Dalam lintasan sejarah perkembangan taqlid memiliki beberapa kecenderungan. Pertama, taqlid yang semata-mata mengikuti pendapat leluhurnya tanpa mengetahui dari mana asal usulnya pendapat itu dan tanpa mempertimbangkan apakah pendapat itu sesuai atau tidak sesuai dengan Al-Qur'an dan Hadis. Taqlid ini riskan bermasalah dan sebaiknya ditinggalkan. Orang-orang yang mengamalkan pendapat ini biasa disebut bertaqlid buta.
Kedua, orang-orang yang bertaqlid kepada orang yang dipercaya sebagai tokoh masyarakat, tanpa membedakan kualifikasi ketokohan orang tersebut. Yang dia tahu ia seorang tokoh musÂlim yang diikuti banyak oang. Dalam era seperÂti sekarang taqlid seperti ini sebaiknya dihindari. Kita bisa dengan mudah mengases tokoh-tokoh ulama mumpuni melalui berbagai media saat ini.
Ketiga, taqlid yang dilakukan kepada orang yang dikenal sebagai ulama yang professional yang arif. Kearifannya dikenal melalui publikasi media yang meyakinkan bahwa ia seorang tokoh yang layak utntuk diikuti. Ia jiga secara terbuka memublikasikan karya dan prestasi intelektualnya di dalam masyarakat, sehingga orang yakin bahÂwa memang pantas menjadi tokoh panutan. Taqlid seperti ini dapat dibenarkan, terutama di dalam menjawab berbagai persoalan baru yang berkembang di dalam masyarakat. Bertaqlid keÂpada orang yang seperti ini dimungkinkan, mengÂingat terbatasnya waktu bagi banyak orang untuk melakukan pendalaman soal-soal agama berÂhubung karena mereka sudah professional di biÂdang lain. Jika ia menyadari dirinya tidak bakalan mungkin menjadi ahli di dalam masalah agama lebih baginya bertaqlid kepada ulama yang alim ketimbang ia mengikuti pendapat pribadinya yang amat terbatas dalam bidang agama.
Dalam era sekarang tidak mungkin semua orang menjadi ahli ijtihad untuk membebaskan diri dari predikat muqallid (pengikut pendapat ulama). Bahkan dalam hal-hal tertentu seseÂorang wajib bertqlid kepada ulama jika ia meraÂsa betul-betul awam terhadap suatu persoalan. Di Indonesia, umumnya pemimpin umat memÂbenarkan taqlid bagi orang-orang yang memiÂliki kesibukan tinggi dan betul-betul tidak punya waktu untuk mengkritisi ajaran atau mazhab yang diikutinya. Yang penting mereka yakin terhadap seorang tokoh karena sudah ada leÂgitimasi sosial yang telah memberi pengakuan, dan yag tak kala pentingnya yang bersangkuÂtan bersedia pendapat-pendapatnya diikuti oleh orang banyak. ***