Di antara nama yang sering dirujuk ketika membicarakan aliran maqashid ini ialah Abu Ishaq Al-Syathibi (W.790H) dengan buku monÂumentalnya: Al-Muwafaqatfi Ushul al-Syari’ah (4 jilid versi editing Dr. Abdullah Darraz). Dalam kitabnya ia memperkenalkan konsep Maqashid al-Syari'ah yang initinya memperkenalkan setÂiap persoalan yang muncur diukur berdasarkan apa yang menjadi tujuan umum Syari'ah. Jika ulama salam memperkenalkan kaedah: "Yang dijadikan pegangan ialah keumuman lafaz, bukan kekhususan sebab" (al-‘ibrah bi 'umum al-lafz, la bi khushush al-sabab) atau kaedah sebaliknya: "Yang dijadikan pegangan ialah kekhususan sebab, bukan keumuman lafaz" (al-'ibrah bi khushus al-sabab, la bi 'umum al-lafz), maka Al-Syathibi mempperkenalkan kaeÂdah: "Yang dijadikan pegangan ialah apa yang paling sesuai dengan tujuan Syari'ah" (al-'ibrah bi maqashid al-syari'ah).
Kelompok ini berani melakukan ta'wil terhadap sejumlah ayat hukum demi untuk mendapatkan kepastian dan keadilan hukum yang sesuai denÂgan nurani kecenderungan umum masyarakat. Misalnya, di dalam memahami ayat: Al-sariq wa al-sariqah faqtha'u aidiya huma (Pencuri laki-laki dan perempuan potonglah kedua tangannya). Ia memahami ulang ayat itu dengan: Pencuri laki-laki dan perempuan lumpuhkanlah kekuatannya untuk mencuri. Kata qath’ tidak diartikan memoÂtong tetapi melumpuhkan, dan kata yad tidak diarÂtikan tangan tetapi kekuasaan. Dengan demikian, mengurung para penncuri sekian lama di Pulau Nusa Kambangan lebih dekat kepada esensi tuÂjuan Syari'ah untuk menciptakan keadilan dan rasa aman, ketimbang memuntungkan tangan pencuri terus dilepas.
Contoh lain, Sayyidina Umar pernah mengÂganti hukum potong tangan dengan penjaÂra bagi para pencuri pada saat negara dalam masa paceklik. Umar juga pernah membatalkan eksradisi seorang perempuan nakal ke negÂeri lain lalu diganti kurungan di dalam negeri, dengan alasan, jika perepuan itu diekstradisi ke negeri asing, apalagi negeri musuh, dikhawatÂirkan ia akan membocorkan rahasia, kekuatan dan kelemahan negara. Jika tujuan hukum dapÂat dicapai dengan cost lebih murah kenapa harÂus memilih cost yang lebih mahal? Ada kecendÂerungan, pembaharu fikih Islam kontemporer menggunakan logika seperti ini. Allahu A'lam. ***