaimana layaknya suami isteri, tidak membatalkan wudÂhu. Banyak lagi pendapatnya dianggap konÂtroversi. Termasuk ia menganggap akad nikah itu sebagai kontrak sosial ('aqd al-mu'amalat), berbeda denga Imam Syafi' yang mengangÂgap akad perkawinan itu selain sebagai 'aqd al-mu'amalat juga sebagai 'aqd al-'ibadat.
Sehubungan dengan ini, David Power dan Wail Halaq mengesankan bahwa semakin dekat zaman kehidupan para ulama kepada Nabi semakin moderat mereka. Sebaliknya seÂmakin jauh mereka dari kehidupan Nabi ada keÂcenderungan semakin moderat mereka. David Power melukiskan era sahabat dan tabi'in beÂsar sebagai the proto of islamic law (masa awal hukum Islam). ***