MENGENAL FIKIH KEBHINNEKAAN (48)

Konsentrasi Dalam Fikih: Taqlid

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Kamis, 15 Oktober 2015, 09:26 WIB
Konsentrasi Dalam Fikih: Taqlid
nasaruddin umar/net
TAQLID biasa diartikan den­gan mengikuti pendapat orang lain tanpa mengerti dasar dan alasan pertimbangannya di dalam suatu per­soalan. Taqlid bisa negatif jika orang yang diikuti itu orang yang tidak dikenal memiliki keahlian dibidang fikih, apalagi jika ikutannya tidak memberikan alasan yang bersumber dari dalil yang jelas. Istilah "taqlid buta" sering dialamat­kan kepada orang yang fanatik mengikuti penda­pat seseorang yang tidak memiliki wawasan mendalam tentang fikih. Namun taqlid tidak se­lamanya berkonotasi negatif. Pengertian taqlid yang berkonotasi positif ialah mengikuti panda­pat orang lain yang dianggap memiliki pengeta­huan fikih yang mumpuni di dalam masyarakat. Meskipun ulama yang diikuti itu tidak memberikan dasar pertimbangannya dari ayat dan hadis tetapi kewibawaan ulama itu meyakinkannya untuk ber­taqlid kepadanya. Contohnya, masyarakat pede­saan banyak bertaqlid terhadap kiyai, khususnya yang memiliki pondok pesantren atau duduk se­bagai pengurus oramas Islam. Ulama itu diper­caya betul tentang hukum fikih tanpa mengkritisi pendapatnya.

Dalam lintasan sejarah perkembangan taqlid memiliki beberapa kecenderungan. Pertama, taqlid yang semata-mata mengikuti pendapat leluhurnya tanpa mengetahui dari mana asal usulnya pendapat itu dan tanpa mempertimbangkan apakah pendapat itu sesuai atau tidak sesuai dengan Al-Qur'an dan Hadis. Taqlid ini riskan bermasalah dan sebaiknya ditinggalkan. Orang-orang yang mengamalkan pendapat ini biasa disebut bertaqlid buta.

Kedua, orang-orang yang bertaqlid kepada orang yang dipercaya sebagai tokoh masyarakat, tanpa membedakan kualifikasi ketokohan orang tersebut. Yang dia tahu ia seorang tokoh mus­lim yang diikuti banyak oang. Dalam era seper­ti sekarang taqlid seperti ini sebaiknya dihindari. Kita bisa dengan mudah mengases tokoh-tokoh ulama mumpuni melalui berbagai media saat ini.

Ketiga, taqlid yang dilakukan kepada orang yang dikenal sebagai ulama yang professional yang arif. Kearifannya dikenal melalui publikasi media yang meyakinkan bahwa ia seorang tokoh yang layak utntuk diikuti. Ia jiga secara terbuka memublikasikan karya dan prestasi intelektualnya di dalam masyarakat, sehingga orang yakin bah­wa memang pantas menjadi tokoh panutan. Taqlid seperti ini dapat dibenarkan, terutama di dalam menjawab berbagai persoalan baru yang berkembang di dalam masyarakat. Bertaqlid ke­pada orang yang seperti ini dimungkinkan, meng­ingat terbatasnya waktu bagi banyak orang untuk melakukan pendalaman soal-soal agama ber­hubung karena mereka sudah professional di bi­dang lain. Jika ia menyadari dirinya tidak bakalan mungkin menjadi ahli di dalam masalah agama lebih baginya bertaqlid kepada ulama yang alim ketimbang ia mengikuti pendapat pribadinya yang amat terbatas dalam bidang agama.

Dalam era sekarang tidak mungkin semua orang menjadi ahli ijtihad untuk membebaskan diri dari predikat muqallid (pengikut pendapat ulama). Bahkan dalam hal-hal tertentu sese­orang wajib bertqlid kepada ulama jika ia mera­sa betul-betul awam terhadap suatu persoalan. Di Indonesia, umumnya pemimpin umat mem­benarkan taqlid bagi orang-orang yang memi­liki kesibukan tinggi dan betul-betul tidak punya waktu untuk mengkritisi ajaran atau mazhab yang diikutinya. Yang penting mereka yakin terhadap seorang tokoh karena sudah ada le­gitimasi sosial yang telah memberi pengakuan, dan yag tak kala pentingnya yang bersangku­tan bersedia pendapat-pendapatnya diikuti oleh orang banyak. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA