MENGENAL FIKIH KEBHINEKAAN (58)

Qaul Qadim dan Qaul Jadid

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Senin, 26 Oktober 2015, 09:35 WIB
Qaul Qadim dan Qaul Jadid
NASARUDDIN UMAR/NET
SALAH satu karakter men­dasar ilmu fikih ialah perubahan. Inilah yang membe­dakan Fikih dan Syari'ah. Fikih begitu gampang berubah seiring dengan perubahan konteks kehidupan masyarakat. Sedangkan Syari'ah lebih bersifat eternal dan universal. Kaedah ushul fikih merumuskan: Al-Hukm yaduru ma'a illah (hukum fikih, mengi­kuti illatnya, artinya hukum fikih mengikuti kon­teks kehidupan masyarakat. Jika kondisi obyek­tif masyarakat berubah maka hokum fikih dituntut untuk mengikutinya. Tidak bisa masyarakat dibi­arkan berkembang tanpa ketentuan yang me­mandunya. Namun perlu diingat bahwa peruba­han hokum fikih tidak identic dengan perubahan hukum Syari'ah. Hukum fikih lebih bersifat pener­apan (tathbiqi) sedangkan hukum Syari'ah lebih bersifat standar (ushuli).

Sebagai suatu contoh kasus, Imam Syafi' menetapkan persentuhan kulit laki-laki dan perempuan yang sudah lanjut ('ajuz) tidak lagi saling membatalkan wudhu. Walaupun mereka bersentuhan tetapi tidak saling membatal­kan wudhu. Imam Syafi' mengasumsikan tudak mungkin lagi laki-laki dan perempuan yang su­dah lanjut usia bisa melakukan hubungan mes­ra sebagaimana layaknya laki-laki dan perem­puan masih mudah. Akan tetapi Imam Syafi' mengubah pendapatnya setelah menyaksikan sepasang kakek dan nenek berpelukan di ping­gir kota, dengan alasan bahwa semenjak dahu­lu saling menyintai tetapi hubungan keduanya tidak pernah direstui orang tuanya, sehingga ia sering mencuri kesempatan melakukan hubun­gan mesra dengan pasangannya. Imam Syafi' memfatwakan bahwa kakek dan nenek juga tetap saling membatalkan wudhu satu sama lain. Barangkali jika Imam Syafi' menyaksikan anak-anak usia mudah di bawah umur balig (15 tahun) berpacaran, mungkin Imam Syafi' juga akan membatalkan pendapat lamanya yang mengatakan anak-anak (qabl al-bulugh) juga saling membatalkan wudhu. Pendapat lama Imam Syafi’dikenal dengan istilah qaul qadim, sedangkan pendapat barunya dikenal dengan istilah qaul jaded.

Mungkin juga seandainya para ulama yang pernah melonggarkan syarat poligami pada masanya, bisa menyaksikan dampak negatif poligami sekarang ini, akan menetapkan syarat ketat kepada poligami, atau mungkin melarang­nya dengan alasan menutup pintu kemud­haratan (sad al-zari'ah). Dapak poligami da­lam system hukum masyarakat modern sangat merugikan kaum perempuan dan anak-anak, sementara laki-laki (suami) hampir-hampir tidak menimbulkan dampak berarti, bahkan se­baliknya, menguntungkannya. Jadi, selain me­nyimpang dari asas keadilan kemanusiaan juga menimbulkan akibar negatif bagi penciptaan masa depan umat. Allahu a'lam. Ini hanya seke­dar contoh untuk membedakan antara hukum fiqhiyyah dan hukum syar'iyyah. Yang jelas, pe­rubahan qaul qadim ke qaul jadid tidak akan mempengaruhi eksistensi hukum Syari'ah.

Fikih kebhinnekaan diharapkan merumus­kan fikih yang lebih menjunjunjung tinggi asas keadilan jender, memproteksi segala kemung­kinan yang bisa menimbulkan pelemahan umat secara sistematis. Fikih kebhinnekaan diharap­kan menjadi faktor untuk mendukung lahirnya kualitas umat yang kokoh dan ideal. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA