Pada penghujung rezim pasar spekulatif, akibat liberalisasi yang berlebihan di sektor keuangan ini, terjadi pula krisis keuangan di AS tahun 2008 yang dampaknya menyebar ke seluruh dunia dan masih terasa hingga kini.
Dan paska krisis keuangan tersebut, di berbagai Negara seperti Eropa Barat dan Selatan, bukanlah para bankir dan spekulan yang sudah kaya raya tersebut yang harus menanggung, melainkan mayoritas masyarakat pekerja di sektor publik yang harus rela dipotong berbagai subsidi dan jaminan social yang sudah lama mereka nikmati. Yang untuk skema pemotongan, atau pengetatan (austierity), anggaran yang dipaksakan oleh Troika (IMF, Bank Sentral Eropa, dan Uni Eropa) semacam ini, masyarakat Yunani kemarin (6/7) menyatakan penolakannya lewat suatu referendum.
Lalu apa relevansinya dengan Indonesia?
Terdapat peluang rezim neoliberal akan kembali berlanjut di Indonesia, dengan menyusup dalam Kabinet Kerja Jokowi. Padahal seperti kita tahu, selama berkuasanya rezim neoliberal yang menumpang†dalam 10 tahun pemerintahan SBY, ketimpangan sosial juga meningkat dengan cukup drastis.
Tercatat bahwa pada tahun 2004 indeks gini masih berada pada posisi 0,32, kemudian di tahun 2014 melonjak menjadi 0,43. Padahal pertumbuhan ekonomi selama SBY cukup baik, berada di kisaran 5-6%, karena ditopang oleh harga komoditi andalan kita yang juga sedang baik di pasar dunia. Ini berarti sudah jelas bahwa pertumbuhan ekonomi kita sama sekali tidak berkualitas karena tidak mampu memperbaiki ketimpangan sosial di kalangan masyarakat.
Lalu, siapakah tokoh-tokoh teknokrat yang berada di balik kendali rezim neoliberal ini?
Yang pasti tentu adalah Boediono, mastermind Skandal Bank Century. Berikutnya adalah Sri Mulyani, juga terlibat Skandal Century sebagai ketua KSSK, selain itu juga diduga terlibat dalam Skandal Pajak Paulus Tumewu (Bos Grup Ramayana). Berikutnya adalah Darmin Nasution, yang juga merupakan anggota KSSK di saat terjadi Skandal Century dan Dirjen Pajak di saat terjadi Skandal Paulus Tumewu. Yang terakhir, dan yang paling muda adalah Chatib Basri. Kabarnya Sri Mulyani belakangan merekomendasikan nama Chatib sebagai penggantinya untuk masuk ke dalam Kabinet Kerja Jokowi.
â€Prestasi†Sri Mulyani adalah kemurahan hatinya memberikan bunga yield yang tinggi kepada para pemain pasar keuangan dunia. Misalnya pada 2008, Indonesia menerbitkan global bond dengan yield yang diberikan sebesar 6,95%, lebih tinggi dari Malaysia 3,86%, Thailand 4,8%, dan bahkan dari Filipina (yang dijuluki The Sick Man in Asia) sebesar 6,5%.
Padahal logikanya mestinya yield Indonesia maksimal 5,5%, sedikit di atas Thailand tapi di bawah Filipina. Modus ini diulang lagi pada 2009, saat itu Sri Mulyani kembali menerbitkan global bond dengan yield 11,75%, jauh di atas Filipina 8,75% dan hanya sedikit kalah dari negara yang kesehariannya diguncang teror bom seperti Pakistan sebesar 12,5%.
Kebodohan-kebodohan†dalam menetapkan yield ini juga lah yang menyebabkan Sri Mulyani diganjar berbagai penghargaan sebagai menteri keuangan terbaik oleh majalah-majalah ekonomi terkemuka seperti Euromoney dan Emerging Markets saat sidang tahunan IMF dan Bank Dunia. Di dalam negeri sendiri, penerbitan obligasi negara yang dilakukan Sri Mulyani di pasar domestik lewat SUN juga kelewat tinggi sehingga merugikan dalam perspektif tidak mendukung upaya penurunan suku bunga perbankan.
Sebagai contoh, ketika bank-bank papan atas seperti Mandiri dan BCA menawarkan suku bunga berkisar 5,25%-6,5%, pemerintahan malah memberikan tawaran bunga tetap 9,5%. Selain itu program reformasi perpajakan yang selalu digadang-gadang sebagai keberhasilan Sri Mulyani, yang didanai APBN (dari sebesar Rp 3,3 triliun di 2004 menjadi 13,4 triliun di 2010) dan pinjaman Bank Dunia (sebesar Rp1,38 triliun selama 2010-2015) pun, ternyata juga menemui kegagalan.
Chatib Basri juga dikenal sebagai komisaris independen Grup Astra. Kedekatan yang bersangkutan dengan raksasa otomotif asing ini mungkin yang menyebabkan dirinya selaku menteri keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) pada April 2014 yang mengatur tentang pembebasan bea masuk untuk impor berbagai jenis kendaraan (kendaraan bermotor dalam keadaan terurai sama sekali (CKD), kendaraan sasis, kendaraan pengangkutan barang, kendaraan bermotor beroda dua dengan kapasitas silinder hingga 250 cc, kendaraan bermotor untuk pengangkutan 16 orang lebih, kendaraan bermotor berupa ambulans, kendaraan jenazah, kendaraan pemadam kebakaran, kendaraan tahanan, kendaraan pengangkutan umum, kendaraan protokoler kenegaraan, kendaraan untuk pengangkutan 10-15 orang yang digunakan TNI dan Polri, dan kendaraan patroli TNI dan Polri).
Sebagai menteri keuangan dalam setahun terakhir pemerintahan Yudhoyono, Chatib Basri juga lah yang mewariskan kepada pemerintahan Jokowi apa yang disebut sebagai kuatro (empat) defisit dalam indikator makro ekonomi Indonesia, yaitu defisit anggaran, neraca pembayaran, neraca perdagangan, dan transaksi berjalan.
Tercatat sejak 2013, telah terjadi defisit APBN plus utang yang lebih dari Rp 2.100 triliun, defisit neraca pembayaran sebesar 9,4 miliar dollar AS, defisit neraca perdagangan sebesar 6 miliar dollar AS, dan defisit transaksi berjalan sebesar 6,6 miliar dollar AS. Berbagai defisit peninggalan Chatib inilah yang kemudian menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dollar terus memburuk hingga kini bertengger di Rp13.400/USD.
[***]
Penulis adalah peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP)
BERITA TERKAIT: