MENGENAL FIKIH KEBHINEKAAN (55)

Mengapa Berbeda Mazhab?

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Jumat, 23 Oktober 2015, 08:02 WIB
Mengapa Berbeda Mazhab?
NASARUDDIN UMAR/NET
PERTANYAAN yang sering dilontarkan orang, mengapa kita berbeda mazhab? Bah­kan mengapa satu sama lain berkonflik? Bukankah kita mengakui hanya satu Al-Qur'an dan Hadis? Pertanyaan ini kelihatannya sederhana tetapi banyak tersimpan di benak banyak orang, khususnya mereka yang memahami Islam secara dangkal. Perbe­daan aliran lebih banyak berhubungan dengan masalah akidah dan teologi, sedangkan perbe­daan mazhab lebih banyak berhubungan den­gan masalah fikih.

Memang Al-Qur'an hanya satu dan redaksinya diakui sama di seluruh dunia Islam dari zaman dahulu sampai sekarang. Tidak ada sedikit pun penambahan atau pengurangan. Bahkan penulisannya pun tetap dipertahankan, seka­lipun beberapa di antaranya tidak lagi sesuai dengan gaya penulisan (rasm) bahasa Arab modern. Demikian pula dengan hadis, meskipun periwayatannya lebih banyak bersifat maknawi tetapi para ulama Hadis telah berhasil menetapkan kriteria pemeliharaan yang amta ketat, jauh lebih ketat dibanding dengan me­tode ilmu-ilmu sosial modern. Tingkat keadilan, muru'ah, kejujuran, dan ketaqwaan menjadi pe­nentu validitas sebuah hadis. Dengan demikian sulit sekali terjadinya pemalsuan hadis, apalagi Al-Qur'an setelah dilakukan komputerisasi.

Timbulnya perbedaan mazhab dalam Islam sangat dimungkinkan, bahkan Al-Qur’an dan hadis sendiri mengisyaratkan kemungkinan itu. Ada un­gkapan Al-Qur'an menarik untuk disimak: "Jan­ganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu, dan masuklah dari pintu-pintu yang berbe­da-beda". (Q.S. Yusuf/12:67). Dalam Hadis Nabi juga pernah dikatakan: "Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat". Al-Qur’an dan hadis mengisyaratkan perbedaan dan diversity sebagai sunnatullah dan manusiawi. Namun de­mikian Al-Qur'an dan hadis selalu mengajak un­tuk ke arah titik temu (kalimah sawa), bukan han­ya sesama umat Islam tetapi juga untuk seluruh agama dan berbagai suku bangsa.

Ada sejumlah faktor yang menyebabkan per­bedaan aliran dan mazhab itu muncul. Para ula­ma masing-masing mendasarkan pendapatnya kepada AL-Qur'an dan atau Hadis tetapi wujud mazhabnya berbeda satu sama lain. Contoh yang sering diangkat ialah masalah furu'iyyah, misalnya perkara yang membatalkan wudu. Kata lamasa (bersentuhan dengan perempuan) di dalam Q.S. al-Ma'idah/5:6, melahirkan empat mazhab. Imam Syafi’i berpendapat yang mem­batalkan wudu kalau menyentuh perempuan yang dewasa dan bukan muhrim. Meskipun berlawanan jenis dan bukan muhrim kalau masih belum dewasa tidak membatalkan wudu.

Dalam pendapat lamanya (qaul qadim), Imam Syafi'i tidak memasukkan laki-laki dan perempuan tua bangka membatalkan wudu, tetapi ketika ia pindah ke Mesir ia menjumpai sepasang kakek-nenek berpeluk mesra tan­pa diikat tali perkawinan lalu ia mengeluarkan pendapat bahwa kakek-nenek sebagai orang yang tidak membatalkan wudu.

Imam Malik berpendapat bahwa kata lamasa dalam ayat tadi berarti menyentuh dengan syahwat; sepanjang tidak ada nafsu syahwat di dalam bersentuhan dengan lawan jenis maka wudu tidak batal. Imam Abu Hanifah berpenda­pat, kata lamasa ("bersentuhan") sesungguhnyabahasa simbolik, berarti bersetubuh. Sepanjang tidak melakukan persetubuhan maka yang bersangkutan tidak batal wudunya.

Perbedaan mazhab dalam Islam sebanyak apapun dapat ditolerir sepanjang tidak keluar dari prin­sip-prinsip ajaran Islam. Sepanjang suatu mazhab tidak keluar dari koridor ini maka sepanjang itu pula tidak bisa disebut aliran sesat. Kita tidak boleh den­gan mudah menyesatkan apalagi mengkafirkan orang hanya karena mereka berbeda dengan prak­tek yang selama ini kita amalkan. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA