Terlebih Khalifah Umar, banyak sekali meneÂtapkan hukum yang dapat dikategorikan kontroÂversi. Ia menginstruksikan kepada para penegak hukum agar para pencuru tidak dieksekusi ke daÂlam bentuk pemotongan tangan, karena kondisi saat itu sedang masa paceklik. Padahal nash-nya tegas di dalam Al-Qur’an dan Nabi pernah mencontohkannya. Umar khawatir nanti banyak orang yang kehilangan tangan, sementara tujuan hukum Islam bukan untuk memuntungkan tangan orang, melainkan untuk menciptakan keadilan di dalam masyarakat dan pelakunya jera untuk mengulangi perbuatannya.
Dalam kasus lain, Khalifah Umar melarang untuk mengekstradisi perempuan yang melakuÂkan zina, meskipun hal itu pernah dicontohkan Nabi semasa hidupnya. Alasan Umar, jika para pelaku zina dieksradisi ke luar negeri dikhawaÂtikan mereka membocorkan rahasia negara dan strategi yang akan dijalankan umat Islam di dalam menjalankan misi ajaran agamanya. Banyak lagi hal yang kontroversi yang pernah dilakukan Umar, sebagaimana dapat dilihat di dalam kitab Fiqh Umar.
Kredibilitas Khalifah Umar tentu tidak perlu dikhawatirkan, karena ia sahabat setia Nabi, bahÂkan salahseorang yang dijamin Nabi untuk masuk ke dalam surga. Ijtihad Umar adalah sebuah isyarat bahwa hukum fikih Islam dimunkinkan untuk diberlakukan secara kondisional. Artinya, ketetapan hukum sebagaimana disebutkan daÂlam Al-Qur'an dan hadis dimungkinkan untuk dianalisa lebih mendalam. Kalau hasil analisa mendalam yang dilakukan oleh para ulama yang credible apalagi dengan melalui institusinya, misÂalnya Majlis Ulama Indonesia (MUI), memutusÂkan keputusan lain tidak persis sama dengan yang ditekstualisasikan di dalam Al-Qur'an dan hadis, maka hal itu dapat dipandang wajar. PerÂtimbangannya, sudah barangtentu para ulama yang terggabung di dalam Komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) akan bersekutu melakuÂkan pelanggaran atau penyimpangan dalil.
Tentu bukan hanya Abu Bakar dan Umar yang mengembangkan ijtihadnya di dalam menetapÂkan hukum di dalam mengatasi berbagai kaÂsus. Para sahabat lain juga melakukan hal yang sama. Khalifah Utsman dan Khalifa Ali juga telah melakukan beberapa kebijakan yang secara teÂgas tidak ada dasarnya di dalam Al-Qur'an dan hadis tetapi mereka yakin berpegang kepada spirit kedua sumber hukum utama tersebut.
Perlu ditegaskan di sini bahwa kita perlu ekÂstra hati-hati memperatasnamakan sebuah ayat atau hadis tetapi sesungguhnya lebih merÂupakan analisis pribadi kita yang amat subyekÂtif. Berbeda pendapat adalah hal warga bangsa dan setiap umat tetapi kalau nyta-nyata keputuÂsan MUI atau lembaga yang legitimed mengkaji sebuah kasus menetapkan pendapatnya, maka hal itu dimungkinkan untuk dipertimbangkan. ***