MENGENAL FIKIH KEBHINEKAAN (59)

Figur Pendiri Mazhab: Abu Hanifah

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Selasa, 27 Oktober 2015, 09:15 WIB
Figur Pendiri Mazhab: Abu Hanifah
nasaruddin umar/net
MUNGKIN sebagian orang membayangkan para pendi­ri mazhab fikih seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi', dan Imam Ah­mad ibn Hanbal adalah ula­ma yang sangat berwibawa dengan bayangan berkon­sentrasi membaca, menu­lis, dan dibanjiri para murida dan jamaah, dengan penampilan sangat wara', tasbih panjang di tangan, dihiasi dengan jubah besar, bersandar di tempat duduk kewibawaan­nya. Anggapan seperti ini mungkin tidak terlalu salah karena ulama-ulama besar kontemporer di negara-negara muslim demikian adanya.

Namun jika kita membaca biografi para imam mazhab, khususnya Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi', ternyata tidak sepenuhnya be­nar. Imam Abu Hanifah yang bernama lengkap Nu'man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan at-Tay­mi, adalah imam mazhab pertama yang lahir la­hir di Kufah, Irak dalam tahun 80 H/ 699M dan meninggal di Baghdad, Irak, tahun 148 H/767 M, adalah sosok figur yang memiliki pengala­man dan wawasan luas. Ia bukan hanya seba­gai ulama fikih tetapi ia juga memiliki keahlian dan talenta bermacam-macam. Ia dilukiskan dalam Kitab Tarikh Bagdad sebagai seorang arsitektur profesional. Dialah yang pernah dis­erahi amanah membangun benteng kota Bag­dad dan tidak tanggung-tanggung melakukan studi banding ke sejumlah negeri-negeri Eropa sampai ke Transoksania atau Ma wara’ al-Nahr yang dipopulerkan di dunia Arab. Bahkan dalam kitab lain ia disebutkan bukan ulama tetapi se­orang tailor yang paling banyak menyedot per­hatian orang saat itu. Ia memiliki kios terbesar di Pasar Bagdad. Sebagai seorang tailor ten­tu saja Abu Hanifah harus mengontrol kualitas produk jahitan anak-anak buahnya. Kalau saja sembrono karyanya maka sudah barangtentu orang tidak akan tertarik menggunakan jasan­ya. Namun sebaliknya dikatakan, Abu Hanifah memiliki mobilitas sosial yang amat tinggi. Ia juga menguasai ilmu matematika dan kemam­puaan bahasa asing yang sangat kuat, seba­gaimana dapat di lihat di dalam kitab-kitab se­jah yang membahas dirinya.

Dari segi urutan, Abu Hanifah paling senior dan paling dekat waktu kelahirannya dengan Nabi Muhammad Saw. Meskipun demikian ternyata ia adalah Imam Mazhab paling mo­bile dan paling moderat. Disebut demikian kar­ena memang kenyataanya Imam Abu Hanifah sangat rasional (untuk tidak menyebut liberal). Ia pernah membenarkan bacaan shalat dalam bahasa Persia, meskipun dalam qaul jadid-nya dibatalkan kembali. Ia juga memahami kata la­masa (bersentuhan) dalam ayat aulamastumun nisa', yang membatalkan wudhu ialah bersen­tuhan degan perempuan. Ia memahami kata lamasa dengan makna bersetubuh. Seban­jang seseorang tidak bersetubuh sebagaimana layaknya suami isteri, tidak membatalkan wud­hu. Banyak lagi pendapatnya dianggap kon­troversi. Termasuk ia menganggap akad nikah itu sebagai kontrak sosial ('aqd al-mu'amalat), berbeda denga Imam Syafi' yang mengang­gap akad perkawinan itu selain sebagai 'aqd al-mu'amalat juga sebagai 'aqd al-'ibadat.

Sehubungan dengan ini, David Power dan Wail Halaq mengesankan bahwa semakin dekat zaman kehidupan para ulama kepada Nabi semakin moderat mereka. Sebaliknya se­makin jauh mereka dari kehidupan Nabi ada ke­cenderungan semakin moderat mereka. David Power melukiskan era sahabat dan tabi'in be­sar sebagai the proto of islamic law (masa awal hukum Islam). ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA