Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Selempang yang Hilang: Mengenang Hati Bangsa

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/adhie-m-massardi-5'>ADHIE M. MASSARDI</a>
OLEH: ADHIE M. MASSARDI
  • Selasa, 09 Juni 2015, 08:01 WIB
Selempang yang Hilang: Mengenang Hati Bangsa
gus dur/net
BANYAK orang diam-diam kini merindukan selempang Bhineka Tunggal Ika itu. Tapi hiruk-pikuk panggung politic yang bertabur money dan kebodohan membuat suara para perindu selempang Bhineka tenggelam dan nyaris tak terdengar. Dan sebagian dari mereka menghampiri saya, dan menunjuk orang di sebelah saya, kemudian teriak: "Itu dia…!"

Tahukah Anda, siapa orang di sebelah saya (yang ditunjuk para perindu selempang Bhinneka sambil teriak: "Itu dia…!")?  Kalau Anda jawab "Gus Dur", berarti Anda termasuk bagian dari mereka, para perindu kebhinnekaan itu. Tapi kalau jawabannya bukan Gus Dur, tapi Anda merasa termasuk perindu selempang Bhinneka, teruskan membaca kolom yang akan dibuat berseri ini. Tapi kalau Anda bukan perindu selempang Bhinneka, tentu Anda tidak perlu terus baca ini tulisan…

Benar, Gus Dur memang ikon kebhinekaan di negeri ini. Isi kepalanya taman pemikiran warna-warni. Mawar-melati, semuanya indah, seperti sering dinyanyikan para keponakan. Di dalam dadanya, tumbuh keragaman hayati dan toleransi yang nyaris sempurna. Berbagai jenis kepercayaan yang melata di muka bumi, aman berlindung di dalamnya.

Gus Dur bisa menjadi seperti itu, atau diakui banyak orang sebagai "seperti itu", karena ia menyimpan hati bangsa. Dengan hati itulah otaknya digerakkan, tangannya digerakkan, langkahnya digerakkan, dan… lidahnya digerakkan.

Maka ketika lidahnya digerakkan dan menimbulkan bunyi "DPR kayak taman kanak-kanak", semua anak bangsa mengamininya. Karena memang bunyi seperti itu sesungguhnya yang ingin diucapkan oleh mulut bangsa.

Oleh sebab itu, menurut saya, bukan Gus Dur yang cemerlang bila apa yang dikatakannya, apa yang dikerjakannya, diakui kebenarannya, dan dijadikan rujukan banyak orang. Karena semua itu dikendalikan oleh "hati bangsa", oleh kita semua.

Dan bila kita mendekati pikiran-pikiran Gus Dur, mendekati gagasan-gagasan Gus Dur, berarti kita sedang menuju "pintu hati bangsa". Apakah pandangan semacam ini terlalu berlebihan? [***]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA