MENGENAL FIKIH KEBHINNEKAAN (46)

Aliran Maqashid

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Senin, 12 Oktober 2015, 11:13 WIB
Aliran Maqashid
nasaruddin umar/net
ALIRAN Maqashid dalam tu­lisan ini dimaksudkan seba­gai kelompok yang mengem­bangkan ilmu fikih dengan mengedepankan tujuan es­ensi Syari'ah (al-maqashid al-syari'ah) sebagai dasar penetapan hukum. Aliran ini berani menggunakan akal di dalam memahami ayat dan hadis lalu menetapkan hukum. Pertimbangan utama kelompok ini bukan berhenti pada wa­cana teks kebahasaan tetapi lebih mengacu kepada apa yang sesungguhnya yang menjadi tujuan akhir (final goal) dalam sebuah teks. Kel­ompok yang tergabung di dalam aliran ini um­umnya mereka tidak begitu peduli klaim orang terhadapnya. Apakah mereka akan diklaim sunny, syi'ah, moderat, bahkan liberal, tidak ada urusan baginya. Mereka sangat yakin pada dirinya sendiri bahwa dengan merujuk kepada maqashid al-syari'ah berarti mereka melakukan sesuatu yang besar. Bukan hanya mengangkat rasa percaya diri umat dengan mendekatkan antara nilai-nilai luhur ajaran dengan lingkun­gan pacu kehidupan. Semakin jauh berjarak antara agama dan penganutnya bisa diartikan semakin jauh hamba dari Tuhannya.

Di antara nama yang sering dirujuk ketika membicarakan aliran maqashid ini ialah Abu Ishaq Al-Syathibi (W.790H) dengan buku mon­umentalnya: Al-Muwafaqatfi Ushul al-Syari’ah (4 jilid versi editing Dr. Abdullah Darraz). Dalam kitabnya ia memperkenalkan konsep Maqashid al-Syari'ah yang initinya memperkenalkan set­iap persoalan yang muncur diukur berdasarkan apa yang menjadi tujuan umum Syari'ah. Jika ulama salam memperkenalkan kaedah: "Yang dijadikan pegangan ialah keumuman lafaz, bukan kekhususan sebab" (al-‘ibrah bi 'umum al-lafz, la bi khushush al-sabab) atau kaedah sebaliknya: "Yang dijadikan pegangan ialah kekhususan sebab, bukan keumuman lafaz" (al-'ibrah bi khushus al-sabab, la bi 'umum al-lafz), maka Al-Syathibi mempperkenalkan kae­dah: "Yang dijadikan pegangan ialah apa yang paling sesuai dengan tujuan Syari'ah" (al-'ibrah bi maqashid al-syari'ah).

Kelompok ini berani melakukan ta'wil terhadap sejumlah ayat hukum demi untuk mendapatkan kepastian dan keadilan hukum yang sesuai den­gan nurani kecenderungan umum masyarakat. Misalnya, di dalam memahami ayat: Al-sariq wa al-sariqah faqtha'u aidiya huma (Pencuri laki-laki dan perempuan potonglah kedua tangannya). Ia memahami ulang ayat itu dengan: Pencuri laki-laki dan perempuan lumpuhkanlah kekuatannya untuk mencuri. Kata qath’ tidak diartikan memo­tong tetapi melumpuhkan, dan kata yad tidak diar­tikan tangan tetapi kekuasaan. Dengan demikian, mengurung para penncuri sekian lama di Pulau Nusa Kambangan lebih dekat kepada esensi tu­juan Syari'ah untuk menciptakan keadilan dan rasa aman, ketimbang memuntungkan tangan pencuri terus dilepas.

Contoh lain, Sayyidina Umar pernah meng­ganti hukum potong tangan dengan penja­ra bagi para pencuri pada saat negara dalam masa paceklik. Umar juga pernah membatalkan eksradisi seorang perempuan nakal ke neg­eri lain lalu diganti kurungan di dalam negeri, dengan alasan, jika perepuan itu diekstradisi ke negeri asing, apalagi negeri musuh, dikhawat­irkan ia akan membocorkan rahasia, kekuatan dan kelemahan negara. Jika tujuan hukum dap­at dicapai dengan cost lebih murah kenapa har­us memilih cost yang lebih mahal? Ada kecend­erungan, pembaharu fikih Islam kontemporer menggunakan logika seperti ini. Allahu A'lam. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA