Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kabinet Transformatif

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/fritz-e-simandjuntak-5'>FRITZ E. SIMANDJUNTAK</a>
OLEH: FRITZ E. SIMANDJUNTAK
  • Jumat, 03 Juli 2015, 14:52 WIB
Kabinet Transformatif
TANTANGAN utama Kabinet Kerja Jokowi-JK adalah meningkatkan taraf hidup masyarakat seperti yang diuraikan dalam janji-janji politik saat berkampanye dengan mantra Trisakti dan Nawa Cita. Untuk itu ada 34 menteri telah ditunjuk Jokowi-JK yang diharapkan langsung tancap gas untuk bekerja dengan cerdas dan keras di bidang masing-masing.

Karena telah ditunjuk oleh Jokowi-JK, maka 34 menteri tersebut adalah petugas lembaga kepresidenan dan bukan lagi sebagai petugas partai politik, universitas, LSM, ataupun pengusaha. Sayangnya selama enam bulan bekerja, para pembantu utama Jokowi-JK tersebut selain kinerja yang belum memuaskan juga sering membuat gaduh. Berpolitik lebih kental mewarnai kerja para menteri dari pada secara sungguh-sungguh menjadi petugas lembaga kepresidenan.

Kita tentu masih ingat saat bagaimana Jokowi mengaku tidak tahu isi detil Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2015 tentang penambahan uang muka pembelian mobil bagi pejabat negara. Padahal Jokowi sudah menandatanganinya. 

Kontroversi figur Budi Gunawan yang sempat diajukan Jokowi sebagai Kapolri dan akhirnya menjadi Wakapolri telah berimbas pada pencopotan Abraham Samad dan Bambang Widjayanto dari KPK. Ini membuktikan kerasnya pergesekan politik di sekitar Jokowi yang tidak menguasai satu partai politikpun termasuk PDIP pengusung utamanya menjadi Presiden RI ke 7.

Yang lebih tragis lagi adalah langkah Menpora yang secara kasat mata telah membenturkan Jokowi dengan JK menyangkut kebijakan pembekuan PSSI. Akhirnya PSSI mendapat sanksi dari FIFA dan kegiatan sepakbola Indonesia menjadi mati suri. 

Belakangan mantan Menpora Roy Suryo, yang juga dikenal sebagai pakar telematika, menemukan bahwa rekaman suap pengaturan skor tim sepakbola Indonesia di SEA Games adalah sebuah rekayasa karena dilakukan di lantai 3 Kantor Kemenpora.

Sementara itu prestasi Indonesia kembali terpuruk pada peringkat ke lima di SEA Games 2015 di Singapore baru lalu.  Prediksi Kemenpora bahwa Indonesia akan meraih peringkat ke dua dengan 72 emas gagal total. Indonesia hanya berhasil meraih 46 keping emas sesuai dengan prediksi Satlak Prima sebagai pelaksana pemusatan latihan nasional.

Jatuhnya sangsi FIFA, terpuruknya prestasi di SEA Games 2015, terlambatnya SK Kepanitiaan Asian Games 2018, terlambatnya uang saku atlet dan peralatan latihan maupun peralatan pertandingan, dan segala rekayasa komunikasi untuk menyudutkan PSSI telah memberikan gambaran jelas lemahnya kompetensi dan kualitas Kemenpora dalam mengelola olahraga Indonesia.

Ada lagi pernyataan terbuka Mendagri Tjahjo Kumolo mengenai adanya menteri yang menghina Jokowi.  Padahal Mendagri menyatakan bahwa insiden tersebut sudah dilaporkan langsung ke Jokowi. Pertanyaannya adalah apakah Jokowi yang meminta Mendagri untuk membuka ke publik atau memang inisiatif Mendagri sendiri? Lalu kenapa Mendagri tidak langsung menyebut nama menteri yang diduga telah menghina Presiden?

Kesalahan fatal yang menabrak tertib administrasi negara terjadi saat Kementerian ESDM pada tanggal 7 Mei 2015  melantik Rida Mulyana sebagai Direktur Jenderal (Dirjen) Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE). Padahal Keppres yang ditandatangani oleh Jokowi pada tanggal 6 Mei 2015 menunjuk Arya Rezavidi sebagai Dirjen EBTKE. Artinya pelantikan Rida Mulyana tidak dilengkapi Keputusan Presiden yang diwajibkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2004 tentang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Jabatan Eselon I.

Yang tidak kalah menarik adalah manuver Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi saat membocorkan langsung hasil rapat Tim Penilai Akhir kepada salah satu kandidat Dirjen Energi Baru Terbarukan Arya Rezavidi.

Menteri PAN dan RB Yuddy Chrisnandi juga seringkali mencoba  menempatkan kawan-kawannya sebagai calon anggota panitia seleksi Komisi Aparatur Sipil Negara.  Padahal beberapa di antaranya menempati posisi penting dalam Partai Politik. Beruntung pimpinan Komisi Aparatur Sipil Negara berani menolak beberapa calon yang berpotensi konflik kepentingan tersebut.

Segala kekisruhan cara bekerja di lingkungan menteri Kabinet Kerja ditambah situasi ekonomi dan keuangan yang belum membaik telah menimbulkan spekulasi bahwa Jokowi-JK harus segera melakukan reshuffle. Terutama kementerian yang menangani sektor ekonomi.

Sektor ekonomi memang sangat penting untuk menjadi fokus utama Jokowi-JK ke depannya.

Sebagai ilustrasi, begitu Barack Obama terpilih, dia segera menetapkan personil di tiga posisi.  Yaitu Timothy Geithner sebagai Treasury Secretary, Lawrence Summers sebagai Director National Economic Council  dan Christina Romer sebagai Director Council of Economic Advisers. 

Keputusan cepat ini diambil Obama karena sektor ekonomi dan keuanganlah yang menjadi tantangan utama dia dalam mengelola pemerintahannya. Karena kalau Obama gagal di sektor ini, maka apapun prestasinya di sektor lain akan dinilai gagal oleh masyarakat AS.

Demikian juga tantangan utama yang dihadapi Jokowi saat ini, yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Setelah enam bulan sebagai Presiden RI, Jokowi pasti sudah mengantongi nama-nama yang benar-benar kompeten dan berkualitas untuk mengurus sektor perekonomian Indonesia.

Namun lebih dari itu Jokowi harus kembali berani menunjukkan dirinya sebagai "The Passionate Leader" (Pemimpin yang terus semangat). Menurut Alaina Love, ada tiga karakteristik dari "The Passionate Leadership" yaitu memiliki visi dan gambaran besar tentang Indonesia ke depan (conceiver). Kedua memiliki solusi inovatif dan terobosan perubahan kebijakan (transformer). Dan karakter ketiga sebagai dokter atau penyembuh bagi masyarakatnya (healer) yang dilakukan melalui dialog tatap muka dengan masyarakat secara terbuka.

Ketiga karakter tersebut sebenarnya telah dimiliki oleh Jokowi.  Bahkan selama memimpin kota Solo dan DKI Jakarta melalui dialog terbuka, Jokowi telah dianggap sebagai pemimpin yang memberikan solusi nyata untuk rakyatnya. Beberapa persoalan yang dihadapi masyarakat berhasil diselesaikan Jokowi.

Namun saat menjadi Presiden, Jokowi dihadapi pada kerasnya kepentingan partai politik dibandingkan kepentingan rakyat banyak. Pada saat bersamaan itu Jokowi juga harus mampu memberikan solusi yang baik bagi aspirasi partai politik terutama partai pendukung utamanya saat kampanye lalu. Dan seringkali kepentingan partai politik harus diakomodir dengan baik. Dalam kondisi ini Jokowi masih perlu waktu untuk menunjukkan dirinya kembali sebagai "The Passionate Leader".

Tapi apabila reshuffle dilakukan, sudah saatnya Jokowi benar-benar tegas untuk memperlihatkan karakter kepemimpinannya sebagai "Conceiver, Transformer dan Healer". Sesuai karakternya itu pula maka nama kabinetnya juga perlu diganti dari "Kabinet Kerja" menjadi "Kabinet Transformatif". Artinya ini adalah kabinet yang membuka peluang lebih besar bagi kehidupan rakyat yang berada di struktur lapisan terbawah untuk naik ke struktur lapisan lebih tinggi. 

Aspek mobilitas sosial inilah yang harus dijadikan fokus dan ukuran utama keberhasilan Kabinet Transformatif. Seluruh program kementerian harus mampu mewujudkan peluang rakyat melakukan mobilitas sosial. Dan inilah sebenarnya jiwa dan semangat dari Nawa Cita.

Kita pernah memiliki dua presiden yang berhasil melakukan transformasi di negara ini. Pertama, Soekarno yang melakukan transformasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Bahkan Indonesia menjadi salah satu negara yang disegani dalam konstelasi politik dunia.

Kemudian Soeharto berhasil menjadikan perekonomian Indonesia meningkat tajam dari negara miskin menjadi kategori berkembang. Bahkan Indonesia sempat menikmati posisi sebagai negara swasembada beras pada tahun 1984. Di mana impor beras tidak lagi dilakukan oleh Indonesia.

Atas keberhasilan ini Organisasi Pangan Sedunia/FAO (Food and Agriculture Organization) memberi penghargaan dan menunjuk Indonesia sebagai contoh negara berkembang yang berhasil memenuhi kebutuhan pangannya.

Baik Soekarno dan Soeharto adalah pemimpin yang telah menunjukkan dirinya sebagai "The Passionate Leader" di era masing-masing. Dan sejak era reformasi 1998, dengan karakter kepemimpinan yang dimiliki, Jokowi memiliki peluang besar untuk membawa Indonesia kembali melakukan transformasi menjadi negara maju di mana tingkat kemiskinan secara signifikan bisa berkurang. Sederhananya itulah aspirasi seluruh rakyat Indonesia saat ini. Dan kita berharap Jokowi mampu mewujudkannya.


Penulis adalah Sosiolog dan tinggal di Jakarta

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA