Sebagai suatu contoh kasus, Imam Syafi' menetapkan persentuhan kulit laki-laki dan perempuan yang sudah lanjut ('ajuz) tidak lagi saling membatalkan wudhu. Walaupun mereka bersentuhan tetapi tidak saling membatalÂkan wudhu. Imam Syafi' mengasumsikan tudak mungkin lagi laki-laki dan perempuan yang suÂdah lanjut usia bisa melakukan hubungan mesÂra sebagaimana layaknya laki-laki dan peremÂpuan masih mudah. Akan tetapi Imam Syafi' mengubah pendapatnya setelah menyaksikan sepasang kakek dan nenek berpelukan di pingÂgir kota, dengan alasan bahwa semenjak dahuÂlu saling menyintai tetapi hubungan keduanya tidak pernah direstui orang tuanya, sehingga ia sering mencuri kesempatan melakukan hubunÂgan mesra dengan pasangannya. Imam Syafi' memfatwakan bahwa kakek dan nenek juga tetap saling membatalkan wudhu satu sama lain. Barangkali jika Imam Syafi' menyaksikan anak-anak usia mudah di bawah umur balig (15 tahun) berpacaran, mungkin Imam Syafi' juga akan membatalkan pendapat lamanya yang mengatakan anak-anak (qabl al-bulugh) juga saling membatalkan wudhu. Pendapat lama Imam Syafi’dikenal dengan istilah qaul qadim, sedangkan pendapat barunya dikenal dengan istilah qaul jaded.
Mungkin juga seandainya para ulama yang pernah melonggarkan syarat poligami pada masanya, bisa menyaksikan dampak negatif poligami sekarang ini, akan menetapkan syarat ketat kepada poligami, atau mungkin melarangÂnya dengan alasan menutup pintu kemudÂharatan (sad al-zari'ah). Dapak poligami daÂlam system hukum masyarakat modern sangat merugikan kaum perempuan dan anak-anak, sementara laki-laki (suami) hampir-hampir tidak menimbulkan dampak berarti, bahkan seÂbaliknya, menguntungkannya. Jadi, selain meÂnyimpang dari asas keadilan kemanusiaan juga menimbulkan akibar negatif bagi penciptaan masa depan umat. Allahu a'lam. Ini hanya sekeÂdar contoh untuk membedakan antara hukum fiqhiyyah dan hukum syar'iyyah. Yang jelas, peÂrubahan qaul qadim ke qaul jadid tidak akan mempengaruhi eksistensi hukum Syari'ah.
Fikih kebhinnekaan diharapkan merumusÂkan fikih yang lebih menjunjunjung tinggi asas keadilan jender, memproteksi segala kemungÂkinan yang bisa menimbulkan pelemahan umat secara sistematis. Fikih kebhinnekaan diharapÂkan menjadi faktor untuk mendukung lahirnya kualitas umat yang kokoh dan ideal. ***