MENGENAL FIKIH KEBHINNEKAAN (49)

Konsentrasi Fikih: Taqlid

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Jumat, 16 Oktober 2015, 08:35 WIB
Konsentrasi Fikih: Taqlid
nasaruddin umar/net
TALFIQ ialah melakukan penggabungan dua mad­zhab atau lebih untuk mem­peroleh kemudahan syari'ah (tatabbu' al-rukhash). Berb­agai pandangan ulama ten­tang Talfiq. Pada umumnya ulama, termasuk dari kalan­gan Syafi'iyah tidak membe­narkan praktek talfiq dengan berbagai alasan. Sedangkan kelompok minori­tas ulama ada yang membenarkannya dengan alasan tertentu. Contoh praktek talfiq, sese­orang yang melaksanakan wudhu menurut cara imam Syafi' dengan mungusap hanya bagian kecil dari kepala. Ia tidak mengikuti pendap­at Imam Malik yang menganjurkan mengusap keseluruhan kepala. Perkara membatalkan wudhu mengikuti pendapat Imam Abu Hanifah, yang mengatakan sepanjang tidak melakukan hubungan suami isteri tidak membatalkan wud­hu. Berbeda sedikit dengan Imam Malik yang mengatakan sekalipun tidak berhubungan sua­mi isteri tetapi jika sengaja menyentuh lawan jenis dengan motivasi syahwat maka itu mem­batalkan wudhu. Sedangkan Imam Syafi’ meny­entuh perempuan yang bukan muhrim (ajnabi­yah) membatalkan wudhu.

Bagi Imam Syafi' hukum Islam atau Syari'ah adalah ajaran yang mudah dan manusiawi tetapi tidak untuk dimudah-mdahkan. Memang dikenal ada konsep kemudahan 'adzimah dan rukhshah (akan dibahas tersendiri) tetapi tidak dimaksud­kan untuk memanjakan umat atau main-main (tala'ub). Atas dasar ini maka sebenarnya laran­gan talfiq bukan untuk mengekang kebebasan umat atau menggiring fanatisme mazhab, tetapi semata-mata untuk menegakkan konsistensi penegakan Syari’ah. Mengamalkan kombina­si mazhab dalam keadaan tertentu dapat dibe­narkan, misanya ketika kita berada di depan ka’bah yang berdesak-desakan antara laki-laki dan perempuan. Persentuhan kulit laki-laki dan perempuan di sana sulit dihindari. Jika kita men­ganut mazhab Syafi' sudah pasti menimbulkan mudharat, karena di sana tempat wudhu jauh dan mengaksesnya sulit, akhirnya kita terpaksa mengikuti pendapat mazhab Maliki atau Hanafi, terus saja kita melanjutkan thawaf, sa'yi, dan sha­lat, sekalipun pernah bersentuhan dengan la­wan jenis ajnabiyah. Akan tetapi setelah kembali ke Indonesia, sebaiknya kembali kepada keyaki­nan lama yang selama ini dipraktekkan, yaitu jika bersentuhan dengan lawan jenis maka kita harus berwudhu.

Jika seseorang ingin pindah mazhab tidak ada larangan. Yang penting seseorang harus konsis­ten. Jika ingin mengikuti pendapat mazhab Malik, suami-isteri yang bersentuhan tidak membatal­kan wudhu maka seharusnya yang bersangku­tan juga mengamalkan cara berwudhu mazhab Malik yang membasuh keseluruhan kepala, tidak hanya sebagian sebagaimana pendapatnya Imam Syafi'. Mungkin ada yang berkeyakinan bahwa talfiq adalah bagian yang tak terpisah­kan dari kemudahan ajaran Islam. Memang ada orang berpendapat jika di kalangan ulama mum­puni berbeda pendapat maka orang awam bisa memilih pendapat salahseorang di antaranya. Yang penting sesungguhnya dalam hal ini tidak memilih pendapat yang gampang diamalkan den­gan dasar pertimbangan mencari yang enak-enak (tatabbu' al-rukhash).

Dalam kondisi masyarakat yang sangat ting­gi mobilitas sosialnya, keberadaan talfiq tidak perlu terlalu dipermasalahkan. Untuk kalangan masyarakat tertentu, lebih baik bertalfiq dari pada mereka meninggalkan ajaran Islam. Kita perlu mengingat kaedah ushul: Mala yudriku kulluh la tudriku kulluh (apa yang tidak bisa dicapai secara keseluruhan jangan ditinggalkan semuanya). ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA